Social Media

Energi Nur Rofiah Mendakwahkan Keadilan Gender Islam

“Persepsi di masyarakat seringkali hanya menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dari fisik dan materi yang dimiliki. Perempuan kerap distigmakan sebagai objek seksual, ketika ia cantik ia akan disayang, ketika ia menua, ia akan dicampakkan. Begitu pula laki-laki, hanya dihargai ketika punya harta dan kekuasaan. Bila ada uang, abang disayang. Jika uang habis, abang ditendang.”

Dalam berbagai kesempatan ngaji bertemakan Keadilan Gender Islam (KGI) yang diusung, tokoh ini selalu memberikan pengantar tersebut untuk menggugah kesadaran bahwa budaya patriarkis yang memberikan stigma tertentu pada laki-laki dan perempuan melalui kacamata fisik serta kekayaan materi adalah hal yang jauh dari nilai-nilai Islam sesungguhnya. Seluruh peserta tak lupa juga selalu diingatkan bahwa baik perempuan dan laki-laki sama-sama berperan sebagai khalifah dan pengemban amanah dakwah Islam di bumi.

Sayangnya dinamika sejarah dan peradaban serta realita dunia saat ini kemudian memperlihatkan hal yang sebaliknya. Dengan mencontohkan tradisi di India hingga Inggris, ia menunjukkan bahwa kesewenang-wenangan terhadap perempuan bukan lahir di ruang hampa. Kesemuanya berakar dari budaya patriarki yang sangat kuat.

Adalah Nur Rofiah yang terus gigih mensyiarkan pandangan-pandangan berprespektif keadilan gender di banyak tempat, banyak kalangan.

Perkenalan dengan Isu-isu Perempuan

Pergerakan Nur Rofiah dalam mengkaji isu-isu perempuan tidak terjadi dalam waktu singkat. Saat kuliah S1 di jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia banyak terinspirasi dari buku-buku yang ditulis oleh Nawal El Sadawi, utamanya yang berjudul Perempuan di Titik Nol. Selepas menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta dan memperoleh beasiswa ke Turki, passion-nya terhadap isu ini justru semakin menguat erat dengan pilihannya untuk bergabung di program Jaringan Islam Emansipatoris di LSM yang ketika itu dipimpin KH. Masdar Farid Mas’udi, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Di sini, ia belajar banyak tentang bagaimana mempertahankan spirit pemberdayaan (emansipatoris) Islam dalam konteks sosial yang sudah sangat berubah jauh. Tentu saja pergulatan antara kemaslahatan berbasis teks dan realitas ini tidak hanya berbekal Al-Qur’an dan hadis melainkan juga teks keislaman ulama klasik yang kaya-raya. 

Salah satu pelajaran penting selama bekerja di P3M adalah keyakinan kuat bahwa substansi ajaran Islam adalah membebaskan manusia dari problem yang membelenggunya, terutama yang bersifat struktural dan sistemik. Oleh karenanya, perlu kesadaran kritis agar bisa membedakan antara penggunaan dan penyalahgunaan Islam dalam konteks berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara.

Pengalaman sebagai dosen diawali dengan menjadi asisten Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA di jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin. Jika di LSM pergulatan tentang problem kemanusiaan dimulai dari memahami realitas nyata sehari-hari, maka dunia akademis berangkat dari teks.

Misalnya tentang jihad. Diskusi tentang tema ini di kampus lebih bertumpu pada bagaimana teks-teks keislaman bicara tentang jihad. Sementara, arah diskusi tentang jihad di LSM adalah bagaimana jihad digunakan oleh kelompok Muslim dalam gerakan fundamentalisme dan radikalisme Islam.

Setelah diangkat sebagai calon PNS pada tahun 2004, Nur ditetapkan sebagai dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah yang diperbantukan di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Institut PTIQ). Ia pun memutuskan untuk mundur dari P3M karena tidak bisa lagi masuk kerja lima hari dalam seminggu. Sejak itu, ia mulai terlibat dalam kegiatan Perhimpunan Rahima, sebuah LSM yang menjadi pusat pendidikan dan informasi tentang hak-hak perempuan dalam Islam. Bahkan hingga kini masih berada dalam jajaran Badan Pengurus.

Di LSM ini ia kembali dihadapkan pada kesenjangan luar biasa antara teks keislaman dengan realitas sosial terkait dengan perempuan. Spirit Islam yang sangat kuat untuk membebaskan perempuan dari tindakan tidak manusiawi masyarakat Arab Jahiliyah ketika turunnya, justru banyak dipahami saat ini dengan cara-cara yang melemahkan perempuan. 

