Saya masih ingat betapa hype-nya anak-anak pesantren mahasiswa saat nonton Debat Capres 2014. Di pesantren berbasis NU itu, kami terbelah. Sebagian mendukung Prabowo, sebagian lagi mendukung Jokowi. Circa 2019, kubu Prabowo dan Jokowi kembali memanas. Musababnya, keduanya mendaftar lagi jadi capres.
Ada banyak momen betapa kami sangat meng-NU-kan para capres. Kami mengamati dari hal-hal yang sangat besar hingga mendetail. Misalnya, ketika kubu Prabowo melakukan blunder ‘sujud’ di makam Bung Karno dan Sandiaga Uno—wakilnya—berziarah dengan cara yang tidak NU, sontak kubu Jokowi mengeksploitasi kisah itu besar-besaran. Pun, ketika Jokowi agak belepotan mengucapkan kalimat ‘warahmatullahi wabarakatuh’, kubu Prabowo mempertanyakan tingkat keislamannya.
Begitulah. Kisah yang kurang lebih sama—meng-NU-kan sosok—juga terjadi saat pemilihan kepala daerah. Di Jawa Timur sudah jelas peta pertarungannya. Para penonton tak perlu cemas. Wes, NU kabeh! Pun di Jawa Tengah, ‘pertarungan’ kader satu versus kader lainnya membuat wilayah ini dirasa aman. Wes, NU kabeh! Praktis, ada dua wilayah yang membuat kami deg-degan: Jawa Barat dan Jakarta. Kami menerka-nerka, siapa yang paling NU?
Namun kekhawatiran itu sirna tatkala di masing-masing kubu selalu ada tokoh NU yang berkiprah.
Peng-NU-an ini seolah mendapat legitimasi saat tokoh-tokoh yang melenggang di bursa pemilihan mengidentifikasi dirinya sebagai Nahdliyin. Beberapa sampai membuktikan dengan membuat KartaNU, kartu bagi warga NU perkotaan. Tanda ini cukup membuat para Nahdliyin merasa aman karena merasa punya wakil di pemerintahan.
Apalagi, banyak pesohor yang berceramah bahwa orang NU harus ambil bagian di pemerintahan. Tujuannya agar pembangunan sejalan dengan prinsip dan idealisme yang dipegang teguh oleh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Apalagi, mayoritas Nahdliyin adalah orang-orang kampung yang berprofesi sebagai petani, nelayan, kuli bangunan, tukang garat, guru honorer, dan profesi ‘kecil’ lainnya. Mereka tergolong kelompok rentan yang harus mendapat perlindungan dan jaminan kehidupan dari negara.
Sebab, dalam bernegara NU memegang teguh maqashid syariah, di mana negara harus menjamin kebebasan beragama (hifz ad-din), jiwa (hifz an-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz an-nasl), dan harta benda (hifz al-mal) warganya. Siapa pun pemimpinnya, selama memiliki komitmen menjamin kelima hal tersebut, maka harus didukung. Sebaliknya, jika melanggar, maka harus dikritisi, bahkan dilawan menggunakan instrumen konstitusi yang ada (NU tidak menghendaki pemberontakan).
Singkatnya, dengan pembekalan ngaji dan kaderisasi, warga NU yang berpolitik dianggap tahu dan mau memperjuangkan prinsip-prinsip tersebut. Tidak harus memimpin, yang penting punya pengaruh untuk membuat kebijakan yang disandarkan pada kemaslahatan rakyat. Tasharraful imam ‘ala ar-raiyyah manuthun bil maslahah.
Hanya saja, imajinasi mengenai kemaslahatan rakyat tampaknya tak pernah sama. Termasuk bagi sosok yang meng-NU-kan atau di-NU-kan. Tak lama setelah pesta pemilihan berlalu, selalu ada tangisan dan pekik perlawanan di basis-basis warga rentan.
Sebagai contoh, di tempat yang tak jauh dari saya tinggal, setelah Jokowi dilantik, deru perlawanan petani di Kulonprogo menggema. Banyak petani yang enggan melepas lahan suburnya untuk dijadikan bandara harus menghadapi bedil dan pentungan aparat. Ironis karena beberapa bulan sebelumnya banyak warga yang bersujud syukur melihat presiden dilantik.
Tak berselang lama, di Urut Sewu Kebumen, ratusan petani harus menghadapi lusinan tentara untuk mempertahankan tanah bertani yang diklaim milik negara. Ini adalah konflik yang sudah terjadi puluhan tahun. Yang tidak berubah adalah aparat yang berlaku represif terhadap warganya.
Di waktu dan tempat yang berdekatan, tepatnya di Wadas, Bener, Purworejo, warga juga kelimpungan untuk mempertahankan tanah pertanian dan perkebunannya. Di desa mereka yang asri, pemerintah pusat menetapkan wilayah itu sebagai proyek strategis nasional. Ada bendungan yang akan dibangun. Sebagai bahannya, batu andesit di Wadas akan ditambang dan ditanam sebagai dinding bendungan.
Warga yang masih enggan melepas tanahnya, harus menghadapi kekerasan aparat. Belasan warga yang dianggap provokator ditangkap.
Situasi ini pun menimbulkan pertanyaan, benarkah hadirnya Nahdliyin di pemerintahan memberi pengaruh kuat terkait penjaminan negara atas prinsip dasar warganya?
Secara jam’iyyah (organisasi), NU menguatkan keberpihakannya pada rakyat di Muktamar ke-34 Desember lalu. Di komisi Fatwa, NU menegaskan bahwa perampasan tanah warga oleh negara adalah haram. Namun dua bulan kemudian, di Desa Wadas yang mayoritas penduduknya adalah Nahdliyin, negara seperti tak mendengar seruan ini. Padahal, pada 31 Januari lalu, presiden menghadiri pelantikan pengurus PBNU periode mutakhir. Di momen tersebut, presiden bahkan menjanjikan konsesi lahan yang luas kepada PBNU.
Sementara di basis warga NU, negara justru sangat represif dalam merampas lahan pertanian yang subur. Hal ini dipertegas ketika pemerintah mengirimkan ratusan aparat bersenjata lengkap hanya untuk mengukur lahan yang akan dijadikan lokasi proyek. Puluhan orang ditangkap kepolisian karena dituduh sebagai provokator. Sebuah sikap yang sangat kontras terhadap jam’iyyah NU (organisasi) dan jamaah Nahdliyin (warga).
Wallahua’lam.