Unggah-ungguh dan Kearifan Tradisi

“Unggah-ungguh” atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan etika atau tata krama. Masyarakat Jawa dikenal dengan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi “unggah-ungguh” atau yang biasa dikenal tata krama tersebut. Masalah unggah-ungguh atau tata krama sendiri termasuk masalah yang sangat krusial dan sangat diperhatikan oleh orang Jawa. Orang tua-orang tua di Jawa telah mendidik anak-anaknya sejak dini untuk memiliki unggah-ungguh yang sopan, semisal ketika lewat di depan rumah orang kita harus berkata “nderek langkung” atau “nuwun sewu” yang artinya permisi.

Selain dalam hal bersikap atau “tindak-tanduk”, masyarakat Jawa juga sangat memperhatikan unggah-ungguh dalam berbahasa yang baik dan sopan. Apabila sedang berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan kata seperti apa, dan apabila berbicara dengan orang yang sebaya atau yang lebih muda juga demikian. Semisal ketika berbicara dengan bapak harus menggunakan bahasa Jawa krama alus, ketika berbicara dengan teman sebaya dengan bahasa Jawa ngoko, dan sebagainya.

Apabila hal ini dikaitkan dengan salah satu dari sembilan nilai utama Gus Dur dalam pemikiran beliau yaitu tentang kearifan tradisi (tradisional wisdom), maka masalah unggah-ungguhatau tata krama ini adalah sikap yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Perlu digarisbawahi tata krama bukan hanya milik orang Jawa saja. Masyarakat Jawa hanyalah sebagai simbol yang melambangkan seluruh manusia harus memiliki tata krama yang baik dalam dirinya. Setiap orang tua harus menanamkan sejak dini kepada anak-anak mereka tentang pentingnya tata krama tersebut.

Apabila dikaitkan dengan fenomena saat ini, masih banyak anak muda yang kurang memperhatikan nilai-nilai tata krama dengan baik. Apabila sudah seperti ini, lantas siapa yang patut disalahkan? Apakah orang tua si anak yang kurang dalam menanamkan nilai-nilai karakter ataukah lingkungan yang kurang mendukung? Orang tua merupakan aspek yang terpenting dalam menumbuhkan karakter anak. Sebagai orang tua yang baik sudah seharusnya selalu mengingatkan si anak untuk selalu memperhatikan unggah-ungguh atau bertata krama yang baik dan sopan. Apabila hal ini tidak diperhatikan sejak awal, maka karakter si anak akan tumbuh sama seperti apa yang ia lakukan sejak kecil. Sehingga terbawa sampai ia tumbuh dewasa.

Kearifan tradisi atau traditional wisdom yang menjadi salah satu pokok pemikiran Gus Dur harus selalu direalisasikan dalam diri kita sebagai masyarakat Indonesia. Apabila citra kearifan tradisi tadi luntur dari kebudayaan kita maka Indonesia tidak pantas lagi disebut negara yang berbudaya. Masyarakat luar mengenal Indonesia sebagai negara yang ramah tamah dan santun budi pekertinya.

Namun sering kali beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab mengotori citra tersebut sehingga masyarakat Indonesia dipandang buruk oleh masyarakat luar. Peribahasanya “karena nila setitik rusak susu sebelanga” hal ini harus menjadikan motivasi bagi kita, masyarakat Indonesia untuk bersatu-padu dalam mempertahankan nilai-nilai kearifan yang ada dalam diri kita.

Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya, negara kita merupakan negara yang memiliki berbagai macam adat dan budaya yang berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Seperti yang kita bahas di awal tentang masyarakat Jawa dan unggah-ungguhnya, di tempat lain tata kramanya mungkin berbeda dengan di Jawa. Misalnya, apabila di jawa diharuskan berbahasa krama alus kepada orang yang lebih tua di tempat lain mungkin berbeda.

Namun pada intinya negara kita sangat menjunjung tinggi nilai tata krama dan tradisi. Tradisi setiap daerah bisa berbeda-beda namun apabila kita telaah lebih lanjut semuanya bertujuan untuk menuju ke arah Indonesia yang lebih baik.

Alumnus Sekolah Menulis Kreatif Jogja.