Waspadai Bibit Intoleransi di Sekolahan

Bibit-bibit intoleransi, kebencian, dan anti keragaman, saya kira sudah mewabah di sekolah-sekolah negeri, bahkan sejak di TK dan SD. Istri saya sering cerita bagaimana guru, khususnya guru agama, mengajari murid untuk membenci agama lainnya, khususnya Kristen, di depan para muridnya, dengan nada mengolok dan melecehkan.

Misal, ada guru anak saya nanya, “Apakah di sini ada yang tahu apa itu gereja dan siapa yang pernah ke gereja?”

Anak saya mengangkat tangannya dan mengatakan bahwa ia tahu gereja dan sering ke gereja. Mendengar itu, gurunya kaget dengan raut muka tidak menyenangkan.

Setelah mendengar cerita anak saya, sang guru mencecar anak saya dengan berbagai pertanyaan yang intimidatif dan merendahkannya di depan murid-murid lainnya.

“Kalau saya, setiap naik motor dan melewati gereja”, demikian kata guru tersebut, “Saya selalu memalingkan muka. Jangankan datang ke gereja. Melihat aja saya tidak mau!”.

Dengan detil dan rinci anak saya menceritakan dan memperagakan kembali cara gurunya bertutur dan merendahkan agama lain, di depan saya.

Nah saya sendiri pernah dipanggil ke sekolahan karena ada salah paham antara anak saya dengan gurunya. Singkat cerita, setelah melalui perdebatan yang melelahkan. Meski saya memilih lebih banyak diam dan mendengarkan. Tiba-tiba sang guru mengatakan: “Kalau anaknya singkek (Tionghoa) nakal lumrah. Lha kalau anaknya orang pesantren nakal kan aneh. Nggak pantas.”

Spontan saya angkat bicara dan meluruskan cara berpikir sang guru. Saya tanya balik. “Apa yang Anda maksud sebagai nakal itu? Anggap saja nakal itu suka mengganggu anak lain. Nah, apakah anak saya suka mengganggu anak lainnya? Atau kalau yang dimaksud nakal adalah tidak sopan. Apakah anak saya pernah membentak-bentak, menghardik, atau berkata tidak sopan pada Anda? Jika, iya. Akan saya luruskan perilakunya.”

Menurut saya, bukan bermaksud membela secara berlebihan, anak saya didefinisikan sebagai nakal karena dia sedang berjuang untuk menjadi dirinya sendiri dan mempertahankan argumennya dengan baik. Nah, saya katakan bahwa tidak benar, menganggap kalau anak orang Cina otomatis nakal. Dengan mengatakan begitu, seolah-olah kita ini sudah paling benar saja. Itu adalah labeling yang tidak adil dan diskriminatif.

Ujung dari semua pembicaraan lebih mencengangkan. Sang guru malah menganjurkan saya untuk memukul anak saya agar dia bisa tertib bla.. bla.. yang seperti kita tahu memang khas pendidikan di Indonesia yang bercita rasa fasistik, yang memuja kekerasan, ketertiban, dan menjadikan kekerasan sebagai solusi bagi penertiban dan ketertiban.

Sang guru rupanya tidak percaya dengan cara kami mendidik anak dengan mengajak mereka berdiskusi secara terbuka. Semuanya saling belajar menyampaikan pendapat secara terbuka dan merdeka, belajar saling mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain. Ia lebih percaya dengan jalan kekerasan ketimbang cinta kasih. Jadi, wajar kalau di sekolah-sekolah ini kelak lahir generasi mental fasis, rasis, dan anti keragaman. Lebih memilih kekerasan ketimbang perdebatan yang saling menghargai.

Cerita-cerita intoleransi, kekerasan verbal dan intimidatif kalau saya himpun banyak sekali baik pengalaman pribadi maupun pengalaman kawan-kawan saya lainnya.

Yang lucu, guru anak saya tiap menjelang pelajaran nanya sholat murid-murid. Anak saya cerita ke saya, “Pak guru kayak Malaikat”. “Kenapa?” tanyaku. “Lha, nanya soal sholat terus dicatat. Kan kayak malaikat”. Kami serumah yang mendengarnya ketawa terpingkal-pingkal. Maka kelak, Islam itu tertutup kemuliaannya bukan karena dinistakan orang lain, tapi dinistakan oleh kaum Muslim sendiri.

Jujur, saya selalu curiga dengan cara kerja institusi pendidikan di negeri ini. Anak-anak mau dicetak jadi robot dan mesin fotocopy.

(Artikel ini pertama kali dimuat di islami.co)

GUSDURian. Pendiri media Islam progresif: Islam Bergerak, juga pendiri Pesantren Ekologis Misykat Al-Anwar.