Semalam, Senin 12 Juli 2021, Jaringan GUSDURian bekerja sama dengan #JogjaLebihBike menggelar diskusi daring bertajuk “Webinar #JogjaLebihBike: Hidup Sehat, Iklim Selamat”. Acara yang dimulai jam 19.00 dan berakhir jam 21.00 WIB tersebut mengundang beberapa narasumber, di antaranya adalah Fahmi Saimina (Ketua Umum B2W Indonesia), Inaya Wahid (Penggugat pencemaran udara ibu kota), dan Roy Murtadho (PP. Ekologi Misykat Al-Anwar Bogor). Diskusi dipandu langsung oleh Sarah Monica dari beritabaru.co.
Obrolan tentang kesehatan dan lingkungan ini bermula dari masalah polusi yang memburuk, terutama di wilayah perkotaan. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia.
Banyak faktor yang menyebabkan permasalahan ini. Di antaranya adalah polusi akibat transportasi yang tidak ramah lingkungan serta efek industrialisasi. Di Jakarta, aliansi masyarakat sipil bahkan menggugat pemerintah daerah atas gagalnya menjamin kualitas udara yang bersih. Bagaimana dengan kota non-metropolitan seperti Yogyakarta? Studi yang dilakukan oleh Pustral UGM menyebut kondisi udara di kota pelajar ini makin memprihatinkan. Transportasi darat bermotor menyumbang 60 persen di antaranya.
Inaya Wahid memulai diskusi dengan menjelaskan latar belakang dan progres gugatannya kepada tujuh pihak dari pemerintahan atas kelalaian pencemaran udara bersih. “Bulan Juli ini gugatannya masuk ulang tahun yang kedua. Dan sampai hari ini gugatannya belum ada keputusannya. Sudah empat kali diundur terus. Gugatan-gugatan itu menurut kami lama sekali. Kami merasa bahwa para tergugat ini cenderung mengelak dari kewajibannya,” kata perempuan yang akrab disapa Nay tersebut.
Lebih lanjut, Inaya menerangkan bahwa udara bersih merupakan hak publik yang harus diperjuangkan. Soal pencemaran udara ini, menurutnya, bukanlah persoalan yang bisa berdiri sendiri dan hanya ada satu pihak yang bertanggungjawab. “Ada banyak kontributor polusi udara. Pertama adalah transportasi. Kedua adalah aktivitas rumah tangga. Dan ketiga adalah PLTU Batu Bara,” lanjutnya.
Sejalan dengan Inaya, Roy Murtadho menambahkan bahwa dalam skala global, 40 persen karbon dioksida yang ada di dunia dihasilkan oleh PLTU Batu Bara. “Salah satu penyokong utamanya adalah infrastruktur di sektor energi dan transportasi. Lucunya, proyek-proyek itu digenjot terus selama pandemi. Beberapa titik PLTU di Suralaya, Cirebon, hingga Indramayu semuanya jalan terus,” terang Roy.
Pengasuh pondok pesantren ekologi tersebut juga menjelaskan posisi agama-agama, terutama Islam, dalam menjaga lingkungan dari kerusakan. “Kalau di Katolik kan sudah ada laodato si, komitmen teologis dari Gereja untuk menyikapi krisis iklim. Di Islam, menurut saya, penyelamatan lingkungan itu inheren atau melekat dalam semua ajaran Islam. Komitmen itu bahkan melebur dalam tradisi keagamaan warga Nahdliyin.”
Di sisi lain, Fahmi Saimina dari B2W atau Bike to Work Indonesia menceritakan sejarah gerakan sipil yang melakukan kampanye sosial untuk mengajak banyak orang supaya bersepeda, ke mana pun dan memakai sepeda apa pun. “Pada akhirnya, visi kita adalah menciptakan kualitas hidup yang baik bagi masyarakat Indonesia,” katanya. “Yang menarik, di awal pandemi, ketika PSBB dilaksanakan, Jakarta seperti cerah sekali. Langit terlihat biru, udara bersih, bahkan pemandangan gunung jadi terlihat. Itu sebenarnya pesan dari Yang Maha Kuasa bahwa tanpa kendaraan lalu lalang, ternyata kita bisa. Meskipun menurut data yang kami baca, itu hanya berjalan sekitar dua minggu hingga satu bulan pertama.”
Diskusi ini diadakan melalui Zoom Meeting dan disiarkan langsung melalui kanal GUSDURian TV. Acara ini juga menjadi media untuk meluncurkan dua video kampanye berjudul “Agama Jaga Bumi” dan “Mural Lebih Bike”.