Social Media

Buya Guru

Dua minggu telah berlalu sejak Buya Ahmad Syafii Maarif wafat. Sebuah kehilangan yang luar biasa, bukan hanya bagi organisasi Muhammadiyah, tetapi juga bagi bangsa Indonesia.

Sejak itu, kisah-kisah tentang sosok Buya Syafii Maarif bertebaran. Baik sebagai pribadi maupun pemikiran dan sepak terjangnya dalam kehidupan beragama berbangsa dan bernegara, sosok Buya menjadi bahan pelajaran yang tak akan lekang.

Pemikiran Buya tentang bangsa yang adil makmur sentosa sangat konsisten. Pandangan bahwa cita-cita bangsa tersebut bertumpu pada nilai-nilai luhur menjadikan Buya bersikukuh untuk meneguhkan Pancasila sebagai pemandu bangsa.

Nilai-nilai luhur itu yang membuatnya bersemangat menyerukan pluralisme, bersatu di tengah perbedaan. Nilai ketuhanan dan keadilan membawanya konsisten berjuang menampilkan Islam rahmatan lil’alamin, menjadi salah satu tokoh Islam yang paling keras bersuara menentang politik identitas, mayoritarianisme atas nama agama, serta sikap ekstremisme beragama.

Nilai luhur itu juga membuatnya konsisten menyoroti ketimpangan sosial, kebijakan negara yang tidak tepat, serta praktik korupsi yang bagai kanker dalam kehidupan kita. Bahkan, ketika banyak kelompok masyarakat sipil merasa frustrasi dan takut menghadapi pelemahan KPK, Buya ditemani Ibunda Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid pun masih berkunjung dan menyatakan sikap di gedung KPK beberapa tahun lalu.

Buya juga tidak henti bergerak dalam politik kebangsaan. Berulang kali kritik pedas dilontarkannya kepada para politisi. ”Negeri ini surplus politisi, minus negarawan,” menjadi salah satu pernyataannya yang cukup menohok.

Sebagian besar tokoh kita dikenal dengan pemikiran dan karyanya, tapi tak banyak bisa kita teladankan sebagai pribadi secara utuh. Di sini Buya menunjukkan keistimewaannya.

Foto sadel sepeda kayuhnya yang nyaris jebol menjadi viral di media. Sepeda yang setia menemani Buya ke mana saja. Termasuk menemani beliau menjenguk gereja St. Lidwina Bedog di Yogyakarta saat terjadi aksi penyerangan. Keluarga bercerita, kala itu Buya sedang berada di pasar membeli tengkleng, makanan kesukaannya. Begitu mendengar terjadi penyerangan di gereja tersebut, beliau pun mengayuh sepeda dan menjadi tokoh yang pertama kali datang memberikan dukungan.

Buya memang tidak segan ke pasar atau ke warung untuk membeli kebutuhan rumah tangganya. Beliau hidup berdua dengan Umi Syafii, pasangan hidup yang sama bersahaja dan mandirinya. Umi bercerita, kalau sedang memasak dan kehabisan bumbu, Buyalah yang akan pergi berbelanja. Tak heran, di sepedanya pun tersedia plastik kresek.

Sampai akhir hayat, peran domestik dijalankan bersama-sama oleh Buya dan Umi. Tak hanya belanja, mencuci baju, menyetrika atau mengurus taman pun dilakukan oleh keduanya bersama. Sungguh sebuah teladan perilaku adil jender sejati, bukan hanya menjadi seruan dan kajian. Beliau juga kerap berada di pos satpam kompleks kediamannya, selain berada di masjid dekat rumah. Menelepon Presiden pun bisa dilakukannya di pos satpam!

Barangkali, Buya adalah tokoh bangsa yang paling banyak difoto diam-diam di berbagai ruang. Saat duduk di pinggir parit, entah menikmati apa. Saat mengayuh sepeda. Saat berada di kereta komuter, duduk sendirian dengan santai. Juga saat duduk mengantri di rumah sakit, tidak mau didahulukan walaupun di RS milik Muhammadiyah yang pernah dipimpinnya.

Semua perilaku itu sejatinya adalah perilaku lazim bagi banyak orang. Tetapi menjadi istimewa ketika seorang Buya yang melakukannya, di tengah krisis moral dan etika para elit bangsa kita. Buya yang begitu berpengaruh dalam politik kebangsaan, tetapi menjalani hidup sebagaimana rakyat biasa.

Beliau tidak menganggap bahwa posisinya yang terhormat membuatnya berhak atas privilese di berbagai ruang. Beliau tidak suka dihormati berlebihan, juga tidak suka mendapatkan fasilitas tambahan.

Sungguh kontras dengan tokoh-tokoh lain yang menuntut pelayanan berlebihan hanya bermodal stempel posisi. Sebagaimana semakin sering tersingkap oleh media sosial, banyak orang merasa menjadi tokoh lalu merasa berhak menyerobot antrean, meminta perlakuan khusus, pelayanan sepasukan anak buah bak raja dan berbagai kisah lainnya.

Sepeda Buya pun menjadi kontras dengan mobil berplat nomor RF atau RQ yang bersliweran di ibu kota. Kendaraan yang dibayar oleh rakyat tapi bagi penunggangnya menjadi semacam lisensi untuk melampaui semua aturan lalu lintas.

Buya memang tidak terbatasi oleh hal-hal yang sifatnya duniawi. Beliau menjalani hidupnya sebagai ruang bakti kepada nilai-nilai yang diperjuangkannya. Karena itu, beliau lepas dari kemelekatan (attachment) terhadap materi.

Integritas dibangun di atas 4 ciri watak: honesty (kejujuran), congruence (keselarasan diri), humility (kebesaran jiwa), dan courage (keberanian). Demikian kata Stephen Covey Jr. Dan semuanya ada pada diri Buya Syafii Maarif.

Buya memang salah satu tokoh pemimpin Muhammadiyah, tetapi sejatinya Buya adalah Guru Bangsa. Sosoknya dapat menjadi teladan keseharian bagi setiap manusia Indonesia. Pun bagi para pemimpin masyarakat dan bangsa.

Sebagaimana kata JR Miller: The only thing that walks back from the tomb with the mourners and refuses to be buried is the character of a man. What a man is survives him. It can never be buried.

Begitulah Buya Syafii Maarif.

_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 12 Juni 2022

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.