“Hingga sekarang belum kembali. Jika masih hidup, di mana keberadaannya? Jika sudah mati, di mana makamnya?” ujar Andi (nama samaran) ketika bercerita tentang orang tuanya yang ditangkap tahun 1965-1966 silam.
Pasca-gerakan 30 september 1965, organisasi militer dibantu masyarakat sipil melakukan pembersihan massal terhadap orang-orang yang disinyalir terlibat dalam gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Salah satu lokasi yang konon menjadi tempat eksekusi adalah “Luweng Grubug”, sebuah lubang vertikal dalam yang berada di ujung timur Gunungkidul. Tepatnya di Dusun Jetis, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu.
Saya bersama lima teman mewakili komunitas mendapatkan kesempatan untuk mengikuti “Tabur Bunga Luweng Grubug” bersama para penyintas eks-tapol PKI, keluarga, sahabat korban 65-66, dan organisasi sipil. Acara ini merupakan rangkaian dari pembuatan video memorial documentary.
Sejak pagi pukul 08.00 para peserta berkumpul di parkiran JNM (Jogja National Museum) untuk berangkat bersama mengenakan bus. saya duduk sebelahan dengan Wiji, dan satu bus dengan beberapa penyintas eks-tapol yang sudah lanjut usia. Sepanjang perjalanan seorang kameramen mulai membuka obrolan bersama para penyintas. Mereka duduk paling belakang sebelah kanan, sedangkan saya duduk nomor dua dari belakang sebelah kiri.
Awalnya hanya obrolan biasa tentang identitas dan kesibukan, saya pun masih sibuk scroll Instagram sambil sesekali melihat jalan raya dari jendela. Lama-kelamaan suara bapak-bapak lansia terdengar ketika menceritakan proses penangkapan dirinya. Saya mulai menengok kebelakang untuk mendekat dan mendengarkan. Teman saya, Wiji, juga ikut menoleh beberapa kali sempat merekam suara. Laki-laki penyintas ini, panggil saja Ahmad (nama samaran). Ahmad menuturkan, dirinya ditangkap saat masih muda dan menjadi korban salah tangkap ketika sedang menonton karawitan.
“Dulu PKI itu sering buat acara karawitan. Nah, kebetulan saat itu saya datang untuk menonton. Tiba-tiba ada penggerebekan, ditangkaplah saya,” tutur Ahmad.
Cerita berlanjut tentang kehidupannya di lapas yang cukup mengenaskan. Sehari-hari makannya hanya nasi jagung, itupun jika dikasih, kalau tidak maka tidak makan. Selain itu, juga harus berbagi dengan tahanan-tahanan yang lain. Tapi di sisi lain, ia bersyukur karena masih hidup, beberapa temannya ada yang dibawa ke mobil dengan mata tertutup kain. Bisa jadi pindah lapas, dibuang, atau bahkan dibunuh. Yang jelas ketika sudah dibawa ke mobil sudah pasti tidak akan kembali.
Perjalanan menuju Luweng Grubug cukup jauh dari pusat kota. Butuh sekitar 1 jam 30 menit untuk menempuhnya. Sebelum sampai di lokasi, bus harus melewati pedesaan, kemudian alas pohon jati yang jalanan bebatuan dan rusak. Matahari mulai naik ke atas, hawa pengap mulai terasa di dalam bus, terombang-ambing ke kanan ke kiri. Beberapa kali bus menyenggol pohon yang rantingnya terlalu pendek. Ada yang bilang jalannya sengaja dirusak dan tidak diperbaiki, agar tidak ada yang berkunjung ke lokasi tersebut.
Sesampainya di parkiran, hawa panas semakin menyengat. Beruntung yang sudah persiapan membawa payung atau topi. Apalah saya, tak sampai berpikir akan sepanas itu. Panasnya menembus kain kerudung yang saya kenakan. Perjalanan masih berlanjut, untuk menuju Luweng Grubug kita harus melewati alas pohon jati, daun dan ranting kering berserakan di tanah, jalan setapak yang tidak beraturan, terkadang ada jalannya, kadang hilang. Orang-orang bisa berjalan melalui berbagai arah untuk menghindari batu-batu.
Sekumpulan pohon hijau dan rindang yang menjulang ke bawah mulai terlihat. Artinya luweng sudah semakin dekat. Orang-orang mulai mendekat ke area luweng untuk memulai acara. Sebuah tembang jawa dari seorang kakek menjadi pembuka acara tabur bunga, selanjutnya beberapa penyintas berbagi cerita tentang penangkapan tahun 1965-1966 dan kronologi luweng yang konon menjadi tempat eksekusi. Kemudian, secara bersama-sama bernyanyi untuk mengenang para korban dan doa bersama.
Terdapat besi yang memanjang ke kanan dan kiri, semacam jembatan sebagai lokasi untuk menabur bunga. Nyanyian terus bergema, sambil satu per satu dari penyintas, kerabat, keluarga, dan organisasi yang terlibat menaburkan bunga dengan melempar ke dalam luweng. Di akhir, para peserta diajak untuk menanam bibit bersama di sekitar luweng dan sekaligus penancapan papan nama “Gua Grubug”.
Mulut gua yang berbentuk oval ini memiliki kedalaman lebih dari 90 meter. Udara segar dan aliran air sungai deras terdengar saat melongok ke dalam menabur bunga ke dalam luweng. Dalam pikiran saya tak henti-hentinya membayangkan manusia yang jatuh ke gua sedalam itu, misal masih hidup pun siapa yang menolong?
Setelah prosesi tabur bunga selesai, para peserta, penyintas 65-66 dan keluarga eks-tapol kembali ke atas untuk berkumpul di pendopo. Di sini keluarga korban berbagi cerita tentang anggota keluarga mereka yang tidak diketahui keberadaannya hingga sekarang. Sebut saja Pak Andi (nama samaran), ia ditinggal kedua orang tuanya sejak masih kecil saat masih duduk di bangku SD. Orang tuanya ditangkap karena dituduh terlibat dalam gerakan PKI, hingga kini ia tidak tahu keberadaan kedua orang tuanya.
Andi bercerita saat mengunjungi luweng, air matanya tiba-tiba menetes, sekejap ia melihat bayangan kedua orang tuanya hadir. Ia pun bertanya-tanya apakah orang tuanya juga ikut masuk di sini. Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk keduanya.
Perjalanan berlanjut menuju Pantai Baron untuk menabur bunga, hal ini dilakukan karena aliran sungai luweng mengalir berakhir di Pantai Baron. Matahari sudah mulai turun yang menandakan hari akan segera gelap, maka seluruh peserta kembali menaiki bus masing-masing untuk pulang ke kota.









