Social Media

Mendengarkan: Aku, Kamu, Cinta, dan Semesta

Saya berhutang budi kepada semua mahasiswa saya yang bertahun-tahun mengikuti kelas, lokakarya, workshop dan kepada pasien yang selama ini saya rawat atas peran mereka dalam penguatan kemampuan mendengarkan saya. Dan ijinkan saya berterima kasih kepada Jaringan GUSDURian yang telah memberikan saya pelatihan dan menyediakan platform untuk mengembangkan praktik mendengar.

Mendengarkan adalah praktik yang berkembang dari pengalaman saya sebagai dosen dan perawat. Saya selalu terpesona saat mendengarkan sesuatu yang baru dari lingkungan sekitar saya, bertemu dengan orang-orang baru dan dengan ide serta masalah yang dihadapi. Sejak kecil sebenarnya kita adalah pendengar yang baik, khususnya saat akan tidur dengan pulas, dongeng orang tua menjadi sesuatu yang selalu dinantikan untuk membuat kita menjadi tenang dan nyenyak.

Saya jadi teringat betapa sejak kecil kita sebenarnya adalah pendengar yang baik karena rasa penasaran pada segala sesuatu yang pastinya baru menurut kita. Demikian secara naluri sebagai manusia yang ingin belajar tentang kehidupan untuk menciptakan pengalaman baru, entah itu tentang hal menyenangkan ataupun menyedihkan.

Berbeda dengan masa sekolah. Pada momen itu saya berkenalan dengan proses mendengarkan batin sendiri dan mencoba menuangkan imajinasi dan pengalaman dalam bentuk tulisan dan mengarang bebas, mengalir begitu saja tanpa pernah berpikir mana awal dan akhir atau bahkan berpikir tentang metode penulisan dan gaya selingkung sebuah tulisan. Masa sekolah adalah masa kita mendengarkan suara hati, pikiran, situasi lingkungan yang dituangkan dalam tulisan diary.

Setelah saya mengikuti praktik mendengarkan, saya melihat perubahan yang signifikan dalam cara saya mendengarkan cerita, suara, dan suasana lingkungan di sekitar saya. Saya merasa bahwa tidak hanya sekedar mendengarkan suara yang ada, tapi keinginan untuk menjelajahinya dan merasakan semua celah yang melingkupi suara apa pun itu. Saya menemukan bahwa mendengarkan adalah alat dan media saya menemukan ide-ide serta solusi dalam setiap program saya, khususnya terkait dengan profesi saya sebagai dosen dan perawat. Saya ingin mengeksplorasi bagaimana kata-kata, suara yang saya dengar, emosi yang terpicu, dan upaya yang saya lakukan untuk menghidupkannya bagi mahasiswa atau pasien saya.

Dalam satu minggu ini saya kembali melatih kemampuan saya dalam mendengarkan. Bukan karena ini adalah tugas setelah workshop yang harus saya jalankan, tetapi saya merasa bahwa ini adalah momen untuk kembali merefleksikan diri. Merefleksikan sejauh mana kita menyadari kembali bahwa mendengarkan itu sesungguhnya menjadi bagian penting dalam perjalanan kehidupan kita untuk dapat mengalami dan mengubahnya menjadi pengetahuan baru.

Saya mulai menjalani aktivitas saya setiap hari dengan ke kampus, menemui rekan, sahabat, teman, keluarga dan bahkan menemui orang-orang baru yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Berpindah dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain, di kelas mengajar-membimbing mahasiswa, workshop, seminar, bahkan beberapa kegiatan rapat yang tentunya membutuhkan kemampuan kita untuk dapat mendengarkan atau hanya sekedar menjadi pendengar yang baik.

Rekaman demi rekaman peristiwa, bertemu dalam setiap pertemuan, berbincang dan bercengkrama sampai pada berada di ruang-ruang konseling personal; semuanya membutuhkan perhatian kita untuk mendengar dan mendengarkan. Beberapa kali saya kadang duduk sendiri tanpa ada yang menemani, tapi bahkan dalam situasi sendiri pun ternyata saya berlatih untuk mendengarkan apakah itu mendengarkan suara motor yang lewat, suara burung, sirene, suara anak yang ribut bahkan mampu mendengar suara pikiran dan hati sendiri. Selama ini kadang kita terus bergerak mencari objek untuk melatih diri mendengarkan mendalam, tetapi kita lupa melatih diri untuk bisa mendengarkan diri sendiri.

Akhirnya saya merasa sulit untuk mengungkapkan dengan kata-kata pengalaman saya tentang mendengarkan secara mendalam. Pengalaman saya dalam kelas dan bagaimana keterlibatan saya dalam latihan ini telah membentuk dunia sadar dan tidak sadar saya dalam waktu beberapa minggu terakhir ini. Mendengarkan menjadi fenomena yang telah mengubah hubungan saya. Tidak hanya mampu memahami tentang level-level mendengarkan, mulai dari downloading, factual, emphaty hingga generalisasi, tetapi mampu mengajarkan saya tidak hanya dengan dunia suara tetapi dengan dunia ini pada umumnya.

Ketertarikan saya dengan mendengarkan sudah lama saya jalani, tetapi pendekatan saya terhadap penerimaan saya telah sangat berubah sehubungan dengan praktik mendengarkan. Ketika pertama kali saya terlibat dengan mendengarkan mendalam di awal-awal saya menjadi perawat kemudian dosen, saya tahu sedikit tentang bagaimana menjadi pendengar yang baik, tetapi tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang apa yang diharapkan.

Saat ini, setelah mengikuti beberapa kegiatan dan akhirnya kembali di-refresh melalui workshop GUSDURian, saya kemudian kembali mengasah kemampuan ini dan merenungkan banyak rekaman peristiwa sebelumnya yang mungkin saya hanya mampu menjadi pendengar yang baik tapi tidak mendengarkan. Saya merasa bahwa gaya tindak lanjut seperti ini mencerminkan kondisi dunia kita yang penting untuk memajukan sumber daya manusia yang mampu melakukan revolusi sosial yang diperlukan untuk negara yang rukun dan damai.

Mendengarkan membantu saya untuk mencapai sebuah kesadaran. Mendengarkan meningkatkan kesadaran saya pada perhatian yang sering kali berubah-ubah, baik naik atau turun. Seperti naik turun dan berubahnya level mendengarkan tergantung suasana hati, konsentrasi, minat, bahkan lingkungan yang kadang membuat kita berada pada titik jenuh. Melalui latihan mendengar, lebih jauh saya berpikir bahwa kepedulian terhadap keselamatan global itu penting.

Pertama-tama kita perlu terhubung sebagai umat pada tingkat yang lebih dekat. Untuk berhubungan dengan orang lain, diri sendiri, dan lingkungan kita. Salah satu faktor kuncinya adalah lingkungan suara kita, sesuatu yang menghubungkan kita sebagai manusia. Praktik mendengarkan mendalam memfasilitasi hubungan ini karena memungkinkan untuk introspeksi, dan juga membawa orang lebih dekat ke jalinan yang mengikat mereka melalui pengalaman bersama.

Mendengarkan secara mendalam sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Mendengar tidak sama dengan mendengarkan. Telinga kita terus menerus menghasilkan dan mengumpulkan informasi, namun perhatian kita pada pendengaran dapat diatur dan kondisikan. Saya membedakan ‘mendengar’ dan ‘mendengarkan’. Mendengar adalah sarana fisik yang memungkinkan persepsi. Sedangkan mendengarkan adalah memberi perhatian pada apa yang dirasakan, baik secara akustik maupun psikologis.

Mendengarkan adalah praktik untuk meningkatkan dan memperluas kesadaran kita terhadap suara dalam dimensi kesadaran dan dinamika perhatian secara manusiawi. Mendengarkan sesungguhnya melatih perhatian kita terhadap apa yang didengarkan yang berpusat pada welas asih sebagai media komunikasi kita dalam membantu meringankan penderitaan dan membawa kebahagiaan pada semua mahluk. Mendengarkan menjadi pelatihan kita terhadap pengertian untuk dapat menanggapi segala sesuatu dengan ketenangan dan kejernihan pikiran. Ini adalah tekad dan komitmen kita bersama untuk mendamaikan dan menyelesaikan konflik.

Mendengarkan jika kita lihat dengan mendalam adalah bentuk meditasi, di mana segala perhatian kita arahkan pada interaksi suara dan keheningan. Latihan ini sesungguhnya mampu memperluas kesadaran kita pada seluruh ruang dan waktu dari suara dan keheningan. Mendengarkan adalah latihan untuk meningkatkan keterbukaan dan pemahaman.

Saat kita berbicara dengan pasangan ada ruang di antara kita yang diciptakan oleh suara dan kedekatan tubuh. Kita bisa mendengar dimensi ruang secara sadar dan tidak sadar. Kita kadang memberikan perhatian lebih dari satu suara secara paralel atau bersamaan, serta membedakan arah dan konteksnya. Apakah saat mendengar kita mendengarkan bunyi jam dinding atau suara musik ataukah suara sekeliling kita yang bising? Oleh karena itu kesiapan untuk mendengarkan selalu hadir saat kita sudah terlibat dalam mendengarkan.

Kedalaman mendengarkan pun terkait dengan perluasan kesadaran yang dibawa oleh mendengarkan inklusif yang tidak memihak, terbuka, dan menerima dengan perhatian global. Ataukah kita mendengarkan secara ekslusif, mengumpulkan detail dan menggunakan perhatian fokus tertentu, terbatas dan spesifik.

Selama kehidupan ini saya menyadari bahwa mendengarkan sesungguhnya tidak terbatas pada person to person, tetapi juga mendengarkan seluruh apa yang ada di lingkungan kita yang menarik perhatian dan pikiran kita. Mengingat dan mengingat untuk mengingat. Demikianlah proses mendengarkan itu menjadi sesuatu yang sangat penting dalam merasakan, menyadari, memahami dan mengalami.

Alumnus Workshop Religious Leader Jaringan GUSDURian. Founder Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Cerdas (YPMIC). Dosen UIN Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan.