Beberapa tahun lalu, di media sosial muncul sebuah rekaman pidato Gus Dur dalam acara Pendidikan Pengembangan Wawasan Keulamaan Nahdlatul Ulama atau PPWK NU. Di dalamnya, Gus Dur berkisah tentang putrinya (saya) yang sedang mendampingi seorang rendan (sebutan bagi anak jalanan perempuan di Yogyakarta) yang menjadi korban pemerkosaan, hamil, dan mengalami kekerasan, sehingga patah tulang. Saya mengeluhkan kebingungan ke mana membawa sang korban, dan apa yang harus kami lakukan.
Dalam pidato tersebut, Gus Dur lalu menegaskan bahwa para ulama seharusnya mampu hadir dalam kehidupan umat yang terjepit seperti ini, karena menutup mata justru sama dengan berlaku zalim kepada umat. Gus Dur memang gigih menyuarakan agar para ulama tidak tercerabut dari fungsi utamanya, yaitu membimbing umat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Lima belas tahun setelah Gus Dur wafat, saya kembali berjumpa dengan beberapa mantan rendan. Mereka hadir dalam acara peringatan Seratus Hari Wafatnya KH Imam Aziz di Pesantren Bumi Cendekia, Yogyakarta. Mereka berbagi cerita tentang bagaimana Mbah Imam, panggilan mereka kepada Imam Aziz, hadir dalam kehidupan mereka di jalanan Yogyakarta. Mendampingi, memanusiakan, dan membantu mereka mengembalikan martabat dirinya, serta melindungi mereka dari sikap apriori masyarakat.
Kehadiran mereka mengingatkan saya pada banyak kerja bersama Mbah Imam sampai wafatnya pada Juli 2025. Berulang kali kami berkunjung dan mendampingi masyarakat Kendeng di Sukolilo dan Rembang, melawan industri semen yang merusak penghidupan mereka. Saya mengikuti Mbah Imam bertemu dengan warga masyarakat Kulonprogo saat memperjuangkan kehidupannya dari dampak pembangunan bandara Kulonprogo, juga korban pasir besi.
Saya makmum saat Mbah Imam berupaya membebaskan KH Nur Aziz di Kendal, yang dipenjara karena membela ratusan keluarga petani dari sengketa lahan dengan Perhutani. Saat akhirnya sang kiai bebas dengan grasi Presiden, kami pun hadir dalam syukuran warga desa Surokonto Wetan. Tahun 2023, sebagian warga menerima sertifikat lahan melalui program Reforma Agraria, tak lepas dari perjuangan Mbah Imam.
Mbah Imam juga terkenal dengan inisiatif syarikat yang dipimpinnya, yang berfokus pada upaya rekonsiliasi kultural sejati dengan masyarakat korban tragedi ’65 dan sekaligus mendampingi upaya keadilan restoratif bagi mereka. Hasilnya, banyak anak muda NU yang menyadari bahwa tragedi ’65 tidaklah hitam putih sebagaimana gambaran yang disodorkan negara selama ini, dan berkehendak mencari jalan menutup luka sejarah di atas prinsip keadilan.
Mbah Imam tumbuh di masa yang tepat, saat NU mengalami pertumbuhan ideologi transformasi sosial yang dipimpin Gus Dur. Ia adalah bagian dari generasi pertama santri yang meluaskan khidmatnya, tidak melulu berkaitan dengan ritual keagamaan atau urusan ke-NU-an, tetapi merambah pada isu-isu keadilan sosial dan demokrasi serta hak asasi manusia.
Namanya menjadi rujukan bagi para nahdliyin yang berkecimpung di bidang pemberdayaan masyarakat. Tidak ada yang menampik bahwa ia adalah salah satu murid terbaik Gus Dur di antara santri segenerasinya. Karena itu, di lingkungan Jaringan Gusdurian pun, Mbah Imam dianggap sebagai salah satu cetak biru profil Gusdurian.
Walaupun nama Mbah Imam tidak populer seperti ustaz atau tokoh dan selebritas, bagi banyak kelompok yang terpinggirkan, tertindas, dan terjepit oleh sistem sosial politik ekonomi yang abai pada keadilan sosial, Mbah Imam adalah pahlawan. Hidup mereka berubah menjadi lebih baik dan bermartabat karena dimanusiakan, walaupun tidak selalu masalahnya terselesaikan sesuai harapan.
Mbah Imam menunjukkan delapan karakteristik pahlawan: bijaksana, kuat, tangguh, dapat diandalkan, karismatik, welas asih, rela berkorban, dan menginspirasi, sebagaimana dirumuskan oleh Allison & Goethals dalam buku Hero: What They Do and Why We Need Them (2020).
Mbah Imam konsisten dalam menjaga prinsip keadilan sosial dan perjuangan untuk menegakkannya. Bahkan saat menjadi staf khusus Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin pun, Mbah Imam tidak goyah dari prinsipnya. Ia, misalnya, tetap mendampingi warga desa Wadas dan warga Papua, serta para petani yang mengalami kriminalisasi melawan kekuasaan yang mengintimidasi mereka.
Berbagai kajian tentang pahlawan dan kepahlawanan menunjukkan bahwa pahlawan bukanlah gelar yang bisa diberikan kepada sembarang orang. Menyitir Franco, Blau & Zimbardo (2011) dalam artikel, ”Heroism: A Conceptual Analysis and Differentiation between Heroic Action and Altruism”, para pahlawan menunjukkan dua kualitas yang membedakan dengan orang biasa: kesetiaan pada nilai-nilai moral dan kesediaan untuk menanggung risiko pribadi demi mengemban nilai-nilai moral tersebut.
Bukan jabatan dan kekuasaan yang menentukan seseorang dapat disebut sebagai pahlawan. Tidak semua presiden atau tokoh agama layak disebut sebagai pahlawan. Ia harus menunjukkan karakter moral etis, terutama berkait dengan tindakan yang mengangkat kemaslahatan masyarakat. Seorang penguasa seperti Hitler tentu tidak dapat disebut sebagai pahlawan walaupun ia pernah menjabat sebagai pemimpin tertinggi Jerman, karena ia justru mengorbankan jutaan manusia untuk ideologi supremasinya.
Mbah Imam justru menunjukkan berbagai karakteristik kepahlawanan secara konsisten. Walaupun tak pernah menjadi pejabat atau penguasa, ia setia pada nilai-nilai moral etis dan menjadikan dirinya sebagai instrumen perjuangan bagi rakyat.
Bangsa kita perlu belajar untuk lebih arif dalam memaknai kata pahlawan dan bagaimana menyematkannya kepada orang yang tepat, yaitu mereka yang teguh memegang nilai moral, yang mengorbankan diri untuk kemaslahatan rakyat, dan bukan sebaliknya, mengorbankan rakyat atas nama kekuasaan. Dan untuk itu, Mbah Imam Aziz barangkali dapat menjadi pengingat kita.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 2 November 2025









