Apabila kita berjalan menyusuri Jalan Kauman, Desa Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, yang muncul di benak kita biasanya adalah lorong-lorong sempit yang diapit rumah-rumah dengan kayu jati yang sudah tua yang berderet rapat, Langgar Kidoel, hingga Masjid Gedhe Kauman tempat KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Islam, Muhammadiyah. Dalam suasana tempo dulu dan religius ala muhammadiyah, siapa sangka ternyata KH Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tiga periode, menapaki episode remajanya di sana.
Sekitar tahun 1954 sampai 1957, Gus Dur muda tinggal di rumah seorang tokoh Muhammadiyah bernama Pak Djunaedi atau akrab disebut Pak Joned. Hubungan keduanya terjalin karena Pak Djunaedi bersahabat dengan ayahnya, KH Wahid Hasyim, semasa sama-sama belajar di Pondok Tremas, Pacitan. Rumah dengan serambi dan berlantai dari semen itu, menjadi titik awal Gus Dur melangkah setiap pagi menuju Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Negeri Gowongan. Sekolah yang kini telah berganti menjadi SMK Negeri 1 Depok dan berlokasi di Jalan Gowongan Kidul JT III/416 Yogyakarta.
Walaupun tinggal di jantung Kauman yang kental dengan tradisi dan khazanah perjuangan Muhammadiyah, Gus Dur tetaplah anak remaja pada umumnya. Pada saat itu, Ia punya satu kebiasaan yang bikin orang dewasa geleng kepala. Ia sering bolos sekolah untuk pergi ke bioskop. Maklum, Yogyakarta di tahun 50-an memiliki beberapa gedung film populer. Kabarnya Gus Dur muda bisa benar-benar larut saat menikmati kisah dalam layar lebar itu. Yang menarik, justru teman-temannya sering heran, bagaimana anak yang sering absen itu tetap bisa menjawab soal ujian dengan baik.
Selain menyimpan kisah kenakalan Gus Dur saat remaja, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar, membuat kecintaan Gus Dur terhadap buku semakin menjadi-jadi. Akses tak terbatas pada bacaan menjadikan Gus Dur sering menyusuri toko buku di Malioboro, singgah di perpustakaan, atau menekuni rak bacaan milik Pak Joned. Dari buku novel, filsafat, sejarah, hingga agama semuanya Ia lahap. Bahkan Ia sering tidur larut malam untuk mengkhatamkan buku yang sedang dibacanya. Melalui Jendela Dunia itu, menjadi salah satu pondasi yang membentuk cara berpikir kritis dan independen, yang kelak sangat menonjol dalam diri Gus Dur.
Meskipun terkenal sebagai cucu Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Gus Dur muda pernah bercengkrama dan belajar bersama tokoh-tokoh Muhammadiyah. Gus Dur pernah belajar agama pada Kiai Maksum Abu Hasan. Kemudian Mbah Hana yang kala itu menjabat direktur Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah kala itu. Selanjutnya, Gus Dur belajar kepada Pak Basyir, ayah Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, KH Azhar Basyir.
Berdasar itu, tak heran dan wajar saja bila suatu ketika Gus Dur pernah nyeletuk bahwa dirinya adalah “orang Muhammadiyah yang ada di NU”. Sementara sahabatnya, Azhar Basyir, Ia sebut sebagai “orang NU yang ada di Muhammadiyah”. Candaan Gus Dur yang terdengar ringan namun mendalam itu pun mampu meruntuhkan sekat yang sering dibesar-besarkan antara NU dan Muhammadiyah.
Belajar dari pengalaman tersebut membuat kita sadar bahwa ada praktik baik dalam hubungan NU dan Muhammadiyah. Sehingga bisa kita anggap bahwa perbedaan dalam keputusan hukum dan gerakan antara NU dan Muhammadiyah dalam sebuah ungkapan “Ilmu yang dipelajari sama saja, hanya beda tafsir”. Kisah Gus Dur yang sempat tinggal di rumah Pak Djunaedi menjadi salah satu potret bagaimana jalinan kepercayaan antara tokoh NU dengan Tokoh Muhammadiyah yang terbangun. Perbedaan khidmat dalam organisasi tidak serta-merta membatasi keakraban dalam persahabatan dan dunia keilmuan.
Kemudian adanya sejumlah tokoh dengan nama besar di Muhammadiyah seperti RH Hadjid, KH Badawi, hingga KH Ahmad Azhar Basyir, ternyata pernah menjadi santri. Ketiganya pernah merasakan belajar di Pesantren Tremas, Pacitan, salah satu pesantren tua yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama.
Begitu juga kisah seorang santri bernama Aziz, ayah dari M. Imam Aziz, saat Ia datang jauh-jauh dari Pati untuk belajar kepada KH Ali Maksum di Krapyak, dimana Ia diarahkan KH Ali Maksum untuk belajar juga ke Kauman, tepatnya kepada Kiai Basyir, seorang ulama Muhammadiyah. Relasi itu kian jelas ketika kita tahu bahwa Kiai Basyir sendiri pernah nyantri di Tebuireng, Jombang, dan putranya, KH Azhar Basyir, sempat dititipkan kepada KH Abdul Qodir Munawwir, pengasuh Pesantren Al-Munawwir di masa itu.
Jalinan kisah yang hampir serupa terjadi juga di Pesantren Tebuireng, Jombang, di masa kepemimpinan KH Salahudin Wahid. Gus Solah sapaan akrabnya, adalah adik kandung Gus Dur. Saat Gus Solah mendirikan Pesantren Sains bernama Trensains Tebuireng. Gagasan besar Pesantren Sains sebenarnya lahir dari Prof. Agus Purwanto, seorang ilmuwan fisika teoritik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya sekaligus anggota aktif Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Prof. Agus Purwanto menekankan pentingnya interaksi antara agama dan sains, dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai basis epistemologi pengembangan ilmu pengetahuan. Ide tersebut kemudian diwujudkan oleh Gus Solah dengan mendirikan Trensains Tebuireng yang diresmikan oleh Menteri Agama RI di masa itu, H. Lukman Hakim Saifuddin, pada 23 Agustus 2014.
Kisah lintas sejarah antara NU dan Muhammadiyah, mulai dari jejak Gus Dur di Kauman hingga lahirnya gagasan Trensains Tebuireng bersama Prof. Agus Purwanto dan Gus Sholah, menyiratkan pesan penting bahwa jalinan keduanya jauh lebih erat daripada sekadar perbedaan gerakan dalam sebuah organisasi. Relasi guru dan murid, sahabat dan keluarga, telah menembus batas identitas formal dan menunjukkan bahwa keduanya sama-sama bertujuan menegakkan nilai Islam sekaligus membangun peradaban. Dari situ kita belajar, persaudaraan NU dan Muhammadiyah merupakan modal sosial bangsa yang tak ternilai, sebab perjumpaan keduanya justru melahirkan inovasi, membuka ruang ilmu yang luas, dan memperkuat wajah Islam Indonesia.
Insya Allah!









