Perlukah Membela Pesantren?

Sebagai non-santri, saya melihat pesantren bisa jadi salah satu alternatif model pendidikan yang menjadi jawaban bagi ketahanan pendidikan kita di masa depan. Ya, saya menyebutnya dengan frasa ‘ketahanan’. Sebab di masa depan, bukan cuma soal pangan saja yang mungkin akan langka.

Gejala komersialisasi pendidikan di tanah air sudah terlihat dalam beberapa tahun belakangan. Dari mulai menjamurnya sekolah swasta dengan uang pendaftaran hingga ratusan juta rupiah, hingga ramainya layanan bimbel berbasis digital yang menjanjikan siswa memperoleh kampus ternama: katanya supaya dapat bersaing di pasar kerja. Kondisi ini terjadi di tengah kemerosotan kepercayaan terhadap sekolah-sekolah negeri oleh sebagian masyarakat. Menandakan sekolah yang diselenggarakan negara saja dirasa tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan generasi muda kita.

Model pendidikan seperti pesantren dengan nilai lokalnya, saya pikir, dapat menawarkan alternatif terhadap kondisi pendidikan saat ini. Tapi sayangnya harapan itu mendapat tantangan dari kemelut yang dimulai oleh narasi banal dan nir-etika, sebuah tayangan dari salah satu televisi swasta. Kita melihat respons kemarahan dari pengurus dan elitE PBNU yang super reaktif, bahkan cenderung agresif, sehingga memicu tensi tinggi publik NU di mana-mana.

Program di salah satu televisi itu sebenarnya sudah salah dan sering dikritik dalam kelas-kelas studi ilmu komunikasi. Sebuah program yang sembarangan mengambil konten-konten di media sosial. Dengan hanya modal mencantumkan tautan konten, mereka memproduksi tayangan dengan modal semurah mungkin dan menuai kue iklan darinya. Saya masih berharap, diskusi kita di tengah publik dapat mengkritik cara berbisnis industri penyiaran itu, dan mungkin sudah saatnya memblejeti regulasi sektor usaha ini, demi kepentingan publik.

Namun yang disayangkan ialah, perdebatan di khalayak media sosial jauh dari kata konstruktif. Kubu netizen dibagi menjadi dua. Pertama, orang-orang yang tidak tahu soal dunia perpesantrenan memandang dunia pesantren ialah feodalisme di tengah dunia modern. Tentu istilah feodalisme ini bisa kita perdebatkan. Kacamata awam itu memicu kemarahan pihak kedua, netizen dengan latar belakang pondok pesantren yang gelisah dan menganggap komentar itu ialah ancaman bagi keadiluhungan ekosistem pesantren yang berjasa bagi hidup mereka.

Dua pandangan ini tidak akan pernah bertemu dan tidak akan pernah berujung karena ketidakmampuan untuk saling memahami konteks masing-masing. Di tengah pendidikan berbasis pondok pesantren, yang saya pikir sudah mulai ditinggalkan, bagaimana kita bisa mempromosikan pondok pesantren itu ke masyarakat yang tidak mengenal kalau wajah garang pembela pesantren ini terus-terusan bergulir?

Pesantren Alternatif

Sikap reaktif dari ormas Islam yang memayungi tradisi pesantren itu berpotensi semakin mengikis citra pondok di mata publik. Bahwa semua pesantren itu kolot, feodal, relasi antara kiai dan santri timpang dari sisi ekonomi maupun sosial, pengkultusan individu dan hal-hal yang dianggap tidak kompatibel untuk hidup di zaman modern. Saya tak menampik, masih terdapat praktik buruk dalam pesantren, belum lagi kasus kekerasan yang terjadi pada institusi itu. Adapun kalangan pegiat pesantren dan jebolan pesantren yang progresif sering mengkritik ini. Namun dengan kemarahan tadi, justru mengerdilkan kerja-kerja mereka.

Karya para pegiat pesantren, yang saya sebut model alternatif, patut disebarluaskan. Masyarakat kita perlu diberitahu, bahwa model pendidikan pesantren beragam bentuknya. Seperti pesantren Ath-Thaariq asal Garut, Jawa Barat, yang menerapkan pendidikan berbasiskan harmoni antara manusia dengan alam. Pesantren yang dikelola pasutri Abah Ibang dan Umi Nissa ini dengan berani membebaskan biaya para santrinya.

