Refleksi Keadilan Ekologi di Konferensi Pemikiran Gus Dur 

Suasana ruang konferensi seketika tertuju pada seorang pembicara yang menyebut nama Gus Dur. Suaranya dalam, seakan membuka kembali lembaran sejarah. Gus Dur, katanya, adalah presiden yang berani menempatkan lingkungan hidup di jantung kebijakan. Beliau mengangkat pakar etiket lingkungan menjadi menteri, mencabut carut-marut HGU yang 50–80% ilegal, dan bahkan menegaskan bahwa Taman Nasional Bukit 12 adalah rumah orang rimba yang harus dilindungi, bukan komoditas untuk dieksploitasi. Bang Ozie, nama sapaannya.

Kalimat itu masih melekat di ingatanku. Aku membandingkan dengan kondisi hari ini. HGU besar-besaran masih jadi lahan sengketa. Alih-alih direformasi, tanah semakin dikapling untuk korporasi. Padahal Gus Dur sudah pernah menunjukkan jalan: 60% tanah bisa dikembalikan ke rakyat melalui reforma agraria. Namun, kebijakan itu seperti terhenti, digantikan logika kapitalisme agraria yang menyingkirkan masyarakat adat dan menutup mata terhadap kerusakan hutan.

Perhutanan sosial juga kembali jadi bahasan. Aku membayangkan orang rimba yang dipaksa meninggalkan hutan karena SK kapling konservasi. Atau masyarakat adat yang terabaikan ketika HPH masuk, memotong pohon tanpa peduli adat dan budaya setempat. Padahal, pengetahuan lokal punya nilai besar: cara mereka memanggil alam untuk diurus, menata ruang hidup, hingga mengelola galian C agar bisa direhabilitasi. Tapi kenyataan hari ini sering kali berbeda: eksploitasi tanpa pemulihan, keuntungan tanpa tanggung jawab. Itu bukan hanya perampasan, itu ekosida—pemusnahan ekosistem yang perlahan membunuh kita semua.

Aku merenung lagi. Gus Dur tidak pernah memisahkan agama dari ekologi. Baginya, agama seharusnya menjadi pembahasan utama dalam keberlanjutan kita. Di dalam Islam, ada konsep hablun min al-‘alam, hubungan dengan alam, yang tak kalah penting dari hubungan dengan Tuhan atau sesama manusia. Beliau bahkan menyinggung ekosufisme yaitu jalan spiritualitas yang menyatukan iman, sufisme, dan kepedulian pada bumi. Bukankah itu sebuah pengingat keras bahwa merusak alam sama dengan merusak iman?

Lalu soal sampah. Pikiranku langsung berlari ke sungai-sungai di Surabaya, tempat aku sering melihat kantong plastik hanyut, botol kemasan tersangkut, bahkan TPS di pinggir sungai, bau sampah yang menusuk dan bakar-bakar sampah. Betapa ironis, Indonesia disebut sebagai peringkat kelima penghasil sampah plastik laut terbesar di dunia. Tahun 2022 saja, tercatat ada 12,54 juta ton sampah plastik di negeri ini. Angka itu bukan sekadar statistik; ia adalah wajah anak-anak yang bermain di bantaran sungai kotor, nelayan yang pulang dengan jaring penuh sampah, dan tubuh kita sendiri yang kini menyimpan mikroplastik di darah dan paru-paru.

Aku merasa refleksi ini bukan hanya soal data atau teori. Greenpeace mencatat, mikroplastik kini bahkan bisa menurunkan fungsi kognitif manusia. Itu artinya, kita sedang meracuni pikiran kita sendiri dengan gaya hidup yang sembrono. Betapa tragis, kita menukar masa depan demi kenyamanan plastik sekali pakai yang hanya dipakai beberapa menit saja.

Di forum, ada yang bicara tentang transisi energi. Katanya insinerator adalah jawaban. Tapi aku justru teringat catatanku tentang penanganan sampah dengan insinerator hanyalah solusi palsu. Teknologi dari mana? Sampahnya bagaimana? Tahun berapa keluarannya? Pertanyaan itu masih relevan hari ini, ketika proyek insinerator dijual sebagai “modernisasi”, padahal akar masalah sampah tetap sama: budaya konsumsi plastik sekali pakai. Solusi sejati justru ada di pemilahan yang serius, pengomposan, dan teknologi sederhana yang berpihak pada alam.

Aku tersenyum getir ketika pembicara menutup materinya: Gus Dur, katanya, punya pemahaman klasik yang luar biasa. Ia mampu memadukan nilai lama dengan nilai baru. Baginya, ekologi bukan sekadar isu teknis, melainkan soal moral, soal iman, soal keberlanjutan hidup manusia.

Malam itu, aku berjalan ke luar aula, menatap langit Jakarta yang buram oleh polusi. Rasanya kata-kata Gus Dur masih bergema: manusia adalah subjek bumi ini, bukan tuan yang sewenang-wenang. Aku lalu berpikir ulang tentang kebiasaan sederhana: menolak plastik sekali pakai, memilah sampah, mendukung gerakan rakyat untuk reforma agraria, hingga menghormati masyarakat adat. Mungkin di situlah warisan Gus Dur hidup di langkah kecil yang bisa mengubah arah besar.

Penggerak Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *