Berikut dokumentasi Majalah MATRA Maret 1992 saat wawancara dengan KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia ke-4, masa jabatan 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001. Gus Dur lahir pada 7 September 1940 dan meninggal pada 30 Desember 2009 (umur 69). Oleh banyak orang ia dipandang sebagai pendekar demokrasi. Gagasan-gagasannya terkadang kontroversial. Tindakan dan ucapannya dicap nyeleneh. Mungkin karena itu, bahkan ada yang menyebut pria berkacamata minus 15 ini ndablek.
“Apa iya saya ini ndablek? Yang saya katakan itu sebagian besar adalah kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Isi hati dan kemauan mayoritas umat yang selama ini tak terucapkan,” ungkap Abdurrahman Wahid.
“Sebagian lagi adalah salah kutip dari pers kita,” lontarnya terkekeh.
Cuek, ramah, terbuka, terkadang hati-hati, dan sedikit urakan.
Itulah kesan yang timbul silih berganti dari pribadi penikmat getol sepakbola ini selama tiga hari dikuntit wartawan dari MATRA.
Perbincangan kami berlangsung di sela-sela tugasnya melayani umat dalam perjalanan ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, dua daerah basis massa NU.
Selama perjalanan mencuat sifatnya yang sangat menonjol dan tertanam kuat: toleransi dan pengertiannya pada orang dan pihak lain, serta penghargaan dan sikap hormatnya pada orang yang lebih tua usianya.
Maka, bukan sesuatu yang ganjil baginya untuk mencium tangan para kiai—bahkan yang bersilang pendapat dengannya sekalipun. Bukan pula sesuatu yang aneh kalau ia menarik tangannya—dengan agak sedikit kasar—ketika orang yang menyalaminya hendak mencium.
Mengaku hanya “berbuat yang biasa-biasa saja” bagi Nahdlatul Ulama (NU). Namun, masa depan organisasi Islam yang didirikan oleh kakeknya itu banyak digantungkan kepadanya.
Uniknya, harapan itu nyaris sama kuatnya dengan usaha untuk mengguncangnya dari jabatan Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar NU yang dipegangnya sejak 1984. Toh Gus Dur—panggilan akrab penggemar fanatik simphoni ke-9 Beethoven ini—tetap kukuh di kursinya.
Posisinya yang semakin kuat di NU dan kiprahnya melalui Forum Demokrasi yang juga diketuainya, sempat melahirkan gunjingan curiga dari kalangan tertentu, bahwa jebolan Fakultas Sastra, Universitas Bagdad, Irak, ini sedang mengincar jabatan di Pemerintahan.
“Alaaa, saya sih begini-begini saja. Jelek-jelek begini, yang penting para menteri pada segan,” selorohnya enteng.
***
Di Sidoarjo kemarin Gus Dur bicara tentang calon wakil presiden mendatang harus dari ABRI. Koran-koran mengutipnya. Siapa calon di kantong Gus Dur?
Bukan begitu. Pers salah kutip. Saya bilang, wapres kita mendatang, dilihat dari segala sudut, kelihatannya akan dari ABRI. Bukan harus. Yang benar saja, masak kami yang minta harus ABRI.
Lho, memangnya kenapa kalau Gus Dur mau minta ABRI?
Lha, ndak begitu. Kita tidak menolak ABRI. Tapi ngapain kita yang minta ABRI?
Gus Dur juga bilang, orang NU sendiri tidak ada yang layak jadi calon wapres?
Memang enggak ada, kok!
Itu bisa diartikan NU tidak ikut menciptakan kader-kader berkualitas untuk pimpinan bangsa?
Sebagai kader, orang NU banyak yang hebat-hebat di semua lapangan. Tapi, susahnya, kita di Indonesia ini ‘kan mengukur orang dari jabatan di pemerintahan.
Apa-apa yang hebat, bagus, sukses, semua dari pemerintah. Lagi pula kan NU tak diharuskan menyiapkan kader. Kalau memang diharuskan menyiapkan calon wapres, mengapa kita tidak juga menyiapkan—misalnya—direktur kebun binatang. Kan sama saja tho. Itu kan juga jabatan pemerintahan, tho, ha…ha…ha.
Mbok ya enggak usah mikirin semua pekerjaan. Mari kita didik warga negara ini bahwa orientasi pekerjaan melulu di pemerintahan itu tidak penting.
Maunya Gus Dur, ada yang setara kemampuannya di luar pemerintahan?
Yah… tak perlu setaralah. Paling tidak para menteri itu segan. Mereka punya wewenang administratif, wewenang hukum, dan lain-lain. Kita ini punya massa.
Gus Dur juga menyebut Habibie sudah berjanji menolak jadi calon wapres. Habibie pernah katakan itu pada Gus Dur?
Saya diceritakan Soetjipto Wirosardjono. Habibie mengatakannya dalam pertemuan intern ICMI.
Mengapa Gus Dur mengungkapkan hal itu di depan warga NU?
Lho, ada yang bertanya. “Apakah tidak akan muncul calon wapres yang kuat dari kalangan cendekiawan?” Jadi, itu saya artikan Habibie tho. Siapa lagi?
Saya katakan saja bahwa Habibie enggak berminat.
Kedua, secara perhitungan di atas kertas, toh wapres mendatang masih akan ABRI juga. Sebab, mereka tentu masih ingin mengamankan proses suksesi.
Selama doktrin dwifungsi masih dipakai dan GBHN masih menunjuk kepada ABRI sebagai kekuatan sosial politik, ya.. saya rasa ABRI akan merasa mendapat tugas untuk mengambil fungsi atau peranan dalam proses suksesi.
Proses suksesi kita, sejauh yang dapat Gus Dur perhitungkan, akan berlangsung aman?
Oh, iya.
Eh, sebenarnya begini. Prematur untuk kita mengatakan suksesi. Sebab, suksesi itu baru akan terjadi tahun 1998. Karena pada 1993, jelas–di atas kertas–tidak akan ada suksesi.
MPR mendatang ini sebenarnya bukan menjalankan tugas suksesinya an sich, tapi sebagai ancang-ancang, persiapan, menjelang suksesi yang sesungguhnya pada 1998.
Itulah yang menjadikan MPR mendatang ini penting.
Ia punya arti sebagi titik tolak penyiapan suksesi. Artinya, suksesi itu berangkat dari Sidang Umum MPR mendatang.
Pola-pola penyiapan suksesi, lalu proses pelaksanaan suksesi, secara bertahap dilakukan dalam periode setelah Sidang Umum MPR 1993.
Prosesnya jadi lebih panjang. Akan lebih berat atau lebih aman dan matang?
Yah .. saya rasa yang terpenting adanya kontinuitas konstitusional. Ada kesinambungan konstitusional. Itu sangat penting artinya untuk kita semua.
Apa pun praktek konstitusional itu?
Ya.. Kalau mendengar suara-suara yang dari kalangan masyarakat, pemerintah, termasuk ABRI, pada suksesi 1998 tidak tertutup kemungkinan munculnya seorang….,katakanlah, succesor—seorang pengganti Pak Harto, dari kalangan sipil. Nanti kita lihat pola proses perkembangannya.
Gus Dur ingin mengatakan, jika suksesi tejadi pada 1998 maka ada waktu dan nafas lebih panjang untuk memproses munculnya succesor itu?
Ya. Jadi, nantinya pengganti Pak Harto ada kemungkinan bukan militer. Tapi, sekarang, di atas kertas, kekuatan yang efisien, efektif, terorganisir baik, adalah ABRI.
Merekalah yang akan lebih banyak berperan dalam proses penyiapan suksesi itu. Artinya, untuk 1993 ya otomatis hasilnya kira-kira ya masih (ABRI-red) ha…ha..ha.
Gus Dur yakin benar Pak Harto jadi lagi?
Untuk 1993, kelihatannya Pak Harto pasti jadi, biar tidak disiapkan segala.
Perhitungan saya, sudah dekat begini mana nama yang lain? Kan tinggal setahun lagi tho.
Sampai hari ini tak terdengar orang yang mau maju. Sedangkan untuk DPR saja, yang relatif bobotnya lebih enteng ketimbang kursi kepresidenan sudah ada daftar calonnya.
Masak untuk kursi presiden—yang kenyataannya bobotnya relatif lebih penting—kok belum muncul nama-nama lain. Paling nggak, mestinya ada tho. Berarti saya anggap nggak bakal ada nama lain kecuali Pak Harto.
Bagaimana kalau ABRI ikut pemilu saja sekalian?
Bisa-bisa saja. Di negeri-negeri lain, ada juga yang angkatan bersenjatanya ikut pemilu. Cuma, kita kan sudah punya konsensus ABRI diberi jatah kursi di MPR/DPR dan DPRD. Ya… berarti ABRI nggak usah ikut pemilu dong. ABRI ikut pemilu atau tidak, tergantung pada konsensus nasional tadi mau dipakai terus atau tidak.
Kita sepakat pada semangat dwifungsi ABRI. Tetapi operasionalnya yang seperti sekarang terjadi masih relevankah?
Rasanya kita memerlukan pendalaman lebih jauh mengenai arti dwifungsi ABRI.
Selama ini kan tekanannya pada peranan ABRI—termasuk visi kekaryaan dari dwifungsi itu. Saya pikir sekarang saatnya untuk melihat fungsi ABRI itu dalam arti yang lebih fundamental.
Jadi, mungkin peranan ABRI lebih diperlukan dalam merumuskan orientasi politik atau menjaga kelestarian pola konstitusional dalam sistem pemerintahan kita. Ketimbang pengelolaan politik itu secara langsung seperti sekarang.
Maksud Gus Dur, tekanan agak digeser dari kekaryaan?
Persis. Titik beratnya bukan kekaryaan, bukan pengelolaan politik itu.
Sekarang kita lihat, pihak keamanan aktif di dalam melakukan penelitian dan penyaringan orang-orang serta penetapan kader-kader masyarakat.
Pengelolaan politik seperti ini, dalam jangka panjang, sebenamya bisa juga dilakukan oleh masyarakat sendiri. Jadi, mestinya sudah lebih banyak diserahkan kepada masyarakat untuk mengatur.
Orsospol dan Ormas? Mereka sudah siap?
Ya. Sekarang mereka sudah lebih bisa. Kalau dulu tiap kali mau pemilu ada kericuhan mengenai daftar calon, sekarang yang begitu frekuensinya ‘kan sudah sangat kecil. Proses yang ada sudah lebih mapan. Pengelolaan politik sudah bisa dilakukan sendiri oleh orsospol.
Bukankah itu juga suatu bukti campur tangan pihak keamanan sudah mulai berkurang?
Ya, ya. Itu juga indikasi positif bahwa orsospol mampu. Dengan kata lain, kita memerlukan redefenisi dwifungsi itu. Sebuah posisi baru yang semakin sedikit berperan dalam pengelolaan politik, namun semakin banyak peranannya dalam formulasi kebijakan strategi jangka panjang.
Sejauh yang Gus Dur tangkap, apakah.posisi seperti itu yang diharapkan Jendral Soemitro dalam istilahnya “ABRI mengambil jarak dari kekuasaan?
Saya belum jelas benar, apa maunya Pak Mitro. Mungkin spiritnya sama. Tetapi mungkin jika kita membikin rinciannya, bisa juga akan ada perbedaan. Saya tak tahu persis. Saya belum baca habis buku beliau.
Ini ada kaitannya dengan soal security approach. Menurut Mendagri, penerapan pendekatan ini perlu lebih selektif. Pandangan Gus Dur?
Model pendekatan ini sebenarnya ‘kan cuma salah satu sisi dari konsensus nasional kita yang memberikan tempat penting bagi peranan politik kepada ABRI.
Peranan pengelolaan politik yang saya sebut tadi itulah bentuk security approach. Nah, kalau peranan pengelolaan politik itu dikurangi, kemudian ABRI lebih berfungsi sebagai peramu formulasi kebijakan politik strategis—bukan pengelolaan gerak politik itu sendiri, maka dengan sendirinya tekanannya bukan lagi pada pendekatan keamanan.
Mungkinkah security approach dihilangkan?
Tidak ada suatu negara modern yang tak menerapkan pendekatan sekuriti. Kalau ada, itu bohong. Selalu ada. Amerika saja ada CIA, ada FBI. Cuma, ditekan seminimal mungkin.
Sehingga penerapannya hanya dalam hal-hal yang sifatnya luar biasa. Umpamanya terhadap politisi yang diduga punya hubungan dengan raja-raja narkotika. Nah, masalahnya lalu menjadi masalah kriminalitas. Bukan lagi masalah politik.
***
Percakapan kami di surau pesantren Kiai Haji Nawawi Muhammad, di kawasan Ampel, Surabaya itu terhenti ketika dua santri menghidangkan santapan pagi. Nasi, Indomie godok (rebus), dan daging ayam goreng. Kakinya yang semula selonjor, kemudian dilipat bersila.
Sebelumnya, Gus Dur shalat subuh di masjid Ampel—dua ratus meter dari rumah KH. Nawawi. Selepas shalat ia sempat lama ziarah di makam Sunan Ampel, sisi barat masjid.
Pukul 03.30 dini hari selasa 4 Februari itu kami sudah berangkat dari rumah H. Masnuh—adik kelasnya dulu di pesantren Tambak Beras, Jombang—di kawasan Waru Sidoarjo.
Di rumah itulah ia kerap menginap bila berada di Surabaya.
Sejak meninggalkan Jakarta, Ahad 2 Februari, Gus Dur praktis tidur di atas mobil dan pesawat.
Hari pertama di Jatim, ia berbicara di depan warga NU dalam peringatan hari lahir (harlah) NU di Sidoarjo. Terus sowan ke rumah beberapa kiai dan menuju ke Jombang, kota tempat ia dilahirkan, 4 Agustus 1940.
Hari kedua kami sudah berada di Jember, juga mengunjungi kiai-kiai dan meresmikan sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kencong, Jember.
Selasa dini hari Gus Dur baru muncul kembali di Sidoarjo. Itu pun masih dicegat beberapa kiai yang menunggunya di rumah dokter Faruk, Direktur Pabrik Gula Candi, Sidoarjo, “Tidur di rumah cuma dua jam, terus ke sini,” ungkap Masnuh sesaat sebelum shalat Subuh.
****
Gus Dur cukup lama tadi di makam. Ngapain saja?
Apa lagi, ya berdoa. Minta selamat, minta kekuatan.
Saya memang percaya pada daya dari luar diri kita yang bisa memberikan intervensi kekuatan rohani kepada kita. Sejak kecil saya sudah dibiasakan begitu. Ada beberapa makam sunan yang selalu saya ziarahi.
Di luar negeri, antara lain, makam Ali al-Humaidy, Imam Ghazali. Saya tadinya mau ke sini sebelum Munas Lampung, tapi sekarang baru sempat.
Biar pun baru sempat setelah Munas, kekuatan Gus Dur di Munas tak tergoyahkan?
(Kami tertawa. Gus Dur yang biasanya rasional itu bahkan agak terbahak). Kita semua ini orang rasional. Tapi kita tak bisa membantah kadang-kadang ada semacam isyarat-isyarat, tanda-tanda, yang dikirim kekuatan lain dari luar diri kita.
Biasanya kita menyadarinya kalau sudah terjadi. Di belakang hari kita baru bilang, “O iya, pantas ada tanda-tanda ini, tanda-tanda itu……”.
Waktu Rais Am Kiai Achmad Siddiq meninggal, ada kiai yang membisiki saya, pengganti almarhum akan datang dari kulon.
Pikir saya, Kiai Mustamin, Cilacap. Tapi itu tak masuk akal. Wong beliau sudah uzur sekali. Bisikan itu tak saya pedulikan. Eh, tahu-tahu di Munas Lampung benar muncul Rais Am dari kulon, Kiai Ilyas Ruchiyat—yang saya tak pernah menduganya.
Dalam doa di makam, apa yang Gus Dur minta selain keselamatan dan kekuatan?
Biasanya minta kemajuan Islam. Saya ini pengikut Imam Khomeini, lho. Hanya dari segi rohani.
Pandangan politik saya dengan beliau memang berbeda. Pandangannya nggak cocok buat di Indonesia. Tapi semangat beliau memberikan segala-galanya untuk Islam, wah luar biasa. Dan kami bersepupu, lho. Riwayatnya panjang. Mesti diurut sampai beberapa generasi ke belakang.
Jika mencapai sesuatu yang diinginkan, apakah terasa dan bisa dibedakan berkah itu dari mendiang yang mana?
Yakin saja bahwa itu berkah. Tapi buat apa mesti jelas, berkah yang itu dari mendiang yang ini. Ya ndak perlu tho. Wong ndak ada SK-nya. Yang penting ‘kan hasilnya itu kita yakini atas rekomendasi dari para mendiang itu.
Masak sih niat baik nggak mau didukung? Ha..ha…ha.. Kiai-kiai yang rajin tirakat sering dititipi salam untuk saya dari para mendiang itu.
Apakah ini salah satu tugas sebagai pimpinan NU? Apa saja yang sudah Gus Dur lakukan untuk umat?
Ya… enggak ada yang istimewa. Biasa saja. Meneruskan cara-cara NU yang semacam inilah. Ziarah ke makam-makam. Ke kiai-kiai. Di NU sekarang sudah terjadi perubahan gaya kepemimpinan NU yang ndak mengerti tradisi seperti ini.
Gus Dur melihatnya sebagai krisis atau perkembangan normal saja?
Bukan krisis. Tapi akan lebih baik kalau mereka memahami kultur ini. Paling tidak secara psikologis tradisi ini dapat berfungsi sebagai alat penguji keikhlasan kita kepada NU, kepada umat, dan kepada perjuangan. Kesempatan ziarah kita pakai untuk mengaca diri.
Sewaktu menghadap kepada para pendahulu di makam mereka tentu kita malu sendiri kalau kita belepotan. Yah, semacam alat psikologi untuk check and recheck.
Bukannya malah buang-buang waktu?
Saya melihat dari sisi positifnya. Apa sih yang orang maksud dengan buang-buang waktu itu. Menonton sepakbola di teve, apa nggak buang-buang waktu. Hasilnya juga ‘kan enggak ada. Padahal itu kegemaran saya, lho..
NU semakin banyak kehilangan kiai sepuh. Menjadi masalah bagi organisasi?
Tidak. Banyak penggantinya.
Apakah kemampuannya setara?
Di NU itu ada dua puluh lima kiai terpandang yang selalu bertemu.
Mereka ini merupakan lingkaran tersendiri. Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Mustamin Cilacap, termasuk Kiai Ali Yafie. Banyak juga yang muda usia. Mereka selalu mengasah orientasi dan memperluas cakrawala pandang. Membahas masalah kemasyarakatan.
Dan itu sudah berlangsung 15 tahun. Kebetulan mereka jadi pengurus, di berbagai level di pusat, wilayah atau cabang. Otomatis sering kumpul.
Garis pemisah antara kelompok Cipete dan kelompok Situbondo konon makin jelas. Gus Dur ikut main di antara dua garis?
Ah, enggak ada itu. Garis itu kan dibuat para pengamat untuk mempertajam analisis mereka.
Dengan terpilihnya Kiai Ilyas sebagai pejabat Rais Am, ada yang melihat Gus Dur akan makin leluasa mengendalikan Syuriah?
Dugaan yang tak berdasar. Itu keliru. Kita harus melihat kembali secara proporsional. Apa sih sebenarnya konsep tugas dan fungsi Syuriah itu?
Syuriah itu pemilik NU. Mereka boleh setuju atau tidak setuju atas inisiatif Tanfidziyah, kalau setuju, Tanfidziyah jalan. Kalau tidak setuju, kami tak jalan. Syuriah pengetuk palu. Bukan berinisiatif mengoperasionalkan keputusan.
Nah, Kiai Ali Yafie dan Pak Yusuf Hasyim nggak ngerti konsep ini. Sebelum beliau berdua, Kiai Hamid Widjaja dulu juga sempat seperti itu. Marah-marah, nggak ada ruang kerja segala.
Lha buat apa ruang kerja? Cukup ruang rapat saja. Lha wong sejak Mbah Bisyri dulu Syuriah itu hanya rapat, mendengarkan rencana dari Tanfidziyah. Lalu setuju atau tidak setuju, dan kasih usul-usul. Ya, begitu saja.
Baiklah. Di balik isu-isu yang muncul ke permukaan sebagai pemicu pertentangan Gus Dur dengan Kiai Ali maupun dengan Pak Yusuf, apa sih sesungguhnya yang terjadi?
Kalau boleh terus terang, ya. Beliau mendapat reaksi dan tekanan terlalu keras dari dalam tubuh ICMI dan MUI sehubungan dengan duduknya saya di Forum Demokrasi.
Beliau disodori analisis-analisis, dan terpengaruh.
Analisis itu menyimpulkan bahwa peran saya di Forum Demokrasi akan merugikan NU. Pak Yusuf dan Kiai Ali rancu. Ini bukan urusan NU.
Kalau benar NU dirugikan oleh Forum Demokrasi, buat apa wapres bersedia datang ke Lampung membuka Munas. Pengesahan dalam politik di Indonesia ini ‘kan penting. Artinya, wapres tak akan datang kalau Forum Demokrasi itu mengganggu. Pemerintah juga tahu tujuan saya yang sebenarnya di Forum Demokrasi. Yang jelas, itu bukan urusan NU.
Bisa saja beliau khawatir pihak lain tak bisa membedakan dan memisahkan antara Gus Dur dan NU?
Lha, ya nggak bisa dong. Apa saya tak boleh punya hak pribadi? Pak Yusuf masuk ICMI juga nggak ngomong– dan tak perlu, memang. Beliau jadi Ketua Yayasan Purnawirawan Brawijaya juga nggak bilang-bilang ke NU. Malah dia yang sebenarnya lebih sentral, wong dia di Syuriah, lembaga yang punya NU.
Apa sih yang Gus Dur mau lakukan dengan Forum Demokrasi itu?
Mengembangkan pandangan-pandangan dan pemikiran mengenai demokrasi tanpa menjadi kelompok penekan. Itu ‘kan sudah kesepakatan dengan Bakin, Bais, Sospol ABRI, Sospol Depdagri.
Sekumpulan tokoh dari berbagai kalangan dan kekuatan yang mengeluarkan pendapat dan pandangan tentang kehidupan bernegara dan berbangsa, apa mungkin tidak menjadi kelompok penekan?
Lho, apa sekarang kami menjadi kelompok penekan? Nggak ‘kan! Paling-paling kami menyampaikan harapan dan keinginan, tak lebih dari itu. Tidak pernah demonstrasi, tidak teriak-teriak.
Kalau saran dan harapan itu akhirnya dirasakan oleh yang menerimanya sebagai tekanan, bagaimana?
Sampai hari ini tidak ada yang merasa seperti itu. Buktinya tak ada.
Saya bertanggung jawab bahwa semua yang ada di Forum tidak menjadi kelompok penekan. Kami ini cuma tukang imbau. Persis seperti peranan saya di NU yang cuma jadi makelar akhirat, tidak berpolitik praktis segala. Misalnya dalam kasus Dilli.
Kami bikin statement, tapi statement kami tidak bernada marah-marah. Malah di kalangan pemerintahan dijadikan model untuk mengukur statement-statement dari pihak lain–ya secara diam-diam.
Adakah sesuatu yang riil yang telah dilakukan oleh Forum Demokrasi?
Lha, enggak perlu riil tho. Ini ‘kan cuma memberikan pandangan. Ya sama dengan 25 kiai NU itu. Tak perlu mencapai sesuatu yang riil.
Yang penting ‘kan kesadaran bersama. Manfaatnya banyak.
Saya ‘kan nggak tahu jalan pikiran Bung Tolleng (Rahman Tolleng, -Red) kalau kami tidak di Forum. Begitu juga dengan Romo Mangun. Mereka juga bisa tahu pandangan saya. Kalau tidak saling tahu akan banyak timbul salah paham. Forum ini membuka kemungkinan jalan untuk menyamakan persepsi.
Kita selalu bicara tentang demokrasi yang menjamin kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat dan berbeda pendapat. Nah, macam apa demokrasi yang layak bagi Indonesia?
Demokrasi itu berkembang. Tidak ada yang bisa kita bilang cocok dan layak. Demokrasi itu kan politik. Dan politik itu alat, seni mencapai hal yang dimungkinkan.
Karena itu, politik nggak berhenti berkembang. Ada dinamikanya. Begitu pula demokrasi. Nggak ada sebuah model tentang demokrasi yang layak dan cocok. Tapi, yang penting model apa pun yang diterapkan, harus setia kepada cita-cita yang ideal.
Ya cita-cita ideal kita adalah, bagi saya, ya itu tadi kebebasan berbicara, berpendapat, berbeda pendapat.
Mengapa itu harus terus diperjuangkan?
Karena di sini belum sepenuhnya terwujud. Masih terlalu banyak kendala. Sistemnya masih belum sesuai dengan kebutuhan bangsa. Juga produk-produk hukum. Yang lebih penting pola operasional atau pola kerja peraturan-peraturan itu. Lihat saja misalnya kedaulatan anggota. Kecuali dalam organisasi keagamaan, nggak ada kedaulatan anggota di Indonesia. Enggak ada.
Yang dikatakan di Golkar itu aspirasi dari bawah, itu maksudnya DPD II. Lain mereka memilih DPD I, kemudian dalam munas mereka memilih DPP. Itu teorinya.
Dalam praktek, DPD II melibatkan bupati-bupati, lalu DPD I melibatkan gubernur dan segala macam. Seterusnya begitu sampai ke atas ke DPP. Nah, itu ‘kan tetap saja dari atas. Kan memilih bupati dan gubernur juga dari atas toh, Ini cuma muter-muter di tempat. Yang semacam inilah, antara lain, yang mau kita ubah. Praktek pemilihan, pencalonan, dan segala macam itulah.
Yang ingin Gus Dur katakan, campur tangan pemerintah masih terlalu dalam?
Begitulah yang terjadi kalau perangkat kontrol belum jalan.
Mendagri sudah jamin itu akan makin dikurangi?
Ah, menyusun daftar calon saja pemerintah masih campur tangan kok. Tapi, memang, pertumbuhan politik kita ya baru segitu itu.
Lambannya pendewasaan politik dituding lantaran, antara lain masih diterapkannya kebijakan massa mengambang. Bagaimana seharusnya penerapan konsep ini?
Dilihat sekali lagi apakah masih relevan? Kalau relevan, sejauh mana? Sampai sekarang ‘kan konsep itu bahkan masih dipakai secara optimal. Sehingga orang di desa hampir-hampir tak mengerti soal politik.
Akibatnya, sebenarnya justru terjadi realiranisasi. Ini juga merugikan. Karena orang-orang di desa lalu jadi nggak mengerti ujung pangkal kok bisa fanatik Golkar atau fanatik parpol. Realiranisasi itu terjadi.
Malah nggak membantu pencapaian tujuan pendewasaan politik yang ingin dicapai. Dulu konsep ini diterapkan setelah kita sebagai bangsa terpecah-pecah oleh politik yang berkembang sebagai ideologi, sebagai aliran-aliran.
Sekarang kita ‘kan sudah berubah. Ideologi kita sudah satu, Pancasila. Yang berbeda orientasi politiknya, bukan alirannya. Sekarang konsep ini perlu dipertimbangkan kembali, apakah masih efektif sebagai alat proses pendewasaan agar orang tak terlalu dipengaruhi aliran-aliran politik sehingga menjadi dogmatis secara politis.
Bagaimana profil kedewasaan politik yang diharapkan?
Mestinya nggak begitu. Iklim yang dewasa adalah iklim yang memungkinkan seseorang yang tidak puas-karena tidak memperoleh accountability, sikap mempertanggungjawabkan, dari pihak yang didukungnya, bisa dengan bebas pergi atau berpihak ke pihak lain yang diyakini mampu memberikan kepuasan.
Bagaimana iklim partisipasi yang Gus Dur lihat saat ini?
Sekarang memang tampak bahwa inisiatif politik tidak datang dari masyarakat, tapi hanya dari orang-orang politik yang formal, termasuk dari birokrasi dan orsospol.
Politik kita terlalu formal sekarang ini. Itu yang menyebabkan gairah politik kita tidak hidup. Sehingga partisipasi politik minim sekali. Ya bentuknya cuma datang ke TPS, dan menusuk tanda gambar.
Enggak ada usul, nggak ada kritik. Parpol dan orpol diantepin aja. Lu mau hidup terserah, mau mati terserah. Dalam jangka panjang ini akan berdampak negatif dalam kehidupan kita.
Dalam kondisi miskin partisipasi, layakkah kita berharap adanya kontrol sosial?
Lha, susah. Masyarakat tidak terdorong untuk melakukannya. Akibatnya, Pemerintah berjalan tidak efisien. Tidak ada pertanggungjawaban yang konkret dan riil kepada masyarakat.
Sekarang lihat saja, tiap kali ada kritik, pemerintah menjawab dengan koor monoton yang tunggal nada. “Konsepnya bagus. Ini mah orangnya yang salah.”
Lucunya, ini ditiru juga oleh anggota DPR. Itu jawaban memang manis di telinga. Tapi tak pernah memecahkan masalah.
Hal yang dikeluhkan masyarakat tetap saja terjadi, berlangsung terus. Akan lain kalau ada kontrol sosial yang kuat dari masyarakat. Ada yang disebut accountability-jawaban dengan langkah-langkah konkret.
***
Honda Accord abu-abu metalik yang dikemudikan Haji Masnuh memasuki halaman sebuah rumah mewah di Jalan Ketupa, di kawasan THR, Surabaya. HM Yusuf Bambang Sujanto, yang tampak sudah menunggu di beranda, buru-buru menyongsong Gus Dur di pintu mobil.
“Kong Xhi,” salam cucu K.H. Hasyim Asyari ini kepada tuan rumah. Hari itu warga keturunan Tionghoa memang sedang merayakan Tahun Baru Imlek. Di rumah Ketua Umum Perkumpulan Iman Tauhid Indonesia (PITI) Jatim itu, anak K.H. Wahid Hasyim ini bertemu 10 anggota pengurus PITI setempat. Kemudian dipijit di kamar pribadi Bambang oleh H. Abd. Chalim Muhammad, mantan pegulat nasional yang dulu dikenal dengan nama Lie Kwong Ling.
Makan siang hari itu, Gus Dur menghabiskan satu porsi mie, tim ayam, sedikit nasi, dan sekerat daging burung dara goreng. Sebelumnya, di ruang tamu, Gus Dur sudah melahap tiga biji salak dan satu buah pir. “Saya tak tahu berapa berat saya sekarang,“ lontar cendekiawan gendut itu.
Menjelang Ashar baru Gus Dur meninggalkan rumah pemilik Amin Bank itu. Empat mobil beriringan mengantar Gus Dur menuju rumah H. Jamil, seorang pedagang tekstil, di kawasan Rungkut. Gus Dur akan sowan pada Gus Miek (KH. Abdul Hamim) yang sudah menunggu di sana. Ketika pintu rumah terbuka, Gus Miek muncul hanya dengan sarung—tanpa baju.
Bersalaman, dan Gus Dur mencium tangan kiai yang parasnya tampak lebih muda dari Gus Dur itu. Beberapa saat saling melempar guyonan, dua orang itu kemudian minta diri untuk berbicara empat mata di kamar bagian dalam. Pukul 19.00 kami berangkat menuju bandara Juanda, dilepas dengan doa bersama yang dipimpin Gus Miek—yang sudah berpantolan rapi.
Sekali lagi Gus Dur mencium tangan Gus Miek “Beliau itu salah satu dari kiai antik, kiai unik di NU,” lontar Gus Dur setelah berada dalam mobil.
Gus Dur bisa cocok dengan kiai-kiai unik itu?
Bisa sekali. Ini karena faktor kepercayaan. Kiai-kiai seperti itu punya kepekaan sangat tinggi terhadap kehidupan masyarakat. Saya senang kepada para kiai itu karena mereka tak pernah berburuk sangka kepada orang lain.
Mereka tidak punya pamrih politik. Mereka ‘kan tidak resmi berada di organisasi. Tidak resmi menyandang posisi apa pun. Mereka ‘kan hanya sekadar pendoa, pembimbing masyarakat.
Tapi tak kurang juga kiai yang berpikiran sempit, ‘kan?
Oh, iya. Tapi dari kiai-kiai antik dan unik ini nggak ada yang berpikiran sempit. Bahwa ada kiai-kiai lain yang masih hidup dalam budaya saling curiga pada agama lain. Itu adalah warisan sejarah.
Di satu sisi, perkembangan agama di negeri kita terlalu terkait dengan politik. Persaingan dalam percaturan politik lalu terbawa ke dalam hubungan antaragama.
Sampai sekarang gejala itu masih ada — kendati mulai berkurang banyak. Gejala inilah yang antara lain coba ditangkal dengan konsep ‘Kembali ke Khittah 1926’.
Agama kita kembalikan kepada penumbuhan budaya yang pluralistik, kultur yang mengacu pada kemajemukan bangsa. Dengan kata lain, pendekatannya adalah pendekatan budaya.
Pasti tantangannya tak kecil?
Oh, itu pasti. Malah belakangan ini makin menjadi-jadi. Proses modernisasi yang begitu cepat menimbulkan kekhawatiran pada banyak orang, termasuk umat beragama. Umat Islam khawatir terkikis nilai-nilainya. Umat Kristen juga demikian. Agama yang satu khawatir terhadap peran agama lain. Jangan-jangan turut mengikis nilai-nilai agamanya.
Apa saja yang tepat dilakukan NU dalam konteks pendekatan budaya itu?
Kita upayakan pencarian jawaban-jawaban dari persoalan dan realitas yang dihadapi masyarakat. Soal kawin campur antaragama, bayi tabung, bunga bank, asuransi, dan lain-lain.
Tapi yang lebih penting lagi, bukan sekadar menangani isu atau masalah dan persoalan tetapi juga sekaligus menata masyarakat baru. Kita tak mampu mengambil keputusan-keputusan yang relevan kalau pandangan hidup kita sendiri tidak ditata.
Bagaimana kira-kira model masyarakat baru itu?
Kehidupan masyarakat yang menekankan etos kerja dan produktivitas, kesadaran sosial, yang menegakkan objektivitas, yang menerima dan menerapkan ilmu dan teknologi, tegaknya penghargaan pada hak-hak wanita, tegaknya kesadaran hukum.
Semua ini harus menjadi sikap kolektif masyarakat. Kehidupan masyarakat sekarang mestinya mengacu ke sana. Setelah kericuhan Konbes dan Munas Lampung apakah Gus Dur akan melakukan upaya tertentu untuk merangkul kembali pihak-pihak yang tak sependapat?
Perbedaan pendapat tak perlu ada penanganan khusus. Itu biasa. Nanti toh akan selesai dengan sendirinya.
Memang tak mungkin tuntas, tidak mungkin menjadi sama keadaannya dengan sebelum ada perbedaan pendapat itu. Toh sekarang sudah turun ke tegangan rendah. Tetapi mengharapkannya sama sekali hilang, ya tak mungkin.
Ini soal minoritas-mayoritas, ya. Apakah mayoritas umat Islam di Indonesia punya kekuatan tertentu dalam politik?
Saya kira lebih berarti kekuatan budaya, sosial ekonomi. Dalam politik tak banyak berarti. Kita sudah satu ideologi, Pancasila.
Kekuatan umat Islam dalam pengertian mayoritas dalam politik itu sebenarnya nggak ada. Karena kaum muslimin terbagi dalam orientasi yang berbeda-beda. Ada yang elitis, ada yang populistik, ada yang menganut paham teknokratik dalam pembangunan, ada pula yang menolaknya. Terpecah-pecah.
Itu menguntungkan atau malah merugikan?
Sebagai bangsa, menurut saya, itu sebuah keberuntungan. Karena dengan demikian agama tidak lalu menjadi alat politis lagi. Sekarang dicoba oleh sementara kalangan untuk melakukan hal itu melalui penumbuhan lembaga-lembaga keagamaan yang diharapkan bisa berfungsi sebagai alat penekan politik.
Itu berarti mundur?
Bukan hanya mundur, malah mereka akan gagal. Misalnya kalangan tertentu yang mendesakkan orientasi seperti terhadap Majelis Ulama, ICMI, juga terhadap ormas lain. Di NU juga ada kelompok begitu. Tapi sangat kecil. Tak ada artinya. Di ICMI dan MUI cukup besar.
Mengapa sih NU tak ikut ramai-ramai menentang SDSB?
Sia-sia. Masih ada urusan lebih besar yang memerlukan pemikiran dan perhatian kita. Soal penataan pandangan hidup masyarakat baru itu, misalnya. Kalau soal-soal mendasar sudah berhasil kita garap dengan sendirinya masalah seperti SDSB bisa kita atasi.
***
Percakapan kami malam itu diteruskan di kabin DC-9 Garuda dalam penerbangan pulang ke Jakarta. Pramugari, yang tampaknya mengenal Gus Dur, menyodorkan setumpuk koran.
“Pak Dur, mau saya ambilkan koran apa?” Gus Dur tampak kaget. Ternyata ia sempat tertidur beberapa detik. “Kompas,” jawabnya ogah-ogahan. Rupanya Kompas tak ada. Dan Gus Dur memilih koran Pelita. Dibolak-balik, ternyata ia hanya membaca judul-judul berita.
***
Kabarnya NU punya banyak perusahaan?
Ah, nggak ada.
