Rakyat murka, tidak hanya di Indonesia pada akhir Agustus 2025, tetapi juga di berbagai belahan dunia beberapa tahun terakhir ini. Rakyat murka, turun ke jalan untuk menuntut pemenuhan haknya, dan memaksakan perubahan nasib yang tak kunjung diwujudkan oleh elite politiknya.
Sebagian besar memprotes kesenjangan kesejahteraan akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagiannya memperjuangkan hak asasi, seperti protes besar 2022 di Iran setelah Mahsa Amini mati disiksa polisi karena gayanya berhijab dianggap tak sesuai ketentuan.
Laman Global Protest Tracker milik Carnegie Endowment for International Peace melansir, dalam 12 bulan terakhir tercatat 159 protes besar di 71 negara diorganisasi rakyat melawan pemerintahnya. Sebanyak 27 di antaranya terjadi di negara tidak bebas seperti Iran, menandakan munculnya perlawanan yang lebih keras. Di Iran yang otoritarian religius, demo tahun 2022 berujung pada jatuhnya lebih dari 500 nyawa.
Minggu-minggu ini, demonstrasi besar-besaran di Nepal menjadi perhatian dunia. Protes ini digerakkan oleh gen Z akibat pemblokiran 26 platform media sosial, yang menjadi ajang mengkritisi pemerintah dan politisi, termasuk tagar #NepoKids untuk mengekspose perilaku hedon para elite politik dan keluarganya.
Protes gen Z pada tanggal 9 September menyebabkan jatuhnya 19 korban jiwa akibat tindakan represif aparat. Perdana Menteri Sharma Oli menuduh adanya tangan asing dalam demonstrasi ini dan menyatakan akan bertindak tegas. Tetapi, gen Z justru semakin meradang dan murka.
Potongan-potongan video beredar luas, menunjukkan pejabat dan elite politik Nepal digelandang amuk massa, dilemparkan ke sungai, dikeroyok, atau bergelantungan diselamatkan oleh helikopter medis.
Protes gen Z Nepal menuai dampak yang signifikan. PM Oli membubarkan pemerintahannya dan mengundurkan diri. Pemerintah interim dipimpin oleh PM Sharki, yang dipilih melalui aplikasi jejaring sosial Discord yang dikelola gerakan Youth Against Corruption. PM Sharki adalah pejabat politik pertama dalam sejarah dunia yang dipilih melalui jejaring sosial.
Berselang beberapa hari, protes besar melanda Perancis bersamaan dengan dilantiknya PM baru Sebastian Lecornu. Protes masif melibatkan lebih dari 200.000 orang ini membawa tajuk ”The Bloquons Tout” (Block Everything).
Di penjuru lain, orang muda Filipina juga mulai bergerak mengonsolidasikan demonstrasi antikorupsi hari-hari ini. Demikian juga di Amerika Latin dan region MENA. Belum lagi di Amerika Serikat. Rakyat Bangladesh dan Korea Selatan pada akhir 2024 sudah berhasil memaksakan pergantian kepemimpinan.
Beberapa hari sebelum Nepal, kita di Indonesia mengalami Prahara Agustus yang menyebabkan pembakaran gedung-gedung pemerintahan, penjarahan beberapa rumah elite politik, serta perusakan pos dan kantor polisi di sejumlah daerah.
Tercatat 10 korban jiwa, dipicu oleh meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengendara ojol, dilindas oleh mobil rantis Brimob. Dalam catatan organisasi masyarakat sipil, lebih dari 1.000 korban luka dan hampir 4.000 orang sempat ditahan oleh polisi.
Pecahnya ketidakpuasan rakyat di berbagai penjuru dunia menandai bangkitnya kembali kekuatan rakyat ke dalam dinamika politik. Tidak bisa dimungkiri, demokratisasi sistem politik berkelindan dengan ekonomi politik yang terjadi mulai dekade 1980-an membawa dampak melemahnya demokrasi itu sendiri, dan terpinggirkannya rakyat kecil.
Prosedur demokrasi dibajak dan dikapitalisasi para elite politik untuk berburu rente dan kekuasaan. Kebijakan diputuskan sebagai hasil negosiasi antarkelompok politik secara taktis jangka pendek, untuk memanfaatkan masa kuasa yang pendek.
KKN yang tak terkendali, politik nir-akuntabilitas serta manipulasi hukum dan keamanan sebagai senjata represi masyarakat, berdampak pada kesenjangan yang semakin nyata. Elite politik dan keluarganya memamerkan kekayaan nir-empati, menampilkan diri dengan pongah berbekal impunitas.
Sementara itu, rakyat terjerat beban hidup yang berat tanpa titik terang kemajuan. Dalam kata-kata Greta Thunberg, ”Penderitaan masyarakat banyaklah yang mengongkosi kemewahan yang dinikmati segelintir orang”.
Inilah pangkal persoalannya. Data statistik historis global menunjukkan kesenjangan akan berujung pada persoalan sosial yang membesar, demikian temuan Richard Wilkinson dan Kate Pickett dalam buku The Spirit Level: Why Equality is Better for Everyone (2009).
Maka kemarahan publik pun tak terbendung. Rakyat yang pada dasarnya pecinta damai harmoni dan hanya ingin bisa hidup sejahtera menjelma menjadi kekuatan tsunami politik. Rakyat murka pada sikap arogan elite politik dan mulai melakukan perlawanan. Kemurkaan menjelma menjadi kebencian dan dendam kesumat. Alhasil, warga menjadi bisa diprovokasi untuk melakukan kekerasan dan perusakan untuk pelampiasan. Rakyat menuntut keadilan, partisipasi bermakna dalam menentukan nasib bersama, terutama keadilan ekonomi.
Sayangnya, tidak semua protes ini akan menghasilkan perubahan signifikan. Sebagian rezim menganggap rakyat adalah kelompok masyarakat bodoh yang hanya perlu diberi panacea sementara. Beberapa rezim memilih meningkatkan represi. Beberapa lagi melakukan manipulasi dan memanfaatkan tradisi harmoni masyarakat atau memberikan penawar temporer.
Tetapi, zaman sedang berpihak kepada rakyat. Teknologi informasi memungkinkan rakyat menjadi lebih berdaya dan lebih paham hak dan kewajibannya. Elite politik tak bisa lagi semena-mena seperti yang lalu. Nepal 2025 seharusnya menjadi peringatan bagi semua politisi dunia, bahwa rakyat bukanlah orang bodoh.
Gelombang peradaban berikutnya adalah milik generasi muda, yang sadar dan melek politik, yang peka keadilan, punya instrumen, dan ingin perubahan. Peringatan Greta Thurnberg sebaiknya diindahkan: We have come here to let them know that change is coming whether they like it or not (kami datang untuk memberi tahu para pemimpin bahwa perubahan akan segera terjadi, suka atau tidak suka).
Saatnya bersiap dan bergerak.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 21 September 2025









