Akhir pekan ini, sekitar 2.000 GUSDURian berdatangan secara mandiri dari berbagai penjuru Nusantara ke Jakarta. Mereka mewakili ribuan orang dalam 130 komunitas Jaringan GUSDURian Indonesia berkumpul dalam acara dua tahunan untuk bermusyawarah mengenai berbagai isu strategis bangsa dan saling belajar dari pengalaman satu sama lain.
Publik Indonesia saat ini cukup familiar dengan istilah GUSDURian, yang merujuk pada orang-orang yang mendaku sebagai murid atau pengikut Gus Dur. Jaringan GUSDURian membedakan antara GUSDURian dan pengagum atau pencinta Gus Dur. Walaupun sama-sama menjadikan Gus Dur sebagai inspirasi, seorang GUSDURian membawa inspirasi tersebut menjadi upaya aktif untuk meneladani perjuangan Gus Dur dalam konteks saat ini.
Jaringan ini dikelola oleh anak-anak muda, melibatkan para tokoh agama lintas iman dan kelompok masyarakat lainnya. Dengan jangkauan yang luas, saat ini Jaringan GUSDURian menjadi salah satu jejaring lintas iman terbesar di Tanah Air. Atas kerja-kerjanya, ia menerima berbagai apresiasi, termasuk Asian Democracy and Human Rights Award 2018.
Nama GUSDURian awalnya diperkenalkan oleh anak-anak muda NU circa 1990-an, terutama para mahasiswa Institut Agama Islam Negeri. Dekade itu, anak-anak muda NU mulai meluaskan khidmahnya ke luar lingkungan NU seiring dengan regenerasi pemikiran yang mengikuti kepemimpinan Gus Dur di NU.
Tajuk majalah Bangkit edisi nomor 2 bulan Januari-Februari 1993 menggambarkan bahwa tumbuhnya suasana kebebasan berpikir di kalangan NU kala itu mendorong kembalinya semangat berfilsafat, kosmopolitanisme, pluralisme, dan tradisi kritis sehingga hampir tidak ada masalah keagamaan yang tak dipertanyakan.
Alhasil, anak-anak muda NU ini pun menjadi bagian dari gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang kritis terhadap rezim Orde Baru, termasuk melawan upaya kooptasi terhadap NU di Muktamar Cipasung pada 1994. Kala itu, lembaga-lembaga keagamaan tidak lepas dari upaya pengendalian penuh oleh negara. NU menjadi salah satu yang berhasil melawan walau tertatih-tatih, ditandai dengan kegagalan Orde Baru mengintervensi NU saat itu dan Gus Dur kembali menjadi ketua umum PBNU.
Anak-anak muda ini mengembangkan beragam bentuk khidmat pemberdayaan masyarakat. Gerakan perempuan, gerakan demokrasi, gerakan lintas iman, dan kelompok studi berkembang di berbagai kota. Contohnya LKiS (Lembaga Kajian Islam Strategis), yang menjadi pionir gerakan kritis.
Anak-anak muda ini menyebut dirinya GUSDURian sebagai penanda afiliasi ideologisnya, sebagaimana freudian mengikuti ideologi Freud, atau para marxist yang mengisbatkan dirinya pada Karl Marx. Kala itu, pilihan positioning sebagai GUSDURian ini sangat menarik karena pada dasarnya anak-anak muda ini sudah menyandang predikat lain yang lebih ideologis sebagai nahdliyyin (jemaah NU).
Gagasan dan pemikiran Gus Dur segar dan kritis. Keberaniannya untuk berjuang di medan-medan berat juga luar biasa, seperti mengkritisi bias sejarah dan manipulasi tragedi ’65, pembelaan kepada kelompok minoritas agama dan kelompok adat, Papua dan Aceh.
Bahkan, Gus Dur menjadi penantang utama pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal dan ideologi tertutup oleh rezim militer Orde Baru. Namun, secara ciamik, ia menyiasati dengan mendorong NU menerima Pancasila sebagai asas organisasi dan menawarkan cara pandang Pancasila sebagai ideologi terbuka yang terus tumbuh sebagai etika moral bangsa.
Gagasan-gagasan fundamentalnya inilah yang memikat anak-anak muda menjadi GUSDURian di masa itu walau terbatas di kalangan anak muda NU yang terdidik. Sifatnya pun individualistik dan tidak dibentuk menjadi sebuah jejaring atau sebagai gerakan.
Setelah Gus Dur wafat, muncul pertanyaan: bagaimana melanjutkan perjuangan Gus Dur dan siapa yang akan melakukannya? Kepada siapa kami mengadu? Demikian pertanyaan dari banyak kelompok masyarakat yang dibela oleh Gus Dur, seperti kelompok minoritas agama, kelompok petani yang melawan industrialisasi semen di pantura Pulau Jawa, kelompok masyarakat adat yang terdesak oleh kebijakan pemerintah yang abai, dan seterusnya.
Sebagai insan multidimensi, Gus Dur bergerak di spektrum ruang yang lebar. Orang mengenal Gus Dur sang ulama, Gus Dur sang kiai NU, Gus Dur sang penggerak lintas iman, Gus Dur sang pejuang demokrasi dan hak asasi manusia, Gus Dur sang pemikir dan penulis, Gus Dur sang humoris, Gus Dur sang penggerak budaya, dan lain sebagainya. Tidak mudah untuk merawat warisan jejak perjuangannya.
Keluarga Ciganjur pun memutuskan untuk melakukan upaya merawat warisan khidmah Gus Dur tersebut karena menyadari masyarakat yang dicita-citakan oleh Gus Dur belumlah terwujud. Menyadari bahwa sahabat, pengagum, dan murid-murid Gus Dur tersebar, kami pun memutuskan membangun jejaring murid-murid Gus Dur sebagai strategi utama untuk khidmah nonpolitik praktis. Maka, GUSDURian pun menjadi nama pilihan.
Bukan hal yang mudah karena tidak ada template yang bisa diikuti. Akan tetapi, dengan kerja keras, gerakan ini semakin meluas. Berbekal Sembilan Nilai Utama Gus Dur sebagai lensa gerakan, semakin banyak GUSDURian yang lahir dan berkiprah di berbagai ruang. Jumlah komunitas terus bertambah, demikian juga ragam inisiatif. Mulai dari advokasi kasus kelompok masyarakat lemah, seperti kasus Wadas dan pembangunan rumah ibadah, hingga gerakan keadilan ekologis.
Jaringan GUSDURian menjelma menjadi ruang mini Indonesia, yang bineka dan diikat oleh nilai-nilai keindonesiaan. Sampai saat ini, inspirasi Gus Dur terus menyala dan semoga dapat menyumbang pada terwujudnya Indonesia yang menjadi cita kita.
Seperti kata pepatah: harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Gus Dur telah membuktikannya.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 31 Agustus 2025