Perusahan-perusahan yang saya resmikan itu milik warga NU. Hanya PT Nusumma Utama itu yang di dalamnya NU resmi punya share.
Kerjasama kami dengan Grup Summa inilah yang akan mendirikan BPR di daerah-daerah. Kalau Nusumma tak mampu membangun jaringan sampai dua ribu BPR–kerjasama kami tidak kaku, kami bisa mengundang perusahaan lain untuk turut membuka BPR.
Gus Dur lagi jadi gula, diincar banyak pengusaha untuk jadi mitra karena figur dan pengaruh politik?
Saya menggalang kerjasama dengan banyak kalangan swasta. Tapi untuk kepentingan NU. Bukan untuk tujuan pemilikan share pribadi.
Kerja sama NU dengan konglomerat WNI keturunan banyak mengundang komentar negatif, yang menyebutkan tidak banyak menguntungkan NU. Komentar Gus Dur?
Kami sih enggak percaya dan cuek aja dengan label-label kayak begitu. Pak Probo pernah juga menyerang saya. Lha, Pak Probo sendiri banyak menempatkan pengusaha WNI keturunan di belakang bisnisnya.
Mengapa sih isu pri-non pri masih selalu diangkat ke permukaan?
Ini politis. Ketika pihak tertentu ingin menggalang kekuatan, maka isu primordial itu yang paling gampang dihembuskan untuk menarik kekuatan.
Ketika saya bilang bahwa tindakan mereka primordial, sektarian, sukuisme, mereka marah-marah. Nggak mau terima. Mereka balik menuding saya bekerjasama dengan konglomerat WNI keturunan.
Itu saja sudah menunjukkan mereka primordial. Yang saya tak bisa terima, ukuran primordial dan sektarian itu digunakan untuk standar dalam kehidupan bermasyarakat, berusaha, dan bergaul. Mengapa kita tak mampu mengakui dan menghargai kemajemukan?
Gus Dur dikenal sebagai penganjur untuk menggalang hubungan antaretnis dan antaragama yang intensif. Apa saja batu sandungan yang bisa mengganggu hubungan antaragama di Indonesia?
Banyak sekali kelemahan hubungan antaragama di sini. Antara lain masih tebalnya rasa saling mencurigai. Ini hanya bisa dikikis dengan kesungguhan kita untuk menumbuhkan rasa saling menghormati. Dan jangan hanya berpikir dalam konteks umat kita sendiri.
Banyak yang curiga, untuk apa sebenarnya NU mengadakan Apel Akbar dengan dua juta pengunjung? Latar belakangnya?
Kita melihat pemilu 1992 dan SU-MPR 1993 adalah sebagai titik kritis dalam kehidupan politik kita. Critical point, bukan terjadi krisis ya! Titik rawan, begitu.
Karena peristiwa ini mempunyai dua tugas. Yang pertama, mempersiapkan rencana dan pola-pola pembangunan jangka panjang tahap II. Pasti akan ada perubahan-perubahan orientasi yang drastis.
Tentu akan terjadi sedikit banyak labilitas dan perdebatan. Ya kayak perdebatan Pak Rudini dengan Pak Try mengenai soal security approach itu misalnya. Sedikit banyak stabilitas yang monoton selama ini lalu menjadi agak terganggu.
Kedua, juga SU-MPR itu sebagai ancang-ancang untuk mulai mempersiapkan proses suksesi pada tahun 1998. Ini semua bukan hanya sekadar proses konstitusional tapi juga proses politik.
Lalu?
Mau tak mau akan ada kerawanan dalam bentuk pemihakan-pemihakan. Orang mulai bermain-main dengan ide, siapa orang kedua di negara ini? Apakah dia nanti akan menggantikan otomatis di tengah jalan?
Apakah dia sekadar mengantar sampai 1998? Lalu 1998 nanti orang yang akan naik lain lagi? Apakah wakil presiden yang akan datang ini putra mahkota atau bukan? Banyak soal pasti timbul.
Nah kedua titik rawan ini menurut saya akan punya dampak yang cukup memprihatinkan atas kesatuan dan keutuhan sistem politik kita. Kalau sudah terpancing isu-isu seperti itu, orang ‘kan suka lupa.
Lalu segera terlibat dalam perdebatan. Saling melontarkan pendapat. Dan segera mengambil posisi-posisi, pasang kuda-kuda. Padahal sekarang ini kita juga berada dalam situasi ekonomi yang boleh dikatakan juga kritis—yang diperkirakan Profesor Soemitro baru akan membaik pada akhir 1993.
Kita memerlukan ketenangan agar proses pemulihan kehidupan ekonomi kita—dan perlahan-lahan pengembangannya—akan dapat berlangsung dengan baik.
Artinya, ini ada masa-masa rawan dalam perkembangan ekonomi dan politik kita—yang keduanya saling berkaitan. Perkembangan ekonomi akan ditentukan oleh perkembangan politik yang mengalami titik-titik rawan tadi.
Sebaliknya juga perkembangan politik juga sangat dipengaruhi perkembangan ekonomi yang terjadi sekarang.
Ada lingkaran persoalan yang kita hadapi. Untuk mencapai ketenangan yang diperlukan itu kita memerlukan penekanan pada kontinuitas konstitusional.
Juga komitmen pada instrumen-instrumen dasar kehidupan kita. Yakni ideologi Pancasila dan UUD 45. Untuk menekankan komitmen semacam itu, bagi kami yang paling penting bukanlah pasang kuda-kuda, bukan juga perdebatan yang eksesif.
Melainkan perdebatan bertanggung jawab, yang bermutu, yang bagus, mengenai pola-pola politik kita pada masa depan. Untuk itu semua warga NU menginginkan adanya pawai akbar, sekadar untuk ikrar mengatakan kesetiaan pada Pancasila dan UUD 45.
Gus Dur berbicara dengan pemerintah tentang acara ini?
Dalam kapasitas sebagai pribadi, bukan sebagai Ketua Umum PBNU, saya sudah bicara dengan Pak Harto. Beliau setuju. Lalu beberapa pihak lain. ABRI sudah setuju. Mereka yang mengkoordinasikan pengamanan kegiatan itu. Saya nggak khawatir apa-apa kok.
***
Pukul 21.00 kami mendarat di bandara Soekarno-Hatta. “Kita bareng naik taksi, ya,” usul Gus Dur. Mantan ketua Dewan Kesenian Jakarta itu menolak untuk diantar lebih dulu ke rumahnya di kawasan Cilandak, Jakarta. “Saya yang antar Anda,” katanya.
***
Anda masih bertemu dengan pemuka agama lain, seperti dengan Romo Mangun dan Ibu Gedong, di Bali?
Masih sering. Kita ‘kan mengabdi zat Tuhan yang sama. Tuhan pada esensinya sama. Yang berbeda itu ‘kan atribut-atribut ketuhanannya, konsep ketuhanannya. Kalau hakikatnya, Tuhan itu sama.
Anda ‘kan sering ditegur kiai sepuh karena dianggap “nyeleneh” begitu. Nggak kapok?
Ah nggak. Saya malah sering membawa pastur ke pesantren. Memangnya kenapa? Salah? Nggak, ah. Dalam bergaul, jangan pakai ukuran agama.
Anda tidak khawatir akhirnya semua kiai akan menentang Anda?
Nggak. Tadi pagi ‘kan kita ketemu banyak kiai. Apa Anda melihat mereka menentang saya? Nggak, ‘kan?
Kiai-kiai itu juga ‘kan mengatasnamakan umat?
Siapa umat itu. Alamat umat itu mana? Bukan alamat tunggal ‘kan. Suara yang tidak sepakat biasanya memang sangat vokal.
Dalam suatu masyarakat modern dengan pola komunikasi yang cepat, wajar sekali kalau yang vokal itu lalu tampak muncul dengan cepat di permukaan. Namun yang seperti itu biasanya cepat hilang.
Sedangkan pesan-pesan abadi kita dalam menghargai martabat manusia, sesama kita, tetap saja jalan, tersalur, karena itulah memang sebenarnya yang diperlukan dan dibutuhkan oleh mayoritas.
***
Taksi kami menurunkan saya di kantor Matra di kawasan Warung Buncit – Ragunan.
Gus Dur meneruskan perjalanan ke arah selatan, arah rumahnya. Gus Dur-Nuriah yang menikah 1968 kini dikaruniai empat anak. Pria yang sejak kecil sangat dekat dengan ibunya ini ternyata sering khawatir kalau istrinya marah.
“Repotnya marahnya dalam diam. Kalau sudah diam lama, saya hanya bisa memberi penjelasan-penjelasan. Dengan harap-harap cemas, dia mau terima penjelasan itu,” cerita Gus Dur.
Dia hanya sempat semalam berada di tengah keluarganya di Jakarta.
Pagi berikutnya kami sudah terbang lagi ke Semarang.
Dari bandara A. Yani, Gus Dur, yang ternyata selalu menyelipkan sisir kecil di sakunya dan kerap digunakan di dalam mobil, langsung menempuh perjalanan menuju Pekalongan. Di pendopo kabupaten ia memberi ceramah dalam pertemuan BAKOM PKB se-Jawa Tengah.
Sebelum memulai ceramahnya, ia mohon maaf karena harus buru-buru kembali ke Jakarta “Saya ditunggu Menteri Agama untuk bersama-sama menerima tamu dari Emirat Arab,” lontarnya.
Belakangan, ketika kami menyantap gule kambing di cafetaria Bandara A. Yani—sembari menunggu penerbangan pulang ke Jakarta, Gus Dur buka rahasia: “Pak Benny (Benny Moerdani, red.) panggil saya. Dia mau ketemu hari ini,” bisiknya. “Tentang ini Anda nggak boleh bertanya.”
***
Baiklah. Ini soal lain, bagaimana Anda memandang wanita?
Saya cenderung melihatnya dari sudut psikologi. Mereka mungkin adalah makhluk yang luar biasa rumitnya. Jauh lebih rumit dari pria.
Karena faktor-faktor emosinya lebih banyak, lebih bervariasi. Tapi, justru di situ letak potensi lebih besar dari wanita untuk membuat capaian-capaian yang lebih banyak jenisnya daripada pria.
Selain itu, pada intinya pria dan wanita posisinya sama dalam kehidupan—di samping perbedaan biologis.
Yang Gus Dur anggap wanita cantik itu seperti apa?
Wah, nggak ada ukuran, ya. Wanita cantik itu, ya yang saya anggap cantik nggak lebih dari itu. Cantik itu terasa tiba-tiba saja. Ah ini cantik, begitu. Saya tak punya ukuran ideal untuk kecantikan.
Anda masih menulis?
Tak sempat lagi. Baca pun tak sempat lagi. Dulu, membaca karya sastra adalah makanan saya sejak kecil. Saya kira tidak banyak orang yang menyamai saya—kecuali sastrawan serius—dalam hal keseriusan membaca novel-novel sastra dunia.
Novel lokal macam karya Romo Mangun dan Pramoedya dibaca juga?
Ya, saya baca Mangun, Pram, Ahmad Tohari, umpamanya. Saya terkesan pada buku-buku Romo Mangun karena pekat dengan warna kemanusiaannya. Sangat dalam. Luar biasa dalamnya.
Perbedaan apa yang Gus Dur tangkap dari Mangun dan Pram?
Mangun dan Pram sama-sama berbicara tentang keinginan membentuk masyarakat baru. Mangun berhenti pada penggambaran gagasan itu, sementara Pram melanjutkannya dengan mencoba memberikan jalan untuk mewujudkan gagasan itu. Dua-duanya sama memikat.
***
Gus Dur tampak mengantuk. Kepalanya terantuk-antuk. Agaknya cukup pulas. Setiap ada kesempatan, di mobil, di pesawat, di depan tamu-tamu, bahkan sembari wawancara, ia mencuri-curi menit-menit yang mahal dalam kepadatan acaranya untuk tidur.
Ia tersentak ketika terdengar pemberitahuan pesawat sejenak lagi akan mendarat.
Senja itu kami berpisah di bandara Soekarno-Hatta.
Dengan kaus kaki, sepatu, dan baju motif ikat sama dengan yang dikenakannya ketika kami ke Jatim, ia melenggang acuh di peron terminal bandara.
Berjalan ke arah taksi dengan tas pakaian ukuran sedang di tangannya. Sulit sekali menghilangkan kesan sosok itu bersikap sangat sederhana dalam menjalani hidupnya.
“Saya mau menemui Jenderal Benny. Sekali ini Anda nggak boleh ikut,” katanya datar.
Sumber: Muchlis Dj. Tolomundu
Editor: S.S Budi Raharjo, MATRA