Kesadaran baru muncul dalam pergulatan ini bahwa Islam mungkin dipahami dengan dua model. Pertama, Islam dipahami dengan cara-cara yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Inilah Islam yang dipahami dengan perspektif keadilan gender. Kedua, Islam mungkin saja dipahami secara netral, yakni memandang tidak penting secara sengaja mempertimbangkan keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Cara inilah yang memungkinkan lahirkan tafsir bias gender.

Seperti juga dunia LSM lainnya, pembicaraan tentang perempuan di Rahima berbeda dengan di kampus pada umumnya. Misalnya tentang kepala keluarga. Dunia LSM seperti Rahima, akan melihat realitas dan menyadari banyaknya perempuan yang berfungsi sebagai kepala keluarga, baik karena menjadi ibu tunggal maupun karena suami sakit, terjerat kasus hukum, atau karena hal lainnya tidak bisa berfungsi sebagai kepala keluarga. Dunia kampus punya kecenderungan untuk membahas tema keislaman berangkat dari teks sehingga surat an-Nisa ayat 34 akan menegaskan bahwa kepala keluarga adalah laki-laki.

Kembali ke Dunia Akademik

Sekian lama terjun di lapangan, PTIQ kemudian menjadi pelabuhan penting dalam kariernya sebagai akademisi sekaligus aktivis perempuan. Usai secara resmi diangkat sebagai PNS, maka resmi pula menjadi dosen di PTIQ. Yang menarik, sejak awal berdiri, PTIQ dikenal sebagai kampus yang sangat maskulin karena program strata satu khusus untuk laki-laki, sebagaimana Insitut Ilmu Al-Quran hanya untuk perempuan. 

Pertama bergabung, PTIQ baru memiliki program S1 maka otomatis ditempatkan di Fakultas Ushuluddin sesuai dengan Tafsir sebagai latar belakang studinya. Mata kuliah bidang Tafsir seperti Tafsir, Mazhab Tafsir, Tafsir dan Isu-Isu Kontemporer, adalah beberapa mata kuliah yang dulu pernah diampunya. Selama beberapa semester sempat pula mengampu mata kuliah Tafsir di Fakultas Dakwah dan Tarbiyah.

Bersamaan aktif di program Pendidikan Ulama Perempuan Rahima yang semua pesertanya perempuan (ibu-ibu nyai dan aktivis pendamping perempuan korban kekerasan) dan di PTIQ sebagai dosen yang semua mahasiswanya laki-laki para penghafal Al-Qur’an. Nur merasa dikondisikan untuk mondar-mandir antara teks dan realitas, antara menara gading dan akar rumput, dan antara perspektif laki-laki dan perempuan. Ini adalah pengalaman yang sangat berharga sekali.

Kini dengan aturan baru berkaitan dengan homebase dan jam mengajar, ia pun lebih banyak berproses bersama pengampuh studi pasca sarjana di PTIQ. Meski ia sendiri sempat menerima tawaran untuk menjadi dosen tetap di UIN Syarif Hidayatullah. Namun ia memilih untuk tetap menjadi dosen UIN yang diperbantukan di PTIQ dengan alasan bahwa PTIQ memberinya ruang untuk mendialogkan al-Qur’an dengan realitas sosial riil, baik dalam konteks keluarga, masyarakat, negara, bahkan global, sebagai sesuatu yang penting bagi seorang akademisi yang aktivis.

Jejak Masa Lalu di Pemalang, Jombang, dan Jogja

Kecemerlangannya di dunia akademik yang kini ia tempuh justru sempat diawali dengan mogok sekolah di tengah jalan saat ia masih kanak-kanak. Dulu semasa ia kecil ia adalah pribadi yang suka bermain. Ia bahkan sempat memilih bolos sekolah TK demi keinginannya untuk bersuka cita dan main kesana kemari terpuaskan.

Namun, sejak kelas IV SD, ia kembali menekuni sekolahnya dengan serius. Hingga akhirnya ia bergabung dengan kakak perempuan semata wayangnya di pondok putri yang didirikan oleh Mbah Ny. Hj. Khoiriyah Hasyim, putri Mbah KH. Hasyim Asy’ari, di Seblak, Jombang, Jawa Timur. Ini adalah saat yang dia impikan karena ibunya telah wafat saat kelas II SD dan ayah menyusul saat kelas VI SD.

