Membaca ulang beberapa minggu mengenai program ambisius pemerintah, sekaligus menjadi program prioritas dalam kepemimpinan presiden periode ini, kita justru akan menemukan banyak pertanyaan yang membuat overthinking (bahasa gen-z sekarang). Mengapa demikian? Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang telah resmi berjalan, sekaligus digadang-gadang menjadi program unggulan untuk menciptakan Generasi Emas 2045. Niat ini memang kesannya sulit dibantah, apalagi ketika mengacu pada narasi diplomatis yang diracik sedemikan rupa di atas kertas. Secara logika, anak-anak dengan otak yang cerdas butuh logistik yang sehat.
Namun, setelah program ini berjalan, publik dihadapkan dengan kenyataan yang mengejutkan. Bagaimana tidak? Program ambisius ini datang dan menyerap anggaran yang tak kalah ambisius pula. Memicu pertanyaan mendasar: apakah kita benar-benar sedang berinvestasi pada otak, ataukah justru menggadaikan kualitas otak demi obsesinya pada nasi kotak?
Persoalan pertama yang akan dibahas mengenai sumber pendanaan. Besaran anggaran untuk MBG di tahun 2025 ini saja ditetapkan mencapai Rp171 triliun. Angka ini bahkan direncanakan akan membengkak dan menembus angka Rp335 triliun di 2026 mendatang, jelas diambil dari APBN. Tentu ketika program ini diperluas untuk keseluruhan target penerima manfaat.
Angka ratusan triliun itu bukan pemberian uang cuma-cuma. Sebagian besar anggaran raksasa diambil dari alokasi 20 persen mandat konstitusi untuk pendidikan. Di sinilah letak pertukaran prioritas paling krusial, anggaran yang seharusnya dialokasikan khusus dan penuh untuk pendidikan. seperti membeli buku, komputer sekolah, pemenuhan sarpras lainnya untuk bangunan sekolah, serta implementasi peningkatan kualitas mutu pendidikan melalui program pemberdayaan guru dan tenaga pendidik, justru dialihkan untuk program pengadaan nasi kotak.
Kenyataan yang terjadi ini, mengharuskan kita yang notabene sebagai pendidik agar selalu awas dan mawas, bahwa program ini merupakan program tukar-menukar serta transaksional. Lantas bagaimana agar pengadaan ini berimbang dan sesuai bidikan?
Lanjut pada bahasan kedua, dan ini menjadi inti persoalannya, yaitu proses pertaruhan itu sendiri. Andaikan publik memang harus menerima kenyataan yang ada sekarang, dalam bentuknya pengorbanan anggaran pendidikan untuk nasi kotak, akan memunculkan pertanyaan semakin mendalam: apakah benar nasi kotak yang didistribusikan dengan anggaran triliunan itu benar-benar sampai ke perut siswa dengan bentuk gizi yang berkualitas? Di sinilah kerawanan selap-selip anggaran dan sistemik MBG itu perlu diuraikan.
Perlunya kita melihat rincian anggaran yang dibelanjakan oleh pelaksana (dalam hal ini dapur yang telah terafiliasi dengan program dan pemerintah) harga Rp15.000 yang ditetapkan presiden itu tidak sepenuhnya khusus dibelanjakan untuk bahan baku, melainkan biaya paket keseluruhan. Biaya yang digunakan untuk membeli bahan baku atau ‘isi makanan’ berkisar Rp8000 untuk jenjang PAUD dan SD kelas 1-3, dan maksimal Rp10.000 untuk SD kelas 4-6, SMP, SMA, dan ibu hamil/menyusui. Sisa Rp5000 untuk operasional, maksimal Rp3000 per porsi untuk gaji karyawan, pembayaran listrik, gas, dan juga air, sedangkan Rp2000-nya digunakan untuk biaya tempat, seperti sewa dapur, alat, dan akomodasi kendaraan saat menyuplai nasi kotak. Itu pun ketika kita membaca lagi, mungkinkah jumlah biaya yang ditetapkan dalam berbagai wilayah di Indonesia sama besarnya? Mengingat pada wilayah tertentu bahan pokok dan baku makanan tidak merata harga jualnya. Ini juga perlu dicermati ulang.
Sejak awal struktur anggaran ini sangat rawan dibelokkan. Persoalan pengelola diserahkan kepada berbagai yayasan yang membawahi dapur-dapur di setiap wilayah (SPPG), dengan sistem kontrak untuk menyediakan makanan dengan pagu bahan baku yang sangat ketat. Struktur demikian, jelas rawan dan membuka celah korupsi dan kolusi antara vendor (yayasan) dan otoritas lokal (kepala atau lembaga sekolah).
