Hari Santri dan Jihad Era Pandemi

Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 22/2015 tentang Penetapan Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober, maka tahun ini pun kita kembali memperingatinya. Tema besar yang diangkat pada Hari Santri tahun ini adalah ‘Santri Sehat, Indonesia Kuat’ yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia, yang masih ada di lingkaran pandemi Covid-19.

Perayaan Hari Santri tahun ini semakin berbeda karena dihadapkan pada persoalan yang begitu kompleks. Selain sedang bersama-sama berjuang melawan pandemi Covid-19, bangsa ini juga masih harus menghadapi persoalan terkait sengkarut kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, persoalan intoleransi dalam beragama, diskriminasi pada kelompok minoritas, tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, dan lain sebagainya.

Saya ambil contoh dua kasus intoleransi yang baru saja terjadi, yakni pada September 2020. Jemaat HKBP KSB yang bertempat di Bekasi mengalami gangguan dari sekelompok orang saat menjalankan ibadah pada 13 September lalu. Kemudian pada 20 September, sekelompok warga Graha Prima melakukan tindakan intoleransi berupa pelarangan ibadah jemaat Gereja Pantekosta yang ada di Bogor, dan hal yang sama juga terjadi di Mojokerto pada 21 September 2020.

Kemudian untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, mengambil data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, disebutkan bahwa selama 2019 terjadi kekerasan terhadap perempuan dengan total 431.471 kasus. Total tersebut dikatakan meningkat sebanyak 6% dari tahun sebelumnya.

Selain itu tidak bisa dipungkiri bahwa selama pandemi Covid-19, kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat dan mayoritas korbannya masih menyasar perempuan dan anak. Mencuplik the conversation yang membahas hal ini, bahwa selama pandemi, setidaknya sampai Agustus lalu, sudah ada 319 laporan kekerasan, di mana dua pertiganya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Data-data tersebut tentu membuat miris. Terlebih setelah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dikeluarkan dari Prolegnas 2020.

Hal ini pun menjadi tantangan besar juga bagi para santri, mengingat dalam beberapa tahun terakhir juga mulai banyak ditemukan adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren dan dilakukan oleh pimpinan atau pengasuh pondok pesantren tersebut. Salah satu contohnya adalah kasus kekerasan seksual yang dialami oleh santriwati di pondok pesantren Shiddiqiyyah, Jombang. Meski sudah melakukan pelaporan sejak November 2019, akan tetapi sampai Juli 2020 lalu, tidak ada tindak lanjut atas status tersangka dan tidak ada kepastian perlindungan terhadap korban.

Menurut saya, peringatan Hari Santri di masa pandemi harus bisa jadi momentum bagi santri generasi ini untuk lebih memerhatikan dan memahami kompleksitas persoalan yang dialami bangsanya, kembali memelajari sejarah bangsa Indonesia yang bhineka dan mendorong adanya landasan hukum untuk melindungi para santri korban kekerasan di pesantren. Sebab Indonesia era ini, sangat membutuhkan generasi yang menjunjung tinggi keadilan, melek sejarah, dan bisa mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang didapatkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi kemudian pertanyaannya adalah, bagaimana santri dan generasi muda masa kini mengintegrasikan ilmu pengetahuannya dengan konteks berkehidupan yang plural dan kompleksitas persoalan yang tidak pernah selesai?  Terlebih ketika di dalam diri masing-masing santri tersebut masih enggan untuk saling menerima perbedaan, enggan mengedepankan toleransi di tengah pluralitas dan enggan menghargai keberadaan kelompok rentan.

Maka salah satu aspek yang menurut saya penting diterapkan adalah dengan membangun optimisme diri. Tiap-tiap individu di era pandemi ini perlu penyatuan visi dan misi yang riil sebagai tawaran untuk mengimplementasikan sikap menjunjung tinggi toleransi untuk Indonesia yang berkeadilan. Sebagai santri milenial, kita tentu masih terus belajar. Berupaya mengajak menjunjung kesetaraan dan keadilan antar sesama manusia dan secara kolektif ikut mendorong pemerintah melindungi perempuan dan anak, yang notabene masih menjadi subjek yang rentan terdampak, dan lain sebagainya.

Hal ini penting, sebab untuk menjadi ‘santri yang  sehat’, tidak cukup hanya sehat secara fisik tapi justru dilemahkan mentalnya. Sehat harus dimaknai secara lebih luas, yakni santri mendapatkan asupan pengetahuan yang bisa membuatnya berdaya, mendapatkan hak bersuara sekaligus perlindungan dari segala macam kekerasan di lingkungan tinggalnya.Sementara untuk menjadikan ‘Indonesia kuat’, tidak bisa dilakukan dengan perang menggunakan senjata.

Ada tanggung jawab besar yang kita emban untuk membuat ‘Indonesia Kuat’ yakni dengan menanamkan sikap toleransi antar sesama manusia, mengajak generasi milenial untuk melek gender dan kritis pada isu-isu yang ada di Indonesia, serta berkontribusi memupuk perdamaian, agar tercipta kesalingan dalam berkehidupan di tengah keberagaman bangsa. Wallahu a’lam. []

Penggerak GUSDURian Bonorowo Tulungagung, Jawa Tengah.