Kisah Para Minoritas di Bumi Hulontalo

Saya teringat dengan sebuah buku yang pernah dituliskan salah satu sastrawan Nusantara, Pramoedya Ananta Toer. Pram, sapaan akrabnya, pernah menulis sebuah biografi salah satu tokoh pers di Indonesia dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia. Bumi Manusia mengisahkan cita-cita Minke, si tokoh utama, yang menginginkan dunia tanpa ada yang membeda-bedakan antara si penjajah maupun yang dijajah, antara si Muslim maupun si non-Muslim, ataupun antara si Jawa maupun non-Jawa.

Ingatan itu kembali menggelitik kepala saya ketika duduk di sebuah diskusi keberagaman yang dilaksanakan oleh GUSDURian Gorontalo pada Oktober 2021 lalu. Angin malam menjamah lembut kulit. Kulit hangat berganti dingin. Diskusi waktu itu mengangkat persoalan keberagaman di Gorontalo, atau lebih tepatnya kisah pilu minoritas di Bumi Serambi Madinah.

Gorontalo, atau juga sering disebut Hulontalo (dalam penyebutan warga lokal, huruf T dibaca Dh: Hulondhalo) merupakan daerah yang memiliki masyarakat Muslim banyak. Sejarah Islam di Gorontalo sendiri memiliki kisah romantis. Seiring berjalannya waktu, masyarakat lokal menyebut Gorontalo dengan sebutan Serambi Madinah. Munculnya sebutan ini adalah cerminan kondisi sosial-budaya dan agama masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai adat, budaya, dan kesopanan yang sesuai dengan semboyan adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to qurani, artinya, adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan Qur’an.

Sebutan Serambi Madinah untuk Gorontalo harusnya menjadi refleksi terhadap kerukunan umat beragamanya, seperti pada kisah Bumi Manusia. Tak ada superioritas dalam berkehidupan sosial. Tidak ada yang unggul. Semua memiliki hak yang sama. Namun kisah demi kisah yang akan saya ceritakan kembali ini menuai pertanyaan lagi di kepala saya tentang julukan Serambi Madinah bumi Hulontalo.

***

Kisah ini dituturkan oleh kaum-kaum minoritas. Mereka yang jumlahnya paling sedikit di bumi Hulontalo. Sebut saja namanya Putu Andita, salah satu umat Hindu yang bermukim di Hulontalo. Saat itu Putu berkisah pengalaman lucu keberagamaannya. “Menurut saya ini sebenarnya bukan kisah pilu, tapi lebih ke lucu. Karena persoalan toleransi menurut saya sudah clear. Tidak ada lagi perbedaan selagi kita masih manusia,” ucap Putu.

Putu bercerita salah satu kisah lucu itu. Ketika itu sore hari, ba’da ashar di tahun 2017. Ia tengah duduk santai bersama kawan-kawan di kosan. Sebelum adzan ashar berkumandang, sejumlah kawula muda, kata dia, bertandang ke kosannya. “Lengkap dengan pakaian muslimnya,” tutur Putu.

“Ketika itu, saya dan teman kosan duduk berjejer di teras. Mereka mulai bercerita dan mengajak kami untuk shalat berjama’ah. Saya sontak kaget, dan mengangkat tangan serta menjelaskan bahwa saya non-Muslim. Ketika itu, perlakuan sopan yang saya dapat di awal berubah drastis. Mereka menyuruh saya berdiri di bawah antena TV, seolah sedang menghukum. Nada suaranya tinggi, mirip-mirip membentak. Tapi saya mencoba menjelaskan pada mereka bahwa saya ingin ke kamar saja.”

Saya mendengar yang dikatakan Putu bahwa, kejadian itu menurutnya sangat miris, juga lucu. Bahwa masih ada sejumlah kelompok atau orang yang tidak tahu di Indonesia ini tidak hanya ada agama Islam. Putu bahkan menerima sebutan aliran baru terhadap agama yang dianutnya.

“Kejadian itu waktu saya ingin ke Pura untuk beribadah. Saya memakai pakaian adat. Ketika di lampu merah menuju Pura, ada abang bentor di samping saya yang berkata so aliran apa poli ngoni ini (aliran jenis apa lagi ini)”.

Menurutnya, itu menjadi perilaku diskriminatif yang bersumber dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan oleh para mayoritas itu juga pernah dialaminya ketika duduk di bangku kuliah. Ia diturunkan dari posisinya sebagai ketua senat mahasiswa hanya karena agama. “Kami tidak bisa protes, karena tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang tidak tahu.”

“Yang kami minta hanyalah penyamaan hak. Kita sama-sama berkaki dua dan bertangan dua. Mari lebih bijak menyikapi orang yang berbeda dengan kita. Menurut saya toleransi tidak perlu bersikap, tetapi toleransi akan timbul kalau ada rasa empati,” tuturnya dan mengakhiri kisahnya pada waktu itu.

Tidak hanya Putu, Ricardo Situmorang, salah satu umat Kristiani yang bermukim di Gorontalo juga mengalaminya. Ricardo berasal dari suku Batak. Ketika ia bercerita, muncullah aksen Batak agak ke-Manado-manado-an. Saya mendengarkan Ricardo mengisahkan momen ketika masa kuliahnya.

“Saya kuliah jurusan Sejarah di salah satu kampus negeri terkenal di Gorontalo. Waktu itu ada studi banding ke Manado. Salah satu dosen yang menemani perjalanan kami melihat patung Yesus Kristus dan menunjuk dengan telunjuknya serta berkata: Ricardo tuh lihat, Tuhanmu lagi berdiri. Pernah juga sekali waktu, dengan mata kuliah umum, tetapi dosen mewajibkan untuk menerima perkuliahan di masjid.”

“Kisah lainnya waktu saya ingin merayakan hari raya Paskah. Momentumnya pas dengan lebaran. Waktu itu, saya mengenakan kemeja batik dan bersepatu. Tampilan rapi. Seperti lazimnya orang yang ingin ke gereja. Ketika itu saya menunggu bentor untuk pergi ke salah satu gereja di kompleks lapangan Taruna Remaja. Dan salah satu abang bentor singgah. Waktu itu, orang itu mengenakan kupluk lafadz Allah, celana cingkrang, dilengkapi tas lafadz Arab. Saya memberitahukan bahwa saya ingin ke gereja. Air muka yang ceria tadi berubah. Orang itu membeku, tak mengucapkan sepatah kata dan langsung tancap gas. Ketika bentornya telah berjarak sekitar sepuluh meter, orang itu meludah ke aspal. Ini aneh, karena saya ingin memberinya rezeki tapi entah mengapa ia tidak mau.”

Kisah-kisah yang dialami Ricardo itu membuatnya menyimpulkan bahwa sumber permasalahannya adalah komunikasi. Ketika orang sering berkomunikasi, berdiskusi, maka toleransi akan muncul. “Saya selalu tersanjung dengan GUSDURian Gorontalo yang selalu menginisiasi pertemuan dengan kami umat kristiani di gereja.

***

Non-Muslim bukanlah satu-satunya minoritas di bumi Hulontalo. Dari kalangan Muslim juga ada yang minoritas. Di antaranya adalah Wahab Nasaru, jemaat Syi’ah dan penganut kepercayaan lokal. Dan juga Nanang Supriatna, salah seorang mubaligh Ahmadiyah yang tinggal di Hulontalo.

Wahab, sapaan akrabnya ketika itu berkisah; “ Waktu itu kebetulan saya mendapat surat undangan dari Kesbangpol (kesatuan bangsa dan politik). Dalam surat itu tertulis acara kepemudaan. Lantas saya memenuhi undangan itu. Sesampainya di kantor, saya disambut dan diarahkan ke ruangan kepala Kesbangpol. Di dalam sudah ada beberapa pria yang berdiri. Saya diinterogasi, bahkan kena bentak. Kata mereka, saya penganut Syi’ah, dan mereka menghakimi aliran saya itu sesat. Dianggap punya Qur’an dan Ka’bah sendiri. Mereka bilang, mereka tahunya hal itu dari Youtube. Saya berkata kepada orang-orang itu bahwa mereka bukanlah sarjana agama, mengapa berani memvonis orang lain salah,”.

Wahab ketika itu menuturkan kalau pribadinya tertarik dengan pengetahuan agama. Ia belajar tentang perbandingan agama. Berbagai pengetahuan dipelajarinya, di antaranya berbagai aliran mazhab, sejarah Islam (baik Sunni maupun Syi’ah) sampai pada aliran lokal.

“Saya lakukan itu karena takut salah memvonis orang. Makanya, menurut saya kapabilitas orang-orang yang berada di Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus ditingkatkan. Bila perlu, yang masuk itu bukan karena akses parpol. Saya melihat MUI ini hanya mengurusi label halal-haram produk. Harusnya yang dilihat itu realitas umat, khususnya kelompok Islam yang mengalami ketertindasan. Seperti kasus yang saya alami ini. Saya bahkan diteror di Facebook.”

Wahab menambahi, jika Islam dikatakan tidak toleran, ia tidak setuju. Karena kota Madinah sendiri itu plural. Ada para penganut Yahudi, Nasrani, dan lainnya yang tinggal ketika Nabi Muhammad Saw yang memimpin.

“Ada sejarah yang kurang diperbincangkan atau dikisahkan kembali. Seperti sebutan khalifah. Khalifah ini sebutan zaman setelah wafatnya Nabi Saw, di zaman para sahabat. Kesepakatan untuk hidup rukun dan damai itu telah tertulis dengan baik di Piagam Madinah, yang di dalamnya ada tanda tangan orang-orang Yahudi, Majusi, Nasrani, dan lainnya. Ini yang jarang diinformasikan oleh MUI, Departemen Agama, atau juga dosen sejarah. Sehingga yang ada adalah wawasan keagamaan kita jadi minim dan Islam menjadi pola kolonial: Menindas!”

Lain kisahnya dengan Nanang Supriatna. Nanang menuturkan; “ Waktu itu, saya ingin pindah dari Bogor ke Palu, Sulawesi Tengah. Tragedi Cikeusik sedang panas-panasnya. Kejadian luar biasa yang dialami oleh para penganut Ahmadiyah. Waktu itu di tahun 2011. Saya ingin pindah ke Palu dan ketika itu ditolak. Katanya, Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan. Saya dipersulit dalam hal pengurusan administrasi. Diisukan saya sebagai pendatang gelap yang ingin menyebarkan paham-paham Ahmadiyah yang menyesatkan. Ketika itu ada keputusan dari pimpinan tertinggi pemerintah, yakni Bupati, bahwa dalam waktu 3×24 jam saya harus angkat kaki dari Sulawesi Tengah. Dan anggota kami yang Ahmadiyah lainnya harus kembali ke Islam. Mungkin kami dianggap tidak Islam.”

“Saya ditelpon oleh salah satu intel. Mereka bilang nyawa saya terancam. Padahal, secara logika, ketika salah satu orang diancam nyawanya, harusnya mereka yang mengayomi dan melindungi. Tapi singkat cerita, akhirnya saya tidak jadi diancam dan dikeluarkan dari Sulawesi Tengah. Saya di sana hingga tahun 2018, lalu pada 2019 saya pindah ke Gorontalo.”

Pada akhir kisah itu, Nanang memiliki kesimpulan sendiri bahwa toleransi itu betul-betul dilakukan dengan rasa dan pengalaman. Di dalam Ahmadiyah sendiri, kata dia, memiliki motto: cinta untuk semua tidak ada kebencian untuk siapa pun. “Ini berat sebetulnya. Tetapi ini adalah anjuran yang harus dilaksanakan. Sebenarnya, kami juga bisa membalas, tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah. Dan ini sudah disebarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam,” pungkasnya.