Pertama, kita bisa lihat dari “jual-beli kuota” dengan skenario kepala sekolah memakai hak tolak untuk di suplai MBG dari dapur yang menawarkannya. Sementara tindakan yang jelas dilakukan vendor (dapur) dengan membeli kuota siswa tersebut dengan nasi kotak yang dibagikan, agar kepala sekolah menarik atau tidak menggunakan hak tolaknya tersebut. Analogi sederhana saya begini, pelaksana (yayasan) dibayar per porsi oleh BGN untuk melayani ribuan penerima nasi kotak. Dalam hal ini, yayasan tentu berlomba untuk mendapatkan surat terima jasa dari sekolah secara legal, sedangkan dari pihak dapur paling tidak harus menemukan 3000-4000 penerima agar operasional optimal dijalankan. Posisi tawar ini menjadi celah kolusi antara kedua belah pihak, yakni seperti yang saya pikirkan vendor akan membayar sekolah agar mendapatkan data pasti siswanya, dan pihak sekolah menggunakan penerimaan dengan memberikan data siswanya, dan tidak menggunakan hak tolaknya.
Kedua, akan sangat mungkin dilakukan transaksi validasi data dan kualitas. Vendor membutuhkan validasi jumlah data siswa dari pengakuan dan surat resmi yang dikeluarkan oleh kepala sekolah, kemudian hal rawan yang lebih ekstrem yaitu manipulasi data (mark-up jumlah siswa) yang dilakukan oleh sekolah. Di mana secara jelas program ini melarang tindakan memanipulasi data penerima manfaat.
Relasi transaksional ini diperjelas pula saat pelaksanaan di lapangan. Reaksi “diam” yang diajukan oleh pihak dapur untuk sekolah saat ditemukan makanan basi, terjadi keracunan massal dan sebagainya cukup diselesaikan secara internal dua pihak. Ini menjadi pelumas licin yang sempurna dalam sistem transparansi evaluasi program.
Dari sisi pemerintah, saya pikir mereka telah menyadari betul program ini potensi risikonya besar, hanya saja dalam praktiknya aturan serta larangan yang tertulis seperti “dilarang menggunakan bahan makanan busuk” dan “tidak menggunakan minyak lebih dari tiga kali”. Fakta tertulis yang juga diperketat ini sangat mungkin terjadi penyelewengan tanpa adanya monitoring yang konsisten. Bisa dikatakan ini bukan kesadaran atas risiko yang terjadi namun kegagalan penanggulangan risiko dari program.
Selanjutnya, dari sisi efektivitas dan tepat sasaran. MBG ini sering dipromosikan sebagai racikan ajaib untuk menangani stunting. Padahal ahli gizi sepakat (menukil dari Kemenkes) bahwa stunting merupakan kondisi gagal tumbuh kembang otak pada anak balita yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Meskipun program ini menyasar ibu hamil dan balita (bisa dikatakan tepat sasaran), tetapi di sisi lain juga pemerintah menggelontorkan ratusan triliun untuk anak SD, SMP, dan SMA. Tentu nasi kotak ini bisa mengatasi masalah kelaparan harian dan menambah energi belajar bagi mereka. Namun, tidak bisa memperbaiki kerusakan otak akibat stunting yang terjadi dalam hitungan belasan tahun lalu. Ini jelas dua hal yang berbeda.
Belum lagi, praktik lebih massif di lapangan banyaknya kasus keracunan massal. Dilansir dari liputan6.com, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) telah mencatat 6.452 anak menjadi korban keracunan MBG hingga 21 September 2025. Sungguh ironi yang menyakitkan.
Demi program nasi kotak, anggaran untuk kualitas otak dikorbankan. Celakanya, nasi kotak itu sendiri sangat terbuka celah gagalnya, tidak aman, dan rawan di korupsi. Selain itu, program ini bisa dikatakan tidak fokus pada pencegahan stunting yang justru masalah krusial.
Maka, perlunya kawalan dari masyarakat sipil seperti kita untuk terus menggaungkan keresahan-keresahan yang berulang. Jangan sampai mandat “mencerdaskan kehidupan bangsa” justru tersandera dengan pengadaan nasi kotak raksasa di republik tercinta.









