Protest Voting Pilkada

Hari ini, 9 Desember 2020, pemungutan suara Pilkada Serentak digelar di 270 wilayah Indonesia; persisnya 224 Kabupaten, 37 Kota, dan 9 Provinsi. Jumlah yang cukup signifikan untuk menambah kluster Covid baru yakni kluster pilkada. Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19, masyarakat Indonesia yang terpapar Covid sampai tanggal 5 Desember ini sebanyak 569.707 orang, angka tersebut naik sebanyak 6.027 dalam sehari. Sedangkan yang meninggal dunia akibat Covid sudah mencapai 17.589 orang, sebuah jumlah yang sangat penting  kita refleksikan bersama. Tapi mengapa pemerintah, DPR, dan KPU tetap bergeming melanjutkan pilkada serentak 2020 ini. Padahal angka masyarakat yang terpapar pandemi terus melambung tinggi. Saya melihat ada tombol legitimasi yang seringkali digunakan oleh penguasa untuk mematikan kritik suara publik (muting) yakni regulasi. Hal serupa juga terjadi pada UU Cipta Kerja yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi sebulan lalu (2 November 2020). Sebelumnya kritik publik tampak sangat kuat tapi sekarang pelan-pelan sudah mulai lirih terdengar. Tampaknya strategi tombol muted ini masih cukup ampuh bagi penguasa untuk menundukkan suara protes massa.

Suara Protes ‘Muted’

Pro-kontra Pilkada sebenarnya sudah memanas sejak Pemerintah, DPR, dan Penyelenggara Pemilu tampak sepakat akan melanjutkan pilkada serentak di tengah masa pandemi ini. Mereka menggunakan Perppu No.2 tahun 2020 untuk memperkuat setiap langkah kebijakan yang diambil. Termasuk kebijakan KPU yang belakangan menuai kritik publik terkait dengan pemberian hak pilih pasien positif Covid-19 baik itu yang di rumah sakit maupun isolasi mandiri. Kebijakan ini diatur dalam PKPU No.6 tahun 2020 pasal 72, makin ke sini KPU tampak makin kehilangan nalar hukumnya karena lebih mementingkan partisipasi pilkada daripada kesehatan pasien yang sedang menjalani perawatan. Bukannya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, Solus Populis Suprema Lex Esto.

Tidak sedikit pakar epidemolog dan petugas medis angkat bicara, mereka juga menilai bahwa kebijakan KPU ini sama sekali tidak tepat, sembrono dan harus segera dihentikan karena berisiko membahayakan banyak orang (Siapkah Pilkada di Masa Pandemi, 4-12-2020; 19:30 WIB CNN Indonesia). Sebelum-sebelumnya kita juga sering mendengar protes satir mereka terhadap para elit penguasa, #IndonesiaTerserah. Saya rasa KPU memang perlu mempertimbangkan kembali saran mereka, apalagi jumlah masyarakat yang terpapar Covid-19 perhari ini terus meningkat. Di samping itu, PKPU itu merupakan regulasi yang diproduksinya sendiri berbeda dengan UU yang melibatkan banyak aktor untuk mengeksekusinya. Kalau tidak, jangan salahkan publik berfikir bahwa KPU tak ubahnya sama dengan anggota DPR dan Pemerintah yang belakangan suka bermain tombol muted untuk melewati kebisingan suara publik.

Dengan lanskap politik semacam ini, wajar kalau kemudian kehidupan demokrasi kita akhir-akhir ini terdengar bising sekali karena publik kerap kali disuguhi kebijakan-kebijakan yang membingungkan bahkan ‘mematikan’ suara mereka sebut saja soal PSBB, UU Minerba, Omnibus Law, UU Revisi Hakim MK, lalu perihal dilanjutkannya Pilkada. Kalau kita merujuk  teori dasar demokrasi sudah sangat jelas bahwa kratoslah hakikat pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem ini, maka sudah sepatutnya mereka bersuara mengawasi langkah-langkah yang diambil oleh pejabat negara yang mewakili suara mereka. Di dunia maya kebisingan soal pro kontra pilkada di atas tak kalah ramai. 

