Social Media

Beraninya Keroyokan

Saat melihat rekaman penyerangan warga Ahmadiyah di Cikeusik (2011), saya mual dan shocked. Selama berhari-hari saya masih dihantui bayang-bayang situasi mengerikan tersebut. Melihat bagaimana jasad seorang manusia diperlakukan sedemikian keji oleh ratusan orang, frasa manusia yang tidak beradab menjelma menjadi sesuatu yang nyata.

Kemarahan publik menggelegar. Ramai-ramai berharap agar kejadian ini tidak terulang lagi. Namun, harapan itu tak membuahkan wujud. Kekerasan demi kekerasan kita saksikan dalam berbagai konteks. Orang dibakar massa karena dikira mencuri speaker masjid. Pelajar berkelahi dengan senjata tajam sampai mengakibatkan hilangnya nyawa pelajar lain. Pencopet sampai meregang nyawa dihajar massa. Guru memukul murid. Murid memukul guru. Puluhan tubuh tercerai-berai akibat bom bunuh diri di Surabaya beberapa bulan lalu.

Kemualan yang sama terjadi saat menyaksikan video pengeroyokan Haringga Sirla pada hari Minggu tanggal 23 September 2018 ini. Ngilu rasanya melihat tubuh Haringga yang bersimbah darah disiksa sedemikian rupa. Dan, Haringga menjadi korban ketujuh perseteruan pendukung Persib Bandung dengan Persija Jakarta. Entah korban keberapa di arena persepakbolaan Indonesia.

Lalu, kita ramai-ramai mengutuk kejadian, ramai-ramai menyerukan agar ini menjadi kejadian terakhir, ramai-ramai menuntut pemerintah melalui aparat keamanan untuk menyelesaikan kasusnya, ramai-ramai menuntut PSSI untuk melakukan investigasi dan memberikan sanksi, sampai-sampai kita ikut membuat pusing Ketua PSSI.

Apa yang membuat massa begitu buas terhadap orang yang sudah tidak berdaya, bersimbah darah, bahkan sudah tak bernyawa? Mengapa para pelaku bagaikan direnggut dari nurani kemanusiaannya?

Secara umum, dalam situasi berkelompok, kita akan kehilangan pembatasan (halangan) mental personal untuk bertindak. Halangan mental personal ini menjaga kita dari tindakan yang kita sadari tidak patut untuk dilakukan. Dalam situasi berkelompok, kehadiran kawanan membuat kita mengalami deindividuasi, menurunnya kesadaran sebagai individu (menjadi anonim), digantikan oleh menguatnya identitas kelompok.

Dalam kondisi situasi berkelompok yang agresif dan genting, deindividuasi menyebabkan hilangnya kemampuan individu untuk mengendalikan dirinya, terbawa perilaku kawanan saat itu tanpa rasa takut atau malu. Yang tak mampu dilakukannya secara pribadi mampu dilakukannya dengan gagah berani. Ia merasa tak harus mempertanggungjawabkan tindakannya secara personal. Bahasa gaulnya: ”beraninya keroyokan”.

Remaja menjadi sangat rentan terlibat dalam tindak kekerasan massa karena mereka senang menjadi bagian dari kelompok. Ini sebetulnya adalah ciri normal perkembangan kematangan individu. Sayangnya, karena perkembangan kematangan kognitif dan moralitas yang belum selesai, ini juga membuat banyak remaja terlibat dalam situasi kerumunan massa yang tak terkendali, atau bahkan terlibat dalam tindak kejahatan.

Akan tetapi, gambaran dinamika tersebut hanya menjelaskan tentang bagaimana perilaku kerumunan massa dapat terjadi secara umum. Ketika perilaku kekerasan dalam kerumunan massa terjadi berulang kali di berbagai ruang yang berbeda, itu menandakan fenomena peningkatan intensitas di atas dinamika perilaku kerumunan: kultur kekerasan dalam masyarakat setempat.

Sejak lama budaya kekerasan makin meraja di Indonesia. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terus meningkat menjadi salah satu indikatornya. Eksposur kekerasan di rumah, di sekolah, di lingkungan, di media, di video games, di dunia maya, ini menimbulkan desensitisasi, membuat kekerasan seakan-akan menjadi sesuatu yang normal.

Perilaku ini dapat bereskalasi menjadi perilaku kekerasan dalam kerumunan massa akibat identitas kelompok. Menurut Rapoport dan Charny (1982), ini menandai salah satu indikator bergeraknya masyarakat ke arah kehancuran (society moving towards destruction). Charny menyebutnya the tragic readiness for ordinary people to be perpretators of destruction, terrorism, and genocide—kesiapan orang awam untuk menjadi pelaku perusakan, terorisme, dan genosida.

Dalam pandangan ini, perilaku kekerasan dalam kerumunan massa ditujukan kepada korban karena atribut kelompok yang melekat pada korban, sebagaimana Haringga yang diserang bobotoh Persib karena ia adalah seorang anggota Jakmania, atau korban peristiwa Cikeusik yang adalah anggota jemaah Ahmadiyah. Kelompok-kelompok saling berlomba untuk menjadi penguasa, sedangkan kelompok lain dituding sebagai lawan yang membahayakan. Indikator lain adalah dehumanisasi kelompok lawan sebagai kelompok rendahan, nista, dan karena itu berhak dibasmi. Apabila sudah demikian, konflik sosial akan lebih rentan terjadi antarkelompok masyarakat. Di sinilah kemunduran dan kehancuran masyarakat terlihat.

Lalu, masihkah kita memandang peristiwa Haringga murni sebagai tindakan ”oknum” dan diproses sebagai tindakan kriminal murni orang per orang? Tidakkah sudah saatnya kita memandangnya sebagai tanda-tanda masyarakat kita yang mendekati jurang kemanusiaan? Kapankah kita akan meninggalkan ketidakmanusiawian kita, ketidakadilan kita, dan kebiadaban kita menuju kemanusiaan yang adil dan beradab?

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 30 September 2018)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.