Perjuangan-Perjuangan Melawan Penindasan

Malam semakin larut ketika diskusi buku baru usai. Ashilly Achidsty yang jauh-jauh datang dari Jogja ke Banjarmasin telah memberi wawasan baru nan segar seputar isu kesetaraan gender kepada kami yang hadir.

Baru-baru ini, ia menerbitkan buku berjudul Gender Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid (2021). Lewat buku tersebut, Hilly mendedah bahwa selama menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia Gus Dur telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang membuka jalan bagi tercapainya hak-hak perempuan.

Di antaranya adalah perubahan nama kementerian dari Kementerian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan, penerbitan Inpres Pengarusutamaan Gender No. 9 Tahun 2000 dan upaya menyelematkan buruh migran Siti Zainab saat hendak dihukum mati di Arab Saudi.

Ini mengungkapkan komitmen seorang Gus Dur sebagai seorang pejuang kemanusiaan. Pembelaannya terhadap prinsip kesetaraan dan kemanusiaan tak hanya ia tunjukkan lewat seruan ataupun tulisan, melainkan juga tindakan nyata. Dan wewenangnya sebagai seorang pemimpin memberi kesempatan besar untuk mengubah dunia.

Perjuangan perempuan untuk berada secara setara dan mendapatkan hak-haknya memang sungguh berat. Kedudukan perempuan di dalam masyarakat mendapat serangan dari berbagai penjuru. Agama, politik, nilai-nilai budaya menyumbang pandangan rendahnya perempuan dibanding laki-laki. Kita, karena itu, patut bersimpati terhadap perjuangan mereka melawan penindasan.

Perjuangan perempuan mengingatkan saya dengan perjuangan kaum-kaum tertindas lainnya. Orang-orang miskin, kelompok minoritas (ras maupun agama), kelompok difabel, LGBT dan lain-lain adalah mereka yang sampai hari ini berjuang menegaskan identitas mereka dan menuntut hak dan kesetaraan. Namun riuh demokrasi belum juga memberikan apa yang mereka inginkan.

Setiap pengamat telah banyak memberi pendapat mengenai kapan dan dari mana awalnya gagasan tentang kesetaraan muncul di benak peradaban kita. Tapi saya kira momentum puncaknya adalah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948.

Sejak saat itu, ketika kenangan Perang Dunia II yang baru usai masih segar dalam ingatan, gagasan tentang keharusan bagi negara dan masyarakat menjunjung tinggi hak setiap orang untuk hidup, mendapatkan keamanan dan kesejahteraan semakin mencuat. Yang pasti, gagasan kesetaraan tidak akan hadir tanpa didahului oleh gagasan tentang kebebasan.

Karena lahir dari deklarasi tersebut, atau mendapat suntikan ideologis dari deklarasi, sudah sepatutnya setiap kelompok tertindas saling mendukung dan saling membela dalam melawan penindasan. Hal itu karena mereka saling berbagi pengalaman dan perasaan yang sama, serta punya cita-cita yang sama pula.

Bayangkan jika masing-masing mereka saling membela dan melangkah bersama-sama, tentu kekuatan perjuangan akan sangat besar. Sebab, mereka yang menderita dan mengalami ketertindasan adalah para pejuang sejati. Demikian Paulo Freire nyatakan ketika bicara tentang pendidikan kaum tertindas (Pedagogy of the Oppressed).

Memang jika yang membela orang-orang miskin berasal dari golongan miskin, yang ingin mengangkat identitas kelompok difabel adalah orang yang difabel, dan jika kesetaraan gender diusung oleh perempuan, memberi kesan seakan perjuangan mereka hanyalah reaksi idealistis dari golongan-golongan yang radikal.

Akan tetapi, “Siapakah yang lebih siap ketimbang yang tertindas untuk memahami makna mengerikan yang terjadi pada masyarakat yang menindas? Siapakah yang merasakan penderitaan akibat penindasan lebih daripada kaum tertindas itu sendiri? Siapakah yang dapat memahami pentingnya arti pembebasan dengan lebih baik?” tandas Freire (terj., cet. vii, 2011).

Sekalipun demikian, saya kira perjuangan melawan penindasan akan lebih bernilai lagi jika para pembela bukan hanya kaum tertindas, melainkan juga justru berasal dari luar kalangan mereka. Dalam hal ini orang kaya membela orang-orang miskin, kelompok mayoritas berdiri bersama minoritas, laki-laki turut memperjuangkan hak-hak perempuan.

Tentu saja orang seperti itu jarang sekali kita temukan. Mereka yang berada di tempat yang tinggi kadang kesulitan memahami penderitaan yang dialami mereka yang di bawah. Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, seorang Belanda yang membela rakyat terjajah lewat Max Havelaar kiranya dapat kita masukkan dalam kumpulan kecil figur-figur langka itu.

Yang jelas, pejuang kemanusiaan yang komplit ada pada diri KH. Abdurrahman Wahid. Meskipun beliau menderita disabilitas di penghujung usia, Gus Dur adalah pembela seluruh kaum yang tertindas. Ya minoritas, ya kaum miskin, semuanya.

Kiprah Gus Dur yang berasal dari kalangan mayoritas yang membela kelompok-kelompok minoritas sudah terekam dengan sangat baik dalam pengetahuan kita. Dalam konteks kesetaraan gender, buku Hilly yang kami diskusikan bersama GUSDURian Banjarmasin dan Kampung Buku Banjarmasin 23 Januari lalu menampilkan figur Gus Dur sebagai lelaki yang membela hak-hak kaum perempuan. Maka layaklah bila nisan tempat peristirahatan Gus Dur bertuliskan “di sini terbaring pejuang kemanusiaan”.

Satu hal yang mesti kita camkan pada diri kita masing-masing: pada ruang lingkup tertentu mungkin kita adalah orang yang tertindas atau boleh jadi justru yang menindas. Maka perjuangan melawan penindasan bukanlah perjuangan kaum tertindas saja, melainkan perjuangan seluruh umat manusia.

Penggerak GUSDURian Banjarmasin. Guru di Ponpes Darul Hijrah Putri Martapura.