Data Drone Emprit menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 15-22 September 2020 lalu, isu Pilkada sempat menjadi tren topik di media sosial. Terdapat 208K percakapan, paling banyak di Twitter 175k, berita online 31k, dan IG 1,7k (Ismail F, 2020). Kalau dipetakan ada dua kubu besar; Pertama, meminta pelaksanaan Pilkada ditunda tahun depan mengingat kasusnya terus meningkat dan tenaga medis berjatuhan. Kedua, sepakat untuk dilanjutkan asalkan sesuai dengan protokol kesehatan yang ditentukan. Kelompok pertama itu banyak disuarakan oleh aktivis penggiat pemilu, tokoh masyarakat, dan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang intinya menganggap bahwa menjamin hak hidup warga negara itu lebih utama daripada  menjamin hak pilih politik, Dar ul Mafasid Muqaddamun ala Jalbil Masalih. Sedangkan kelompok kedua, banyak keluar dari akun medsosnya lembaga negara seperti KPU, Bawaslu, dan Humas Polri. Meskipun hasil SNA (Social Network Analysis) Pilkada Drone Emprit menunjukkan bahwa hampir semua percakapan warganet mendorong agar perhelatan pilkada 2020 ditunda dulu, akan tetapi DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu tetap nekat melanjutkan pilkada yang dirasa rawan melahirkan kluster baru.

Antisipasi Kluster Baru

Artikel ini merupakan bagian dari bentuk solidaritas saya terhadap teman-teman, saudara, para santri, guru/kiai, petugas medis, tetangga rumah, dan semua lapisan masyarakat baik yang sedang berjuang melawan corona maupun yang telah berpulang mendahului kita semua. Sejak dilanjutkannya kembali tahapan Pilkada 15 Juni lalu angka paparan Covid di Indonesia terus meningkat, kurang lebih 26%. Tentu saja ini bukan hanya karena tahapan pilkada, liburan panjang dua bulan lalu turut menyumbang angka yang signifkan selain tahapan kampanye pilkada. Namun demikian, dilaksanakannya pilkada di 270 daerah benar-benar berpotensi akan menjadi bom atom Covid kalau tidak segera disikapi publik.

Tombol muted boleh mereka tekan, tapi kontrol publik harus terus kita nyalakan agar mereka yang menginginkan pilkada lanjut ini tetap terkonfirmasi rasa tanggung jawabnya. Mengingat hampir semua daerah yang menggelar Pilkada tahun 2020 ini, petugas KPPS-nya sebagian besar terdeteksi reaktif Covid setelah menjalani rapid test bahkan ada yang positif. Misalnya Jawa Barat ada 1500 KPPS yang reaktif, Bali 1.106 orang, Kep. Riau 964 orang, Jawa Tengah 800 orang, Sumatera Barat 469 orang. Dan perhari ini menurut data Satgas Covid sudah ada 17.568 orang yang meninggal karena terpapar Covid. Ketiadaan simulasi khusus layanan pemberian suara bagi pasien Covid juga berpotensi membuat petugas KPPS kewalahan dalam eksekusinya dan melanggar protokol kesehatan. Oleh sebab itu, mari kita suarakan Golput pada Pilkada 2020 sebagai bentuk protes massa terhadap mereka-mereka yang nekat membuat kebijakan di tengah masa pandemi ini. Semoga ledakan kluster pilkada tidak sebesar apa yang dikhawatirkan oleh para tokoh bangsa ini. –Solus Populis Suprema Lex Esto-.

Alumnus MAK Pesantren Tebuireng, Jombang. Menyelesaikan pendidikan tinggi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Leiden University. Sedang menyelesaikan S3 program Ilmu Politik di UGM