***

Dalam diskusi itu, turut diwarnai dengan adanya pendapat akademisi dan peneliti. Donald Tungkagi namanya, salah satu dosen di perguruan tinggi IAIN Gorontalo, yang juga adalah alumnus UIN Jakarta, jurusan Perbandingan Agama. Donald berpendapat bahwa toleransi adalah kemampuan dan kemauan kita untuk menghargai orang lain.

“Dalam konteks kebebasan beragama ada yang namanya eksternum dan internum. Hak eksternum adalah hak kita untuk tidak mengganggu orang lain. Contoh saya punya rumah dan punya speaker atau toa, cuma karena saya punya hak atas barang milik saya ini, makanya saya putar kencang-kencang, tapi itu akhirnya jadinya hak internum karena kita mengganggu hak eksternum yang lain.”

Persoalan lainnya, kata Donald adalah persoalan definisi agama yang belum selesai. Syiah dan Ahmadiyah itu adalah bagian dari Islam. “Problemnya itu ada pada legitimasi negara. Legitimasinya ada pada masyarakat yang kurang menganggap minoritas, sehingga produknya adalah radikalisasi.”

Berbeda dengan pendapat peneliti dari Litbang Kementerian Agama Kota Makassar, Sabara Nurudin. Ia tidak sepakat dengan istilah toleransi. “Menurut saya, toleransi ini lebih pada pemakluman. Ditolerir kesalahannya, dan maknanya bisa bias. Toleransi masih pada tataran benar dan salah, para pakar menyebutnya toleransi pasif dan aktif. Di dalam toleransi sendiri ada penerimaan, tetapi dibatasi. Ekspresinya dibatasi. Ada juga penerimaannya yang secara terpaksa.

“Saya teringat dengan hasil survei kerukunan umat beragama di Gorontalo tahun 2018 dan 2019. Ketika itu, Gorontalo hasilnya 69 sekian persen. Masih dalam kategori baik, karena rata-rata nasional adalah 70 persen. Waktu itu Gorontalo berada di posisi 19 senasional. Dan tahun 2019, Gorontalo memiliki hasil 72 persen, tapi rata-rata nasional juga naik jadi 73 persen.”

“Saya berpikir angka ini belum representatif. Karena dari seratus orang, hanya butuh lima orang untuk membuat kerusuhan dan kekacauan. Terkadang, kita lebih fokus pada yang kecil ini, karena merekalah yang bunyinya paling nyaring. Kita yang mayoritas kebanyakan diam. Makanya, kita semua harus jadi provokator damai. Mengapa banyak yang intoleran, seperti yang dikisahkan tadi? Itu karena kita kurang berjumpa, kurang berkawan, dan juga kurang bacaan. Sekali-kali kita perlu mencoba melintas dan berpikir di luar (outsider) agama kita.”

Lanjut Sabara, konsep yang lebih pas menurutnya adalah acceptance (penerimaan). Pada dasarnya, kata dia, penerimaan itu adalah pelampauan konsep toleransi. “Sampai kita pada titik di mana keragaman bukan hanya kita terima tapi kita rayakan. Titik tekannya pada kesamaan hak warga dunia maupun warga Indonesia. Seperti perkataan Sayyidina Ali, yang bukan saudaramu dalam seiman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Kisah penerimaan ini, kata Sabara, pernah terjadi di zaman Nabi. “Ini diceritakan dalam hadis Bukhari. Pada suatu hari, ada iring-iringan lewat dan waktu itu Nabi berdiri, hingga iring-iringan itu lewat dan tak terlihat lagi di pandangan. Para sahabat mengingatkan bahwa yang lewat tadi adalah seorang non-Muslim, Yahudi. Dan Nabi berkata bahwa yang lewat tadi itu juga adalah MANUSIA!”

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.