Pancasila: Lem Perekat yang Mulai Terkelupas

Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan membutuhkan energi yang sangat banyak, baik pikiran, tenaga, maupun biaya. Tentunya kita sepakat dengan hal itu. Dalam fase berikutnya untuk menyempurnakan konsep kemerdekaan bangsa Indonesia, para pendiri merumuskan nilai-nilai dasar yang akan menjadi pegangan, maka muncullah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam perkembangannya empat hal itu lazim kita sebut empat pilar kebangsaan.

Dalam kesempatan ini, saya tidak akan mengupas semuanya, saya ingin melihat salah satu dari empat pilar tersebut, yaitu Pancasila. Objektif atau subjektif pandangan saya, semua bebas memberikan penilaian terhadap pandangan saya.

Pancasila berisi 5 (lima) subtansi berkehidupan kita, sehingga sangatlah ideal jika kemudian Pancasila disebut sebagai falsafah hidup dan disebut juga lem perekat berbangsa dan bernegara. Saya kira bukan hal yang kebetulan, dan bukan pula ujuk-ujuk (tiba-tiba) muncul, Pancasila lahir sebagai proses kristalisasi pemikiran dan spiritualitas para pendiri bangsa. Apa buktinya?

Jika dianalisa lebih dalam dan kemudian dikorelasikan dengan keadaan bangsa Indonesia saat ini, tentu akan menjumpai fakta betapa 5 (lima) sila inilah yang saat ini dilanda berbagai macam problem. Saya ingin mengatakan bahwa “Pancasila adalah sebuah produk pemikiran brilian yang ditopang oleh kekuatan spiritual/kebatinan yang sangat kuat.”

Para pendiri bangsa ini sudah melakukan kajian yang sangat mendalam terhadap komitmen bentuk berbangsa dan bernegara kita. Sudah melakukan proses penerawangan terhadap kondisi berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang, sudah melakukan istikharoh, mujahadah, dan muhasabah sehingga mendapatkan kabar dari langit tentang kondisi Indonesia ke depannya.

Sekali lagi saya ingin menyampaikan, entah kebetulan atau tidak, tapi inilah realitas problem yang dihadapi Pancasila;

Sila Pertama; Ketuhanan yang Maha Esa

Fakta yang tidak bisa kita bantah, keyakinan kita kepada Tuhan sebagai hak asasi yang bersifat fitri sudah mulai diobok-obok oleh sebagian orang yang mengatasnamakan Tuhan. Agama menjadi kedok yang ideal untuk melakukan intimidasi dan intervensi ketuhanan setiap warga negara. Kebebasan beragama sudah tercerabut dari semangat berkebangsaan yang sangat menyadari keberagaman keberagamaan. Kasus yang menimpa saudara-saudara kita, misal; kasus Ahmadiyah di Depok, Jakarta, Bandung. Syiah di Sampang dan Puger yang dianggap sesat dan kafir. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang; FPI, Majelis Mujahidin, Ikhwanul Muslimin, kelompok teroris, dan lain-lain. Kasus Poso dan Ambon yang mengatasnamakan SARA. Kasus yang menimpa saudara Kristiani di Bogor, Bekasi, Jepara yang tidak bisa mendirikan tempat ibadahnya. Semua itu adalah contoh riil pengkhianatan terhadap sila pertama.

Sila Kedua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Pengkhianatan pada sila ini pun terjadi sedemian banyaknya, seolah menegaskan bangsa ini sudah mulai terseok-seok mempraktikkan falsafah hidupnya, kasus G 30 S PKI, pembunuhan aktivis Munir, Tanjung Priok, Banyuwangi, pelanggaran HAM di Papua, sebuah bukti sejarah pelanggaran kemanusiaan. Premanisme menjadi alat memporakporandakan rasa kemanusiaan kita. Keadilan atas hukum tak bisa dirasakan, hukum tebang pilih, siapa yang bisa beli hukum maka dia akan kebal hukum (banyak koruptor, bandar narkoba) mendapatkan putusan hukum yang tidak setimpal.

Etika dan sopan-santun (akhlak) sebagai sebuah nilai tak lagi terjaga, kenakalan remaja marak terjadi di seluruh penjuru Nusantara, pejabat korupsi (misal; korupsi Al-Qur’an dan Dana Haji), Tokoh agama menjualbelikan agama, dan masih banyak fakta lainnya. Itulah bukti kemanusiaan yang tak terhargai di negeri yang konon paling beradab.

