Sepanjang hidupnya, Gus Dur jamak dikenal sebagai seorang tokoh yang lengkap dan berkompetensi di berbagai bidang. Karena itulah, lantas masyarakat menyematkan berbagai macam predikat, seperti ulama, penulis, budayawan, aktivis, politisi, intelektual, dan banyak lagi sematan yang lain. Sematan-sematan itu sudah barang tentu sebuah konsekuensi logis dari kedalaman ilmu dan juga keteladanan pola zikir, pikir, dan amal saleh.
Saking nyentrik dan luasnya cakrawala Gus Dur, sampai-sampai Raedu Basha mempersembahkan satu karya puisinya yang berjudul “Suluk Gus Dur”. Puisi ini ada pada halaman 73 buku kumpulan puisi Hadrah Kiai karya Raedu Basha yang terbit tahun 2017 yang lalu. Kira-kira begini puisinya;
Suluk Gus Dur
Menatap wajahmu aku menyaksikan
Abul ‘ala al-ma’ari di mimbar syair
Mendendangkan sajak-sajak perlawanan
Kedua matanya buta tapi pelupuknya
Menembus tahir ketauhidan
Tatapan berada dalam tiada
Istimewa dalam cacatnya
Sekeras-keras hati kan bergetar
Menyimak diksi-diksi ajaib al-ma’ari
Ketika tangan seorang panglima
Tak lagi bertenaga menggenggam senjata
Dengan kesyahduan sajak-sajaknya
Tak seorang pengecut pun
Berbaris dalam pasukan pembela
Udara mengibar serban imamahnya
saat bersajak
Gema kasidah al-ma’ari mendedah
Selaksa asa jiwa-jiwa alpa
Menjadi barisan pemberani
Membela hak manusia
Begitu pun udara yang mengecup
peci hitammu gus
Begitu pun sepasang pelupukmu
yang tak balas menatapku
Tapi malah taklukkan kalbu
Sebagai manusia yang mesti berjaga
Senapas hembusan roh syuhada
Di pecimu yang hitam
Seolah langit malam tak kujangkau ketinggian
Akankah kugapai rembulan
Terang pada paras tenang
Riap pandaran gemintang
Dapatkah kutangkap satu saja cahaya
Lalu kumakna
Kejora perasaan senantiasa menyala
Ialah rahmat alam semesta
Setiap perbedaan manusia
Tetap berada dalam satu cahaya
Ia yang memancar dari purnama
malam yang tenteram
langitnya berselimutkan hitam pecimu
sehitam lebam ciuman wahyu
“berbeda itu asyik,
Gitu aja kok repot”
Inilah negeri atas angin sebagaimana sabda nabi
Bumi nusantara kasih sayang tahta di atas segalanya
Kuning langsat hitam atau coklat tetap satu nusa
Sipit pesek mancung setia satu bangsa
Wajah sama wajah liyan berteduh pada kemarau dan hujan
Di bawah atap garis yang sama negeri khatulistiwa
Yang sehati dalam keberagaman
Yang sejiwa dalam keberagamaan
Yang senandung dalam lagu-lagumu jelang senja
“jika engkau berbuat baik kepada sesama manusia
Orang tidak akan bertanya apa agamamu”
Menatap wajahmu aku juga menyaksikan
Penyair al-muallaqot zuhair bin sulma bermadah
Di panggung akbar ukaz dan berkasidah
Di hadapan baginda rasulullah
Tapi ia tidak mengenakan serban dan jubah
Melainkan peci hitam dan sarung
Madahnya tembang luhung orang kampung
Mendendangkan suluk-suluk nusantara
Diiringi semar dan petruk bernyanyi
Salawat nabi:
“e poro konco prio wanito
Ojo mung ngaji syareat bloko
Mung pinter ngaji nulis lan moco
(wahai kawan pria wanita
Jangan hanya belajar syariat saja
Hanya pintar mengaji, menulis, dan membaca)”
Dalam bait di atas penyair meneroka persamaan antara Gus Dur dengan al-Ma’ari. secara fisik Gus Dur dan al-Ma’ari sama-sama buta, secara ideologi keduanya mengkritik cara beragama yang fundamental dan ortodoksi beragama yang kaku. Selain itu keduanya juga aktif dalam memperjuangan hak asasi manusia yang mengindikasikan keduanya memiliki gagasan yang sama yaitu gagasan humanisme.
Dalam bait-bait berikutnya, puisi ini juga mencermati kalimat yang sering sekali dilontarkan oleh Gus Dur, kalimat ini sangat familiar sekali, yaitu kalimat “berbeda itu asyik, gitu aja kok repot”. Kalimat Gus Dur ini mengindikasikan bahwa beliau luwes sekali dalam menghadapi perbedaan. Goresan diksi-diksi tentang warna kulit, bentuk mata, bentuk hidung, dan wajah-wajah manusia Indonesia yang hidup bersama dalam satu naungan bernama Indonesia. Lagi-lagi ini tentang sikap pluralis Gus Dur dalam melihat manusia Indonesia.
Pada bait sebelum terakhir, penyair menukil kalimat Gus Dur yang berisi tentang hidup bersama dalam keragaman, hidup bersama dalam keberagamaan, “Jika engkau berbuat baik kepada sesama manusia, orang tidak akan bertanya apa agamamu”. Perkataan ini mengisyaratkan bahwa berbuat baiklah untuk semua, iya semua, tanpa memandang agama.
Pada bait terakhir puisi ini, Raedu Basha mengumpamakan Gus Dur tak ubahnya penyair muallaqot Zuhair bin Abi Sulma yang masyhur dengan syair-syairnya, sementara itu, Gus Dur dalam pandangan penulis setelah meneroka kalimat-kalimat Raedu; tak ubahnya penyair kehidupan yang masyhur dengan perjuangan kemanusiaannya. Jika Zuhair bersurban dan mengenakan jubah, namun Gus Dur dengan sarung dan peci hitamnya. Ini sebagai simbol bahwa Gus Dur hidup dalam tradisi pesantren, sementara Zuhair hidup dalam tradisi padang pasir.
Dalam imaji Raedu Basha suatu ketika Gus Dur menaiki panggung Ukaz –panggung megah penyair Arab–, tentunya dengan mengenakan sarung dan peci. Di hadapan Gus Dur, Kanjeng Nabi sedang mengamatinya. Diiringi semar dan petruk yang menyenandungkan salawat dan suluk-suluk Nusantara, lalu Gus Dur menyambungnya dengan syiir tanpo waton “e poro konco prio wanito/ Ojo mung ngaji syareat bloko/ Mung pinter ngaji nulis lan moco” dst.
Diksi dan untaian kalimat dalam puisi “Suluk Gus Dur” sarat dengan pesan simbolik yang Gus Dur usung, tentunya dengan gaya khas Raedu Basha. Gagasan pluralisme yang Raedu simbolkan dalam puisi “Suluk Gus Dur” ditandakan dengan kutipan-kutipan Gus Dur yang mengusung kehidupan bersama dalam keragaman, dan keberagamaan. Raedu juga menyimbolkan Gus Dur tak ubahnya sastrawan berpeci dan bersarung yang mendendangkan syair-syair kemanusiaan. Untuk almaghfurlah Gus Dur lahul fatihah.
Sumber: alif.id