Judul : Kearifan Lokal sebagai Roh Peradaban
Penerjemah : Dawiyatun, dkk.
Penerbit : Perpusnas Press
Cetakan : Maret, 2022
Tebal : 200 halaman
ISBN : 978-623-313-44-08
Kearifan lokal merupakan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebabnya tak lain karena negara ini terdiri dari beragam budaya, tradisi, dan etnis di masing-masing daerahnya.
Kearifan lokal sendiri adalah kebiasaan yang dilakukan sekelompok masyarakat, yang kemudian bertransformasi menjadi adat dan tradisi di daerah tersebut. Adat dan tradisi itu tetap dipertahankan oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerahnya. Kearifan lokal adalah bentuk pelaksanaan tradisi yang bernilai positif dan dapat diteruskan secara turun temurun.
Buku Kearifan Lokal sebagai Roh Peradaban ini merupakan kumpulan gagasan dari lima belas pemuda di Madura yang berhasil memotret kearifan lokal dari berbagai sisinya. Ada beragam nilai dan tradisi yang terselip dan layak diungkap ke pembaca sebagai jelmaan dari roh kehidupan dan peradaban masyarakat Madura. Bentuk-bentuk dan tipologi kearifan lokal di dalam buku ini menjadi satu kesatuan utuh yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Dawiyatun, salah satu penulis di buku ini, menyoroti tentang kultur tanah tegalan di kalangan masyarakat Madura yang tidak hanya berfungsi sebagai lahan pertanian dan tempat kandang binatang ternak, melainkan memiliki fungsi yang lebih luas.
Menurutnya, tanah tegalan Madura memiliki beragam nilai bagi masyarakat Madura, di antaranya sebagai solidaritas sosial, keakraban dengan alam, dan nilai kesederhanaan. Muncullah istilah kebudayaan Madura, yaitu Ngala’ Paron atau mengelola tanah orang lain untuk keperluan produksi, di mana pemilik tanah akan memperoleh bagian dari hasil produksi tersebut (hlm. 8). Inilah yang memunculkan nilai solidaritas sosial antara pemilik dan pengelola tanah.
Penulis lainnya, Ahmad Fawaid, lebih menekankan tentang solidaritas masyarakat Madura yang dibentuk melalui beragam jenis kompolan (perkumpulan), seperti kompolan darusan (tadarus Al-Qur’an), burdahan, shalawat nariyah, Rukun Kematian (RK), tahlilan, dan lain sebagainya.
Dalam esainya, dari kompolan-kompolan inilah tradisi dan etika pemuda kampung dibentuk. Pemuda kampung secara tidak langsung diajari untuk menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang muda-muda. Sikap saling menghormati merupakan perbuatan yang sangat dijunjung tinggi. Orang Madura tidak hanya menggaungkannya ke publik lewat teori dan wacana saja. Kearifan justru telah menjadi laku keseharian (hlm. 17).
Dari lima belas esai yang ditulis oleh pemuda Madura ini hampir semuanya membahas tentang peran seorang pemuda dalam membangkitkan kembali roh kearifan lokal yang mulai pudar. Menghidupkan rokat tase’, batik tulis dan mode dalam memakainya, musik saronen, tari-tarian, tata bahasa lokal, makanan khas lokal, hingga budaya menyuguhkan kopi kepada tamu; semuanya dibahas dengan penuh gelora di dalam buku kumpulan esai ini. Beragam pembahasan menarik muncul dari berbagai tradisi dan budaya yang dimunculkan di sini sebagai salah satu suplemen bagi pemuda dalam membangun peradaban di Madura.
Nabila Izzatun Nufus menguak beberapa pribahasa orang Madura yang menjadi cerminan tipologi orang Madura yang sesungguhnya. Seperti masyarakat Madura yang dikenal sebagai orang yang bekerja keras sehingga muncul beberapa bahasa-bahasa khas seperti bharenteng (sangat giat), bhajeng (rajin), ababbha’ (bekerja dengan mengerahkan seluruh kemampuan), dan apokpak (sibuk mengerjakan dua atau lebih pekerjaan sekaligus). Bahkan, ada beberapa peribahasa yang menjadi tipologi masyarakat Madura seperti mun ta’ ngarkar ta’ kera nyolpe’ yang menunjukkan etos kerja orang Madura yang sangat anti terhadap pengangguran dan tujuan hidup tidak jelas.
Berbeda dengan Elikatus Sukma, ia mengungkap bagaimana tradisi petik laut yang dilaksanakan oleh masyarakat Madura sebagai sarana dalam mendekatkan diri dengan Tuhannya. Petik laut adalah pembuktian masyarakat bahwa mereka peduli terhadap laut, baik dari segi kelestariannya maupun perawatannya. Hal itu merupakan pembuktian terhadap gusti Allah yang menandakan bahwa masyarakat bersungguh-sungguh dalam menjaga amanah dan memanfaatkan laut dengan sebaik-baiknya sebagai sumber dalam mencari rezeki (hlm. 42).
Sementara itu, Habibatul Mahtubah dan Ramlah Qusyairi memiliki kepedulian terhadap gerakan pemuda di Madura dalam melestarikan batik tulis dan bagaimana membentuk mode budaya berbatik di kalangan pemuda, tanpa terkontaminasi dengan pakaian-pakaian modern lainnya. Gagasan-gagasan ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka melestarikan budaya lokal. Upaya dan usaha ini bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam memajukan budaya lokal, menghidupkan kembali semangat tolerasi, keramahtamahan dan solidaritas yang tinggi, mempertahankan budaya lokal agar tidak punah, serta mengusahakan agar masyarakat mampu mengelola keanekaragaman budaya lokal (hlm. 130).
Buku ini setidaknya memberikan respons terhadap kalangan pemuda agar tidak menghilangkan roh kearifan lokal masyarakat Madura yang sangat kaya di dalamnya. Roh kearifan lokal ini terbentuk dan terbentur melalui beberapa strategi yang dilakukan oleh masyarakat Madura dengan begitu kokoh dalam kehidupan kesehariannya, sehingga menjadi tradisi yang mengakar dan menjadi pedoman dalam segala aspek kehidupan. Karena itulah, kearifan lokal Madura jika dirawat dan dijaga dengan baik akan menjadi nilai, etika, dan budaya menjelma roh peradaban yang senantiasa bisa diwariskan dari generasi ke generasi di berbagai lintas zaman.