Di tengah pesantren berlomba-lomba menjadi seformal dan semodern mungkin, Ath-Thaariq seakan menjadi otokritik atas fenomena tersebut. “Pendidikan formal kita, baik di desa atau di kota, merebut anak didiknya untuk pergi, bukan menetap. Makanya desa selalu dibilang tertinggal. Orang-orang pintarnya pergi ke kota-kota besar,” ujar Umi Nissa saat diwawancarai salah satu media massa.[1]

Hal serupa juga ditempuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar yang juga digawangi oleh pasutri, Siti Barokah dan Roy Murtadho. Menurut mereka, alasan utama menyematkan kata “ekologi” berangkat dari masifnya perebutan lahan dan konflik agraria dalam beberapa dekade ini. Secara radikal, pesantren ini bahkan menyebut dirinya inklusif dan mengajarkan bahwa persoalan lingkungan (ekologi) juga harus mempunyai perspektif politik.

“Saya selalu bilang, ekologi harus politik. Enggak ada sesuatu yang enggak politis. Environmentalism without class struggle is just gardening. Bertanam saja. Kita enggak mengajarkan itu,” ujar Roy menyitir ucapan Chico Mendes, aktivis buruh dan lingkungan asal Brasil yang ditembak mati pada akhir 1980-an.[2]

Mimpi Di Masa Depan

Mengetahui ada pesantren seperti itu, membuat saya berani bermimpi bahwa pendidikan di masa depan bukan hanya jadi manufaktur pencetak tenaga kerja untuk kebutuhan industri semata. Tapi juga mampu mengangkat martabat manusia dan melanjutkan cita-cita melestarikan alam. Apalagi cita-cita kelestarian ini di desa-desa mulai terdesak oleh arus urbanisasi, seakan kenikmatan hidup semua harus dikejar di kota-kota besar saja.

Saya masih miris dengan tindakan reaktif yang muncul dalam aksi demonstrasi dan intimidasi yang dilakukan ke publik akibat kemarahan atas tayangan televisi yang amoral tersebut. Belum lagi saya mendapati ada cendekiawan jebolan pondok yang berpotensi mempolarisasikan isu ini, antara masyarakat pesantren versus pembencinya yang didakwa salafi-wahabi serta sekuler-urban. Sedangkan seorang aktivis muda pesantren yang saya kenal di Jaringan GUSDURian sempat membuat postingan dengan nada kecewa dan marah, menyebut para pengolok-olok pesantren sebagai orang yang hidup dalam gelembung sendiri. Saya berharap kita semua berkaca ke masing-masing diri, apa tindakan reaktif itu juga menandakan kita masih berada dalam gelembung masing-masing juga?

Sikap itu menurut saya menampakkan diri sebagai mayoritas yang arogan. Jauh dari kesan pesantren yang inklusif. Saya sebut inklusif karena di saat pendidikan serba mahal, masih banyak pesantren di desa-desa sana yang tak mematok biaya tinggi. Hidup dalam harmoni dengan lingkungan sekitarnya, menyebabkan pesantren cenderung adaptif, karena mengutamakan pendekatan rahmah seperti yang pernah dikampanyekan para lulusannya. Amarah pada publik yang menyinyiri pesantren jauh dari wajah pesantren yang percaya dengan nilai toleransi. Justru terkesan fundamentalistis, seperti kaum kanan mentok, persis seperti kaum-kaum yang dikritik kalangan intelektual pesantren itu sendiri.

Gus Dur pernah mengkritik perilaku ekstrem semacam itu lewat tulisannya yang masyhur di kalangan GUSDURian, “Tuhan Tidak Perlu Dibela.” Bahwa sebesar apa pun upaya manusia mengolok-olok entitas Ilahi, tak akan sedikitpun mengurangi kemuliaan-Nya. Begitu pula dengan pesantren. Jika kita benar-benar yakin akan keluhurannya sebagai lembaga pendidikan, kebudayaan, ekonomi, sekaligus politik yang menumbuhkan kearifan lokal, maka tak ada alasan untuk gentar terhadap para pengoloknya. Tugas kita bukan membalas dengan amarah, melainkan terus bekerja, memperbaiki diri, dan menunjukkan lewat tindakan bahwa pesantren mampu menjadi mercusuar di tengah dunia pendidikan yang kian terkomodifikasi. Jadi, kalau kata Gus Dur, gitu aja kok repot!




[1] Baca laporan tirto.id berikut: https://tirto.id/memaknai-ulang-relasi-manusia-alam-di-pesantren-ath-thaariq-glGg#

[2] Baca juga laporan tirto.id berikut: https://tirto.id/di-pesantren-misykat-keragaman-ditanam-krisis-iklim-dilawan-gDik

GUSDURian Jakarta. Mantan wartawan media nasional di ibu kota. Saat ini bekerja untuk pemerintah di ibu kota pula.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *