Strategi kebudayaan pesantren dalam menghadapi tantangan zaman perlu upaya progresif dan adaptif. Pesantren genuine (asli) menghadirkan karakter dan nilai nilai lokal dan Islam yang harus dan terus dilestarikan. Mukhafadoh ngala qodimissolih adalah bathiniyah: nilai dan prinsip yang harus mengakar pada tradisi keindonesiaan dan keislaman. Wal akhdu bil jadidil aslakh adalah dohiriyah: perilaku dan faktor-faktor luar yang bisa berubah sesuai perkembangan zaman.
Beberapa pesantren juga mempunyai nilai yang tidak tertulis, yang dipercaya oleh sebagian masyarakat dan santri. Semisal jika rumah seorang kiai lebih bagus dari asrama santri, maka santri akan sulit bertambah. Pesantren menambah pembangunan gedung jika santri sudah memenuhi semua ruangan asrama. Ini masuk dalam kategori tradisi tidak tertulis. Hal ini juga mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan dalam dunia pesantren dan ketokohan seorang kiai.
Masing-masing pesantren mempunyai tradisi yang berbeda. Nilai kesederhanaan, kejujuran, dan kemandirian menjadi kunci kuat di pesantren. Ini semua didukung oleh kemampuan leadership dan uswah yang dicontohkan oleh kiai dan pengasuh pondok pesantren. Selalu ada yang istimewa di setiap pesantren sehingga banyak santri dan masyarakat yang fanatik dan terkesima dengan pesantren dan kiainya.
Pesantren memodifikasi diri tetapi tidak luntur dari nilai-nilai islami. Modernitas adalah hal yang dianjurkan tetapi harus dimaknai dengan tepat. Modernitas merupakan kemampuan merespons perkembangan terkini.
Dalam skala kecil, modernitas bisa dilihat seperti kapasitas tampungan kamar, adanya komputer, perbedaan level dan kelas, digitalisasi sarpras, dan masih banyak lagi lainnya. Kesalahkaprahan pemahaman modernitas yang masih sempit itulah yang harus dipahami, karena modernitas mempunyai konsekuensi perubahan yang menyeluruh. Modernitas harus mencakup semua kebutuhan masyarakat dan peradaban.
Pesantren dulu didirikan untuk mandiri dan tidak tergantung dengan negara. Tetapi sekarang pesantren banyak berkolaborasi dengan negara, CSR, komunitas, lembaga, yayasan, dll. Pesantren mampu adaptif dan kolaboratif tetapi tetap mandiri dengan ketangguhan, pemikiran, dan pendidikannya. Inilah konsep modernitas yang dinamis dan terus berkembang.
Arti “modern” tidak relevan jika tidak menyeluruh dan malah bisa menjebak jika “modern” diartikan hanya terbatas pada sarpras, bukan pada metode pembelajaran dan banyak lagi lainnya. “Modern” dan “salaf” akan menimbulkan sekat dan pertanyaan-pertanyaan berikutnya, karena tipologi tersebut masih dipandang sempit.
Pola keterhubungan kiai dan santri itu sangat penting dalam sebuah pesantren. Para pengasuh yang membimbing dan mendampingi ribuan santri itu tidak mudah. Membagi pengasuh dan santri dengan ukuran yang ideal, model pengasuhan santri, dan figur kiai yang karismatik juga teladan umat akan mampu menjaga nilai dan keterhubungan kiai bersama santri dalam sebuah pesantren.
Sanad pemikiran dan keilmuan memang mengikuti ulama Timur Tengah, tetapi sanad perilaku didasarkan pada kearifan dakwah lokal walisongo. Pesantren genuine mepunyai standar lokalitas walisongo. Pemikiran dan gerakan menjadi satu kesatuan dan keterpaduan di pesantren. Nusantara merupakan tempat persilangan budaya, sehingga akulturasi dan filtrasi kadang terjadi. Pesantren genuine punya peran besar menjaga identitas, moralitas, dan religiusitas negeri ini. Pesantren tidak genuine tidak punya sanad dan tidak memiliki standar lokalitas dan identitas diri dalam kearifan berkehidupan bersama di bumi Nusantara.
*Artikel ini merupakan sekilas ulasan di Ngopi PUSPPA (Ngolah Pikir Pusat Studi Pesantren dan Pendidikan) seri ke-4 dengan tema “Success Story: Santri dan Pesantren Menghadapi Intensitas Perubahan Zaman”. Diskusi yang dihelat pada Rabu, 17 Februari 2021 via Zoom PUSPPA tersebut diisi oleh KH. Jazilus Sakhok, Ph.D (Wakil Katib Syuriah PWNU DIY) dan dimoderatori oleh Gus Muhammad Irfai Muslim, M.Si (Dosen UIN Sunan Kalijaga). Ulasan lengkapnya dapat disaksikan di sini.