Selama enam tahun, ia mencoba menekuni pendidikan formal MTs dan MA di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah (MASS) Yayasan Khoiriyah Hasyim dengan tekun. Kehadiran sosok Ibu Nyai Jamilah Ma’shum sebagai pengasuh dan pimpinan tertinggi pesantren yang sangat kuat dan berwibawa dan salah satu putranya, Bapak Umar Faruq, yang juga guru matematika favorit yang ia miliki, berhasil menanamkan fondasi berpikir kritis yang ia coba terapkan hingga sekarang.      

Dengan bekal ilmu dari pondok, ia pun makin mantap melanjutkan studi tafsir hadis di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di bangku perkuliahan, sudah menjadi pemandangan biasa ketika kawan-kawannya menggelar diskusi dengan tema keislaman secara kritis. Hanya saja, ia sering enggan bergabung karena nyalinya masih ciut. Terlebih, ia terbiasa sekelas dengan anak-anak perempuan saja selama enam tahun, sehingga ia baru berani mengajukan pertanyaan ketika rasa ketidaksetujuannya begitu besar. 

Salah satu momen yang masih diingatnya adalah ketika seorang dosen Hadis mengatakan bahwa beliau tidak akan memberi nilai A pada mahasiswa karena A adalah simbol kesempurnaan yang hanya pantas untuk Tuhan. Tak tahan dengan pendapat ini, ia pun bertanya: “Mengapa perbedaan antara Tuhan dan mahasiswa hanya antara A dan B, bukankah seharusnya kesempurnaan Tuhan melampaui A dan nilai A adalah hak mahasiswa?”

Masih jelas dalam ingatannya, sang dosen menantangnya untuk melihat dulu soal yang nanti beliau berikan dalam UAS. Ternyata soal diberikan dalam bahasa Arab. Karena paham, ia pun yakin ini bukan bahasa Arab level tinggi sehingga memberanikan diri menjawab dalam bahasa Arab. Saat diumumkan, bertengger dua A dalam deretan nilai. Satu milik kawannya yang mahir bahasa Arab dan satu lagi miliknya! Inilah nilai A yang sangat bersejarah karena dosen tersebut akhirnya berubah pikiran.

Turki dan Proses Menempa Diri

Selesai S1, melalui ibu Nyai Ida Rufaida Ali Ma’shum Krapyak, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Turki. Tanpa pikir panjang, kesempatan itu tak mau ia sia-siakan. Mental mondok bahkan membuatnya bertahan lima tahun tidak pulang sama sekali ke tanah air untuk menyelesaikan S2 dan S3 sekaligus di Ankara Universitesi, Turki.

Selama di Turki, ia merasa belajar tentang Islam tidak hanya di dalam kampus tetapi juga dari kehidupan sehari-hari. Misalnya sejarah gemilang Turki sebagai imperium Islam terakhir yang akhirnya menjadi negara republik sekuler, ketegangan hubungan antara Islam dan negara, tarik-menarik tradisi Muslim dan Barat yang sangat kuat, musim yang bervariasi, hingga perkenalannya dengan jilbab wig. Saat itu, pemerintah Turki yang sedang menjabat pada periode 1996 sampai 2001, sangat alergi dengan simbol-simbol keislaman, termasuk pada jilbab yang diperintahkan untuk disterilkan bahkan di lingkup pemerintahan sekalipun. Tak kurang akal, perempuan-perempuan berjilbab terutama yang menjadi PNS mengganti jilbab mereka dengan rambut palsu alias wig yang dipadukan dengan pakaian serba panjang. Hal ini juga dicontoh oleh dosen-dosennya di Fakultas Ilahiyat. 

Ketika partai Islam menang pemilu yang dilihat sebagai ancaman oleh petahana, larangan pada penggunaan simbol-simbol keislaman semakin ditingkatkan. Rektor perguruan tinggi, termasuk Universitas Ankara, diinstruksikan untuk menerbitkan larangan berjilbab bagi mahasiswi dan jenggot/cambang bagi mahasiswa. Saat itu banyak sekali mahasiswi yang dengan berat hati memutuskan untuk berhenti kuliah. Nur Rofiah sendiri mengalami diminta membuka jilbabnya. Islam politik selalu melihat jilbab sebagai simbol. Jika kelompok Islam berkuasa, perempuan diwajibkan berjilbab. Jika kelompok lawan berkuasa, perempuan dilarang berjilbab.

Dari sana, ia pun memetik pelajaran paling berharga yang berkaitan dengan kesadaran tentang adanya tarik-menarik sangat kuat antara simbol dan substansi Islam. Politik praktis pragmatis mengondisikan kita untuk memandang simbol keislaman lebih penting, bahkan kadang melampaui pentingnya substansi.

Menggiatkan Isu Keadilan Gender Islam

Berbagai pengalaman hidup dari menempuh pendidikan di kampung hingga ke Ankara, Turki membuatnya semakin melihat bahwa budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat termasuk dalam bentuk kebijakan publik, mengakibatkan tertutupnya banyak akses kepada perempuan untuk mengembangkan diri. Hal itu jua yang kemudian membuatnya merenung menyadari bahwa ia dilahirkan sangat beruntung di tengah-tengah keluarganya yang hangat dan memperhatikan pendidikannya sebagai perempuan. Meski, ia sendiri sudah menjadi anak yatim piatu ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun, sebagai bungsu dari 8 bersaudara, ia menyadari bahwa ia menikmati banyak privilese sebagai anak terakhir yang mendapat curahan kasih sayang dari kakak-kakaknya, juga kebaikan tak terhingga dari orangtua angkatnya. 

Di sisi lain, ia menyadari bahwa banyak perempuan di luar sana tak seberuntung dirinya. Selama ini kaum hawa sangatlah rentan mengalami ketidakadilan hanya karena menjadi perempuan atau ketidakadilan berbasis gender. Misalnya stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Ini yang disebut dengan lima pengalaman sosial perempuan.

Sehingga pada 2017 lalu saat diselenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama di Cirebon, Jawa Barat, ia mencoba memperkenalkan perspektif keadilan hakiki bagi perempuan dalam Islam. Konsep ini adalah ikhtiar untuk mengintegrasikan pengalaman perempuan, baik biologis maupun sosial dalam konsep keadilan. Secara biologis, perempuan bisa mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan memproduksi air susu yang semuanya disertai dengan sensasi rasa sakit. Kelima pengalaman biologis perempuan tadi harusnya diperhatikan dalam seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari agar tidak membuat perempuan semakin terpinggirkan untuk memaksimalkan seluruh potensinya. 

Usai gong awal dakwah gender di Cirebon, ia pun berusaha untuk mengkampanyekan isu ini ke ranah yang lebih luas. Sebab ia melihat bahwa topik-topik gender justru acap kali hanya didikusikan di kelas-kelas yang eksklusif seperti kuliah, workshop, dan seminar, yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu saja. Sehingga ia pun berpikiran untuk membuka kajian sejenis bagi masyarakat umum.

Meski sempat ragu akan tingkat peminatnya, namun sejak di-launching pertengahan 2019 lalu, ia justru melihat bahwa antusiasme ngaji gender ternyata cukup tinggi. Bahkan yang paling berkesan adalah saat ia mengadakannya di kampung halamannya di Pemalang, Jawa Tengah saat libur Idul Fitri. Tak dinyana, ada sekitar 30 orang datang dan sangat bersemangat mengikuti kajian. 

“Yang membuat saya takjub, itu kan masa-masa Lebaran sehingga jalanan relatif macet. Tapi peserta ada yang datang dari Pekalongan, Tegal, Indramayu, bahkan Cilacap. Berarti kan kajian semacam ini dianggap sangat penting oleh mereka.”

Dari situ ia selanjutnya rutin menggelar ngaji KGI baik secara luring maupun daring. Walau dalam setahun terakhir ini KGI diadakan penuh secara daring karena pandemi. Tetapi, hikmahnya ia justru dapat menjangkau umat secara lebih luas, hingga ke luar negeri, seperti pada Ramadan lalu yang ia isi dengan menyapa para jamaah KGI di Mesir hingga Hong Kong. 

Kini, dengan semakin tingginya pamor ngaji KGI, tak hanya dukungan yang ia dapatkan, tapi juga resistensi. Namun hal ini ia yakini sebagai bumbu-bumbu dalam berdakwah, “Karena memang pemikiran yang patriarkal itu sudah ribuan tahun dianut dan dipercaya. Kalau ingin mengubahnya ya sabar, santai saja, jangan serius-serius amat.” 

Maka dari itu, selama menggelar tikar ngaji KGI, ia selalu berusaha untuk tidak ngoyo, tapi terus tetap teguh menyebarkan pesan-pesan kebajikan sebagaimana Rasulullah mencontohkan dulu. Karena kunci dakwah gender bagi Bu Nur Rofiah sederhana saja: upaya maksimal harus dikerjakan, kemudian dilanjutkan dengan tawakal, dengan harapan paling tidak ke depannya, minimal tercipta ruang terbuka agar laki-laki dan perempuan dapat saling bernegosiasi.

Sumber: alif.id

Tertarik dengan isu-isu ringan terkait politik dan keperempuanan serta topik Islam sehari-sehari