Sepak Bola Memang Seksi, Tapi Seksisme Tidak

Dua gadis muda nan cantik itu bernyanyi lagu “Persebaya Emosi Jiwaku” karya almarhum Oka Gundul dengan begitu bersemangatnya. Bait demi bait, sambil berdiri bersandar di pagar pembatas salah satu tribun dan membentangkan syal dengan bangganya, tak jauh dari tempatku duduk. Tepat saat lagu itu selesai dinyanyikan, masih dalam suasana yang meriah kala memberikan dukungan dari tribun untuk semua pahlawan kami yang berlaga di lapangan, sekelompok pemuda berjalan melintasi kedua gadis tadi.

Sesaat kemudian mereka berdua menoleh dengan muka terkejut, ada sesuatu yang terjadi. Kemudian muka mereka memerah dan segera menepi kembali ke tempat duduk mereka di tribun. Sementara para pemuda tadi berlalu begitu saja. Di antara mereka tertawa-tawa dan ada yang menoleh sinis ke kedua gadis tadi. Ada apa gerangan?

Kulihat kedua gadis tadi dengan mata berkaca-kaca dan meneteskan air mata tertunduk lesu. Terasa sekali mereka tak lagi memperhatikan jalannya pertandingan dan fokus ke lapangan guna memberikan dukungan bagi. Rupanya keduanya baru saja mengalami hal yang buruk, pantat mereka ditepuk-tepuk, ditowel dan sempat juga pantat dan payudara mereka dipegang-pegang oleh segerombolan pemuda tadi. Sebuah sexual abusement, sebuah pelecehan berlalu di depan mata ribuan supporter tanpa kita sadari telah terjadi. 

Adegan di atas merupakan salah satu kisah sedih yang menjadi bagian realitas apa yang selama ini pernah terjadi di stadion. Mayoritas orang berpendapat bahwa sepak bola itu olahraga laki-laki, identik dengan kaum laki-laki baik dari pemain maupun pendukungnya, yang datang ke stadion pun mayoritasnya juga para lelaki. Tak jarang kita temui kasus-kasus pelecehan yang dilakukan suporter sepak bola (laki-laki) terhadap perempuan yang berada dalam zona mereka, meski perempuan tersebut juga sesama pendukung klub yang sama. Bentuk pelecehannya bisa bermacam-macam, mulai dari sekedar catcalling dan kekerasan secara verbal, hingga pada tindakan-tindakan fisik yang tentu saja membuat efek trauma secara psikologis bagi perempuan.

Ingatan kita pasti belum luntur kala tim Persebaya putri bertanding di ajang Liga1 Putri di tahun 2019. Menjelang laga melawan Arema putri, sesi latihan tim kita disatroni beberapa fans tuan rumah dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Bantai Purel Dolly”. Diakui maupun tidak, hal tersebut tentu saja berpengaruh pada mental skuad perempuan kita. Beberapa anggota tim bahkan merasa enggan untuk keluar dari hotel tempat mereka menginap karena seperti merasa kalah sebelum bertarung. Sebuah tindakan seksisme dalam sepak bola yang dilakukan oleh lelaki dengan gampangnya tanpa mendapatkan tindakan apa-apa dari pihak berwenang. Alasannya? Masih wajar. Namanya juga supporter. Psywar. Enteng sekali.

Sepak bola itu seksi. Tetapi seksisme dalam sepak bola itu bukan lagi sebuah hal yang bisa dianggap seksi. Seksisme mempunyai arti prasangka dan anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior atau lebih baik daripada jenis kelamin yang lain. Biasanya yang menjadi korban dalam hal ini adalah perempuan karena dianggap sebagai “manusia kelas dua” oleh sistem sosial patriarki yang bercirikan superioritas laki-laki.

Dahulu, sebelum nama Bonita populer sebagai sebutan supporter perempuan Persebaya, nama Ratu Bonek sempat terkenal di masa-masa Persebaya masih berkandang di stadion Gelora 10 November Surabaya. Tokoh supporter perempuan yang paling terkenal saat itu bernama Tante Mira (almarhum, penggagas Ratu Bonek, sebuah wadah komunitas kelompok supporter perempuan di stadion Tambaksari. Pada masa itu sepak bola begitu asing bagi perempuan, sehingga keberadaannya di tribun merupakan pemandangan sangat langka. Namun Tante Mira dan rekan-rekannya begitu gigih memperjuangkan dan mewacanakan ruang terbuka yang aman bagi perempuan di stadion Tambaksari. Menurut beliau  tidak ada yang salah jika seorang perempuan menjadi pendukung tim sepak bola dan hadir di dalam stadion.

Pada masa-masa itu, stadion bukanlah tempat yang ramah dan aman bagi perempuan. Catcalling berupa suitan hingga kata-kata vulgar sering terdengar kala ada penonton perempuan melintas di tribun. Ini belum terhitung apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada mereka di lorong masuk menuju tribun yang suasananya gelap dan berdesak-desakan. Sering kali mereka mengalami pelecehan seksual secara fisik. Biasanya yang terjadi adalah bagian tubuhnya diraba-raba, dipegang-pegang oleh orang tak dikenal kala berdesak-desakan di dalam lorong tadi. Jikalaupun ada kasus seksisme seperti di atas, apabila dilaporkan kepada petugas keamanan yang berjaga, yang kita dapatkan adalah penghakiman yang terkesan menyalahkan.

“Lapo arek wedhok kok ndelok bal-balan? Golek perkoro ae wedhok-wedhok kok nang stadion.” 

Menjadi korban itu sudah berat. Menerima kekerasan verbal maupun fisik yang berdampak trauma psikologis, tapi justru ditambahi pada penghakiman kepada korban itu sendiri padahal merekalah yang lemah dan menjadi korban.

Kita patut bersyukur, kini Gelora Bung Tomo begitu ramah pada supporter wanita dan anak-anak. Kita sendiri juga memiliki komunitas Bonita (Bonek Wanita) mulai dari gadis remaja hingga deretan emak-emak yang tak kalah fanatiknya dalam mendukung Persebaya apabila dibandingkan dengan Bonek. Mereka datang, bernyanyi, berteriak mendukung tim kesayangannya, Persebaya Surabaya hingga pertandingan usai. Memang masih banyak yang meremehkan mereka bahwa perempuan tidak mengerti sepak bola, perempuan tidak hafal nama pemain apalagi skema permainannya, datang hanya untuk berselfie ria dan sekedar mengisi konten sosial media.

Namun jika kita mau dan mencoba sedikit saja berdiskusi dengan mereka, apa pun motivasinya datang ke stadion, kita akan mendapati bahwa pengetahuan sepak bola mereka tidak bisa diremehkan. Mereka mengerti tentang sepak bola, mereka hafal nama-nama pemain, mereka tahu tentang sejarah klub dan sebagai fans, mereka hafal chants atau lagu-lagu pembakar semangat di stadion. Suara mereka lantang terdengar, tak kalah dengan para pria.

Jaman sudah berubah sekarang. Tapi harus diakui kita masih hidup dalam kultur sosial patriarki di mana potensi seksisme tetap ada di sekitar kita. Sebagai laki-laki kita adalah bapak dan saudara bagi perempuan. Bukankah kita juga berharap istri, saudara dan anak-anak perempuan kita bisa dengan aman dan nyaman datang ke stadion mendukung Persebaya mulai dari berangkat hingga pulangnya?

Saya percaya, kita -Bonek dan Bonita mampu mewujudkannya. Bersinergi memerangi seksisme dalam sepak bola. Kita mulai dari diri kita sendiri. Sebarkan ke komunitas kecilmu, sebarkan kepada tribun-tribunmu. Mari kita lindungi perempuan-perempuan di sekitar kita. Jaga Bonita, kita bersama mereka!

Alumnus Creator Academy 2022 Seknas Jaringan GUSDURian.