Sila Ketiga; Persatuan Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final bangsa dan negara ini serasa tidak bisa tenang, isu disintegrasi bangsa menjamur di belahan Nusantara entah itu bagian dari skenario, konspirasi ataukah tidak, tapi itulah realitas yang tidak bisa dipungkiri.

Isu disintegrasi bangsa dapat kita lihat dengan nyata setelah Timor-Timur (sekarang Negara Timor Leste), Papua, Maluku, dan Aceh terus bergeliat untuk memerdekakan diri. Persatuan Indonesia tergerus oleh isu ketidakadilan dan ketidakmerataan pembangunan. Penguasaan pusat yang berlebihan terhadap sumber daya alam daerah-daerah menjadi bumbu penguat isu disintegrasi bangsa ini.

Sila Keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Rakyat sudah tak merasakan lagi hikmat di tanah kelahirannya sendiri, karena teror yang terus terjadi, musyawarah sudah menjadi barang langka di negeri ini tak ubahnya kelangkaan minyak, kelangkaan kedelai, dan kelangkaan pupuk. Kalau toh ada hanya sebatas formalitas dan tak berpengaruh, masyarakat lebih cenderung spontan/reaktif terhadap segala sesuatu yang menimpa mereka, tak perlu melakukan klarifikasi untuk dicarikan jalan yang terbaik (musyawarah). Lembaga perwakilan tumpul, kalau mengutip kata Gus Dur: DPR RI seperti taman kanak-kanak. Kepentingan rakyat selalu dikalahkan oleh kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Perwakilan hanya istilah legal agar mereka bisa memperkaya diri dengan memakai dasi, sementara saat membicarakan persoalan rakyat mereka alergi. Kebejatan lembaga perwakilan terpampang nyata tanpa rekayasa; korupsi jadi sarapan pagi, dan pornografi sebagai penyemangat diri. Dan ironinya rilis KPK RI, institusi DPR masuk urutan pertama kasus korupsi.

Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

“Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Istilah ini yang saya kira sangat tepat menggambarkan kondisi keadilan sosial di Indonesia. 60% penduduk masih hidup dalam kemiskinan, sementara para kartel melenggang kangkung di atas penderitaan si miskin. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin kian dalam.

Keadilan ekonomi tak dirasakan oleh rakyat, liberalisasi pasar lebih berpihak pada pemilik modal, industrialisasi sektor pertanian justru semakin memiskinkan petani. Kapitalisasi kelautan tak mampu sejahterakan nelayan. Kebijakan perburuhan semakin mencekik leher martabat para buruh. Pemilik modal selalu menjadi pengendali kebijakan. Kemiskinan sebagai dampak dari pemiskinan oleh sistem di negara ini tak mampu diurai oleh para pemangku kebijakan, yang ada rakyat berusaha memperbaiki diri meski tanpa campur tangan negara.

Itulah beberapa fakta tentang kenapa pentingnya Pancasila sebagai falsafah negara, dan lem perekat perlu terus dijaga. Itulah beberapa fakta para pendiri bangsa ini sudah melakukan kajian yang sangat mendalam, bahwa lima hal yang termaktub dalam Pancasila adalah titik rawan kehancuran bangsa, yang kemudian dihimpun agar kita jaga bersama-sama.

Pancasila adalah nilai-nilai luhur bangsa dan negara Indonesia, dan Pancasilalah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia. Pancasila adalah ruh bernegara, Pancasila adalah hakikat berbangsa. Tak perlu diragukan dan tak perlu diperdebatkan karena Pancasila sebagai falsafah bangsa sudah final, seperti halnya pilar-pilar bernegara yang lain.

Dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 akan tetap terjaga, dengan Pancasila, NKRI akan tetap utuh, dan dengan Pancasila ke-Bhinnekaan kita akan terjaga dalam satu kesatuan Indonesia. Semoga kita bisa menjadi bagian bangsa Indonesia yang mampu mencengkeram Pancasila dan mengimplementasikan dalam kehidupan nyata selayaknya lambang negara Garuda mencengkeram Bhinneka Tunggal Ika. Dan semoga Tuhan senantiasa memberikan kebaikan pada bangsa dan negara Indonesia.

Penggerak Komunitas GUSDURian Grobogan, Jawa Tengah.