Social Media

Mengubah Cara Berpikir tentang Toleransi

Di hari toleransi bulan ini, ada banyak hal yang perlu dipikirkan kembali terkait dengan toleransi. Toleransi dikatakan sebagai sebuah etika karena di dalamnya menyangkut tata krama dalam bersosial. Secara aplikatif, toleransi memiliki beragam perspektif. Ada yang mengatakan bahwa toleransi itu hanya sebatas penerimaan kita terhadap perbedaan. Ada juga yang menafsirkan kalau toleransi itu tidak hanya bersifat penerimaan, namun juga memahami dan menghargai atas keyakinan orang lain (bukan dalam arti membenarkan lo ya).

Dua perspektif itu yang sering menjadi perdebatan di sana sini. Keduanya dijadikan tolak ukur untuk menilai apakah seseorang tersebut masih berada pada taraf toleransi tingkat pertama atau di tingkat kedua.

Berbagai macam pelatihan penguatan toleransi telah dilakukan untuk meningkatkan taraf kesadaran toleransi di Indonesia. Program-program seperti dialog antariman pun banyak diselenggarakan untuk memperkuat tingkat toleransi masyarakat. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi tingkat intoleran yang semakin marak terjadi.

Menguatnya fenomena intoleransi adalah pemicu utama maraknya seminar-seminar penguatan toleransi di Indonesia. Aktor penyelenggaranya juga tidak hanya dilakukan dari Indonesia melainkan juga dari negara lain. Keterlibatan dunia internasional dalam upaya peningkatan toleransi membuat seakan-akan kasus intoleransi di Indonesia itu parah.

Padahal jika melihat secara lebih kritis, kasus intoleransi ini banyak terjadi di wilayah agama bukan di wilayah etnis, suku atau sejenisnya. Lebih khusus lagi, fenomena intoleransi kerap terjadi pada agama Islam yang minor seperti Ahmadiyah, Syiah, dan sekte kecil lainnya. Aktor intoleran dapat berasal dari perorangan hingga kelembagaan.

Di sini penulis tidak akan menyebut siapa saja aktor intoleran, lebih-lebih bertindak kekerasan, kepada kelompok kecil seperti Ahmadiyah, Syiah, dan sejenisnya. Namun yang jelas aktor-aktor ini dapat memframing sedemikian rupa teologi dari Ahmadiyah dan kelompok lain bahwa mereka adalah aliran yang di luar aswaja.

Sentimen teologi ini dengan cepat ditanggapi oleh sebagian umat Islam. Pada akhirnya orang yang memiliki pandangan seperti itu kepada kelompok kecil semakin luas, tidak hanya dari kelompok yang menyebar gagasan seperti itu namun juga merambah ke kelompok yang dikenal moderat. Akibatnya penolakan atas kelompok minor tersebut datang dari berbagai macam kelompok muslim di Indonesia, dan akhirnya mereka semakin terpojokkan oleh keadaan yang demikian.

Namun di sisi lain mereka juga menunjukkan sikap yang terbalik jika berhubungan dengan agama lain. Sikap ini dapat ditunjukkan melalui persepsi dan cara komunikasi mereka terhadap agama lain. Sekalipun teologi Wahabi maupun dari keyakinan organisasi FPI mereka tetap mengakui keberadaan agama lain.

Meski demikian, persoalan akan berbeda jika agama lain akan mendirikan tempat ibadah. Baik agama Islam yang minoritas maupun agama minoritas lainnya sulit untuk mendirikan rumah ibadah. Penolakan pendirian rumah ibadah oleh sekelompok pemeluk mayoritas mendasarkan argumentasinya pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 tahun 2006. Dalam peraturan ini pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

Berdasarkan peraturan ini kelompok minoritas akan kesulitan untuk mendirikan tempat ibadah. Tidak jarang kedua kelompok akhirnya terlibat pertikaian fisik. Parahnya lagi negara justru tidak mengambil sikap netral, malah mendukung kelompok yang mayoritas. Ini adalah cara pandang yang salah kaprah dalam melihat toleransi. Jika negara masih memiliki perspektif toleransi mayoritas dan minoritas, dalam arti yang minor diharuskan untuk mengalah pada mayoritas, maka kasus intoleransi tidak akan selesai.

