Pada 16 November lalu, Hari Toleransi Internasional dirayakan dengan tujuan meningkatkan sikap toleransi masyarakat global. Tentunya kampanye menghargai perbedaan dan merayakan keberagaman adalah kerja-kerja yang tidak pernah selesai selama praktik-praktik intoleransi masih marak terjadi dan jamak ditemui bahkan di kala pandemi yang masih belum usai. Sering kali persoalan yang mengakar di tengah masyarakat tersebut menyangkut perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Peringatan ini jika dirunut ke belakang, tahun toleransi secara resmi diperingati oleh badan PBB yakni UNESCO pada 1995 yang di dalamnya terkandung poin-poin penting dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia. Perayaan ini diharapkan menjadi titik balik dari berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi dalam sejarah umat manusia mulai dari perang dunia hingga perang antarsuku atau agama. Jika ditarik lebih jauh, terdapat pula sumbangsih Piagam Madinah juga menjadi basis praktik toleransi antar umat beragama dan saling menghormati praktik beribadah di tengah kemajemukan pada zaman Nabi Muhammad SAW pada abad ke-6 Masehi.
Sementara itu, Kementerian Agama Republik Indonesia tidak luput memperingati perayaan ini. Menteri Yaqut Cholil Qoumas menyiratkan bahwa inti peringatan toleransi ini adalah merayakan keberagaman dan toleransi dalam wujud nyata, serta untuk memastikan bahwa semua orang memahami pentingnya memberi ruang satu sama lain. Pernyataan ini tentu saja selaras dengan komitmen Menteri Yaqut sejak awal mengemban amanatnya untuk memberikan perlindungan kepada kelompok non-muslim maupun minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, kepercayaan lokal, dst. Baginya, agama memiliki kekuatan untuk melihat kemajemukan bukan sebagai ancaman melainkan sebuah kekayaan.
Meski begitu, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum siap menerima keberagaman yang pada akhirnya berujung pada kekerasan sepihak yang disebabkan oleh salah satu faktor yakni merasa paling benar sendiri. Terlebih ketika kelompok mayoritas secara sistemik dan legal mampu mendorong otoritas setempat dalam menghasilkan produk hukum yang diskriminatif.
Hal ini tercermin dari beberapa kasus kekerasan berbasis sentimen agama yang terjadi selama tahun 2021, salah satunya perusakan rumah ibadah Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat. Yang lebih mengerikan lagi ialah ketika persoalan ini menjadi suatu komoditas yang dapat diperjualbelikan dan menguntungkan suatu kelompok untuk memenangkan suatu kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah.
Peter Beyer menegaskan bahwa lemahnya penegakan hukum dan sikap oportunistik sebuah kekuatan politik sangat mengkhawatirkan bagi kelompok minoritas dan termarjinalkan. Baginya, isu toleransi dan pluralisme jika tidak diimbangi dengan hukum yang kuat justru akan melebarkan ketimpangan sosial dan ketidakadilan serta menjadikan terma toleransi menjadi keistimewaan yang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu.
Magnis Suseno menambahkan bahwa ancaman bagi keutuhan persatuan akan keragaman ini terjadi ketika seseorang atau kelompok hanya memahami seperangkat identitas yang melekat dalam dirinya baik itu agama atau budaya secara sempit dan percaya akan kebenaran tunggal berada di pihak tertentu saja. Ditambah lagi, apabila agama atau budaya tersebut mengeksklusifkan diri, membatasi dengan kelompok lain dan merasa paling benar, maka ini menjadi alarm bagi keharmonisan dan integrasi bangsa karena gejala-gejala tersebut dapat memicu pada sebuah skenario terburuk konflik horizontal yang tidak terelakkan dalam masyarakat karena keegoisan yang akut. Untuk itu, setiap agama dan budaya perlu berinteraksi satu sama lain menemukan titik temu daripada titik tengkar.
Nilai Keagamaan dalam Toleransi dan Pluralisme
Pada dasarnya agama menghendaki bahwa sikap toleran ialah pengejawantahan dari nilai-nilai agama. Agama memiliki misi keadilan dan perdamaian. Hal ini tidak akan tercapai hanya dengan mengandalkan teologi eksklusif yang hanya berhenti pada klaim kebenaran, tetapi membutuhkan teologi pluralisme yang berorientasi pada pembebasan manusia. Di sisi lain, sikap intoleran seringkali didasari oleh pemahaman agama yang eksklusif dan anti-dialog atas teks-teks agama sehingga menghasilkan wajah agama yang lain seperti radikalisme, ekstrimisme, dan fundamentalisme.
Padahal, pada hakikatnya toleransi merupakan hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai keragaman. Dalam arti lain yakni sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling menerima di tengah keragaman budaya, suku, agama, dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya.
Rainer Forst dalam bukunya Toleration and Democracy mencoba menguraikan pendekatan toleransi dari dua sudut pandang. Pertama yakni toleransi berbasis otoritas negara dan kedua yaitu toleransi berbasis budaya dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan. Forst selanjutnya menekankan pada yang terakhir karena toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu melihat basis kultural untuk membangun rasa saling pengertian dan menghargai di tengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa.
Ada dua hal yang dibutuhkan dalam memperkuat basis kultural ini yakni pertama, interaksi sosial, dan pergaulan intensif dari berbagai latar belakang kultural. Hal ini dianggap sebagai obat mujur untuk meleburkan kecanggungan dan meruntuhkan prasangka negatif yang sudah mengakar di tengah masyarakat. Kedua, membangun kepercayaan di antara berbagai kelompok dan aliran melalui forum formal maupun informal. Berbagai forum kerukunan antarumat beragama yang dihelat dewasa kini ialah salah satu contoh manifestasi dari poin ini.
Sementara itu, Amin Abdullah memberikan pandangan bahwa, dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara religius memang telah dibangun diatas landasan normatif historis. Jika terdapat hambatan, penyebab utamanya bukan karena inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran dan ekslusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melatarbelakangi komunitas umat Islam di berbagai tempat. Misalnya, kompetisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, kekuasaan politik, hegemoni kekuasaan, jauh lebih mewarnai ketidakmesraan hubungan antarpemeluk agama dan bukannya oleh kandungan ajaran etika “agama” itu sendiri.
Selanjutnya, Abd A’la menyebutkan bahwa pluralisme agama memainkan peran penting dalam mewujudkan toleransi antarumat beragama. Pluralisme agama ialah suatu pemahaman bahwa semua agama mempunyai eksistensi hidup saling berdampingan, saling bekerja sama, dan saling berinteraksi antara satu agama dengan agama yang lain. Pluralisme agama bisa dipahami dalam tiga sudut pandang; Pertama, sudut pandang sosial yaitu semua agama berhak untuk ada dan hidup, artinya semua umat beragama sama-sama belajar untuk toleran, dan menghormati iman atau kepercayaan dari setiap penganut agama.
Kedua, sudut pandang etika atau moral yaitu semua umat beragama memandang bahwa moral atau etika dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah apabila umat beragama menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, maka didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain. Ketiga, sudut pandang teologi filosofis yaitu pandangan bahwa agama-agama pada hakikatnya setara, sama-sama benar dan sama menyelamatkan artinya semua agama menuju pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa untuk merayakan keberagaman dan toleransi itu membutuhkan sejumlah upaya pemahaman dan pembacaan kondisi sosial kultural yang kompleks serta kesabaran untuk menghargai perbedaan. Upaya tersebut merupakan harga mahal yang dibayar demi mewujudkan perdamaian, melawan praktik dehumanisasi dan menghapus kekerasan.
(Artikel ini adalah hasil kerja sama arrahim.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama)