Kontroversi “ceramah” Oki Setiana Dewi (OSD) meninggalkan beberapa catatan penting. Pertama, kesadaran tentang kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah “go public”. Begitu potongan ceramahnya mengudara, reaksi pun muncul, dari yang tipis-tipis sampai yang teoretis. Tak hanya perempuan yang ahli di bidangnya, tetapi para lelaki yang merasa dipermalukan. Ini sebuah capaian hebat. Ini sungguh buah dari kerja keras kampanye dan aksi anti kekerasan terhadap perempuan yang bergulir sejak era reformasi, terutama setelah terbentuknya Komnas Perempuan di era Presiden Habibie, dan keluarnya kebijakan Pengarusutamaan Gender di era Presiden Abdurrahman Wahid dan keluarnya UU anti-kekerasan terhadap perempuan di era Presiden Megawati, untuk sekedar menyebut beberapa tonggak penting.
Kedua, isu kekerasan juga telah mengalami proses konseptualisasi teoretis. Istilah “normalisasi KDRT” yang digunakan untuk melawan pandangan Oki adalah sebuah konsep yang mengekstraksikan bahwa kekerasan bukanlah sesuatu yang normal dan biasa saja, itu adalah sebuah tindakan kejahatan kemanusiaan. Kerangka teori untuk menjelaskan apa dan mengapa kekerasan terjadi dengan basis ketimpangan gender, dan karenanya bukan sesuatu yang tak disengaja, telah menjadi pengetahuan umum yang dapat menjelaskan seluk beluk tentang kekerasan terhadap perempuan. (Silakan Oki baca-baca buku dulu ya sebelum ceramah, referensinya telah bertebaran dalam bahasa Indonesia; himbauan yang sama berlaku bagi anggota DPR yang menggantung RUU Kekerasan Seksual).
Ketiga, kekerasan yang berbungkus pandangan agama telah dikupas tuntas untuk melawan pendekatan tekstualis. Meski ada ustaz mazhab “sejenis” yang mengutip ayat untuk membenarkan pandangan OSD, namun pandangan itu hancur lebur oleh konsep yang lebih matang yang telah dibangun dalam tradisi pemikiran di lingkungan kiai, nyai, ustaz dan ustazah yang telah khatam baca kitab dalam tradisi pesantren. Mereka membaca dan paham konsep maqashid syariah -tujuan-tujuan inti ajaran/syariat Islam, antara lain tentang konsep hifdzun nafs (menjaga nyawa/menjaga jiwa).
Dalam konsep itu, kekerasan, apa pun bentuknya, adalah manifestasi dari pelanggaran salah satu dari lima maqashid syariah tersebut. OSD sebaiknya belajar lagi tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan dalam hasanah pemikiran Islam yang terus dikembangkan sejak masa Rasulullah, lalu era Imam Ghazali di abad ke-11, hingga saat ini. (Oki sekali-kali ikut deh Kajian Islam dan Gender yang diasuh Nyai Dr. Nur Rifiah; atau ngaji di lingkungan KUPI dengan Ibu Nyai Badriah Fayumi; atau ngaji Mubadalah yang diasuh Kiai Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, Kiai Dr (HC) Husein Muhammad; atau ngaji tafsir dari Prof. Nasaruddin Umar, Prof. Hamim Ilyas; dan banyak lagi).
Keempat, dan ini tampaknya kurang tereksplorasi dalam diskusi, kekerasan adalah sebuah siklus. Jika hari itu OSD menceritakan suami perempuan itu memukul (OSD malah mencontohkannya menggampar sekuat tenaga), maka ketahuilah bahwa kekerasan itu PASTI telah berlangsung bertahun-tahun ke belakang. Kekerasan fisik yang terjadi hari itu, menurut catatan lembaga-lembaga perlindungan perempuan korban KDRT seperti WCC di seluruh dunia, memberi isyarat bahwa kejadian kekerasan itu bukan baru terjadi pagi itu, tetapi minimal telah berlangsung dua tahun ke belakang. Dari yang berbentuk hardikan, bentakan, merendahkan, ancaman, sumpah serapah, predikat sebutan sekebun binatang, sampai kekerasan fisik seperti memukul, menyundut dengan rokok, dilempar benda-benda yang ada di dekat pelaku, dan berakhir dengan kekerasan yang benar-benar merampas nyawa.
Ini beda dari kekerasan non-gender seperti kekerasan berbasis konflik SARA yang eskalasinya linier memuncak, dari adu mulut sampai benar-benar adu fisik. Hal yang bahaya dari KDRT (mohon perhatian ya Oki!) adalah kejadian kekerasan itu berbentuk siklus melingkar, bukan linier. Siklus melingkar artinya, satu kejadian kekerasan dalam rumah tangga biasanya diikuti dengan penyesalan pelaku, lalu suasana psikologisnya masuk ke masa pemakluman dan pengampunan dari istri, lalu masa “bulan madu”, diikuti masa jeda kekerasan dan jika ada pemicu lagi pelaku akan menghajar lebih keras lagi. Begitu seterusnya dengan intensitas yang makin kuat dan siklus waktu yang makin pendek. Karena KDRT membentuk siklus, karenanya KDRT menjadi sangat berbahaya dan menjadi biang pembunuh dalam rumah tangga.
Kelima, ini juga kurang tereksplorasi dalam diskusi kali ini. Soal standar ganda dan stereotype kekerasan. Oki mengatakan perempuan itu suka “lebay”, suka mengadu, dan melebih-lebihkan. Ini sebuah pernyataan yang menjadi stereo/gaung suara yang bergema tapi menyesatkan. Perempuan, seperti Oki ya, dikonstruksikan secara sosial (termasuk dari ceramah agama) agar menjadi “perempuan”. Itu artinya perempuan dibentuk sesuai dengan harapan sosialnya dalam bertingkah laku. Mereka harus lemah, sabar, pasrah, mengalah, tidak boleh lebih dari lelaki, dan seterusnya. Harapan sosial itu tentu harus diekspresikan dalam tingkah laku: ramah, tidak judes, baik, tidak galak, diam, tidak bersuara, dan tak masalah jika emosional.
Nah jika asuhannya menghendak begitu, tentu perempuan dikonstruksikan untuk menyampaikan segala sesuatu dengan ekspresi dan harapan sosialnya itu. Bicara hal yang rasional (anak sakit, harga susu mahal, suami selingkuh) tapi dengan ekpresi emosional, menangis misalnya. Tapi karena penilaiannya menggunakan standar ganda sikap serupa itu dinilai “berlebih-lebihan”. Coba bandingkan kalau hal serupa terjadi kepada lelaki. Ia menangis dalam mengekspresikan perasaannya. Tanggapannya bukan “berlebih-lebihan”, tapi dianggap lelaki yang lembut, sensitif, dan yang perasa. Air matanya dinilai sebagai bentuk sikap sportifnya. Sementara pada perempuan dianggap emosional karena mendahulukan rasa daripada otak.
Nah gak fair kan? Mungkin baiknya Iqra dulu ya dik Oki!