Begitu juga dengan kelompok mayoritas, baik dari Islam maupun agama lainnya di daerah luar Jawa, apabila masih memiliki cara pandang yang sama dengan pemerintah maka kasus intoleransi antar maupun inter agama tidak akan pernah selesai.

Maka dari situ dapat dilihat bahwa yang keliru adalah cara nalar berpikir negara maupun umat agama tentang mayoritas dan minoritas. Dampak dari kekeliruan berpikir ini adalah dapat kasus-kasus intoleransi akan bertahan cukup lama. Begitu juga untuk mengubah cara berpikir demikian butuh waktu yang lama.

Salah satu yang dapat penulis tawarkan adalah membongkar cara berpikir yang lama untuk kemudian dibangun cara berpikir yang baru. Dalam istilah filsafat harus dilakukan pergeseran paradigma karena paradigma yang lama telah terjadi anomali-anomali. Anomali tersebut ditunjukkan dengan adanya kasus-kasus intoleransi yang melibatkan kelompok minoritas di daerah tertentu. Dari anomali ini nantinya akan melahirkan krisis kerukunan beragama di Indonesia.

Untuk itu, mengubah cara berpikir dengan membongkar cara berpikir lama ke yang baru perlu untuk disosialisasikan dalam seminar-seminar atau dalam bentuk lainnya. Jika lembaga sosialisasi hanya menunjukkan data-data peningkatan intoleransi, dan tidak menunjukkan adanya kekeliruan dalam berpikir, maka kasus intoleransi akan tetap ada. Lembaga-lembaga tersebut pertama-tama harus membongkar cara berpikir terlebih dahulu sebelum menginternalisasikan nilai-nilai toleransi.

Hal ini bisa dilakukan dalam berbagai macam bentuk. Misalnya seperti memberi gambaran mereka atas kehidupan realitas sekelilingnya yang hidup dalam sebuah tempurung atau kotak kecil. Dalam kotak tersebut akan dibedah satu per satu untuk menunjukkan realitas sesungguhnya. Kemudian dilanjutkan dengan memberi gambaran kotak atau tempurung yang lebih luas lagi dengan langkah pembedahan yang sama. Pada akhirnya, mereka dapat memiliki cara pandang bahwa kehidupan realitasnya hanya sebagian kecil dari kehidupan di dunia ini. Dan pada akhirnya mereka memiliki cara pandang atas kesamaan antara manusia satu, kotak satu, dengan lainnya.

Hal ini kemudian dapat diperkuat dengan argumentasi yang didasarkan pada sumber agama maupun dasar negara NKRI. Dalam Islam, misalnya, dapat ditunjukkan dasar argumentasinya berdasarkan ayat yang menegaskan tentang persamaan derajat manusia, baik laki-laki maupun perempuan, di hadapan Tuhan. Penegasan secara teologis ini akan memperkuat argumentasi bahwa realitas manusia yang kehidupannya terkotak-kotak memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan.

Sementara argumentasi dari dasar negara yang memuat persamaan ada dalam UUD 1945 Pasal 27 dan pasal 28. Dalam pasal 27 dijelaskan tentang persamaan hak warga negara di mata hukum, dan dalam pasal 28 dijelaskan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.

Penguatan argumentasi tersebut akan berhasil apabila sebelumnya telah dibongkar terlebih dahulu cara berpikir atau nalar berpikir terkait dengan kehidupan yang terkotak-kotakkan. Setelah itu, baru kemudian menginternalisasikan nilai-nilai persamaan dan kesetaraan untuk mengubah cara berpikir sebelumnya. Dengan demikian, dikatakan toleransi apabila dalam nalar berpikirnya tidak memandang lagi tentang mayoritas dan minoritas.

(Artikel ini adalah hasil kerja sama arrahim.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama)

Esais dan GUSDURian Jogja.