Social Media

Obsesi dan Rahasia

Para jama’ah biasa memanggilnya dengan sebutan Ustaz Taufik. Masih muda, berusia tidak lebih dari 40 tahun, lulusan Maroko, keturunan Tanah Pasundan. Sambil menunggu adzan Magrib, ia duduk santai di kursi teras memainkan gawainya.

Senyum-senyum kecil menghiasi wajah Ustaz Taufik. Ia terlihat sangat puas diri mengamati cukup banyak respons atas postingan terbaru di media sosial miliknya. Semenjak beberapa bulan terakhir dirinya mulai aktif memaksimalkan penggunaan media sosial untuk berdakwah kepada kalangan milenial dan Gen Z, pengikutnya melonjak naik dengan cepat. Tidak hanya itu, panggilan mengisi ceramah pun semakin banyak ia terima.

Belum lama ini Ustaz Taufik memperoleh tawaran untuk mengisi pengajian Shubuh selama bulan Ramadan di masjid dekat rumah. Kesempatan emas tersebut tentu saja semakin menambah semangatnya dalam syiar agama.

Ustaz Taufik menyampaikan ke panitia masjid bahwa pengajiannya juga harus ditayangkan secara live melalui kanal Youtube, kalau bisa juga di Instagram. Dia mengira-ngira dalam bayangan yang mendebarkan, berapa banyak penonton yang nanti akan membanjiri tayangan Ramadan tersebut dalam 30 hari ke depan.

Sudah dipikirkan juga kostum gamis dan sorban apa yang akan ia kenakan. Sebagai ustaz pendatang baru, dia ingin menampilkan diri secara layak sebagai pendakwah muda. Citra kesalehannya harus nampak menginspirasi, gaya dakwahnya pun mesti berbeda dari dai lain.

***

“Buk, Ibuk, apakah kamu sudah menyiapkan pakaian untuk pengajianku Shubuh nanti?” Ustaz Taufik bertanya kepada istrinya seraya berjalan ke arah dapur mengambil gelas kopi.

Sunyi. Tidak terdengar sahutan dari Tika, istrinya.

Ustaz Taufik penasaran. Diintipnya ke kamar, kosong. Dia beralih melongok ke kamar anak mereka satu-satunya, Elia, ternyata mereka sedang berbaring. Masing-masing khusyuk dengan gawainya.

Rupanya Tika sedang fokus menikmati kehidupan orang-orang di layar media sosial. Jarinya asik menggulirkan layar dari bawah ke atas, terhibur dan terbuai oleh realitas maya.

“Tika! Sudah kamu siapkan belum jubah pengajianku besok?” hardik Ustaz Taufik kepada istrinya karena tidak ditanggapi pada pertanyaan awal. Jika kesal atau tak sabar dengan sang istri, dia biasanya langsung memanggil nama.

Mendengar panggilan ketus itu, tidak hanya Tika yang menengok kaget, tapi Elia juga.

“Belum, kang. Nanti saya siapkan sehabis sahur,” sahut Tika tak acuh sambil melanjutkan aktivitasnya kembali.

“Ayah nih, kok marah-marah terus ke Ibuk?” Elia memprotes Taufik. Anak itu memang pintar. Bisa memahami situasi, meski baru menginjak kelas 1 SD.

Antara kesal, malu, dan geli mendengar celetuk dari anaknya, Ustaz Taufik meninggalkan mereka berdua tenggelam di dunia dalam layar ponsel.

***

Tidak disangka, antusiasme publik yang ikut ngaji bersama Ustaz Taufik sangat tinggi. Masjid tempatnya mengisi pengajian Shubuh selalu ramai. Penonton via daring di Youtube dan Instagram pun mencapai hampir ratusan orang.

Di tengah ramainya dakwah-dakwah bernada keras, mudah menuduh, dan menghakimi umat yang sedang ingin belajar agama, Ustaz Taufik memang memberi warna khas. Ia mampu merangkul semua kalangan, berdakwah dengan cara yang lebih santun, tapi tidak apolitis.

Selain sebagai pendakwah, Ustaz Taufik merupakan aktivis gerakan sosial. Sehingga dalam konten dakwahnya, ia menggabungkan persoalan fikih dan hadis dengan masalah sosial-agama. Ia berupaya menunjukkan posisi keberpihakan pada isu-isu keadilan dan toleransi, serta vokal dalam menyuarakan hak kesetaraan perempuan terhadap laki-laki.

Pada hari ketiga pengajiannya, Ustaz Taufik memperhatikan ada seorang jama’ah perempuan yang telah berturut-turut hadir. Sepertinya bukan berasal dari daerah sini, karena jika iya, dia pasti pernah melihat. Mungkin penduduk dari perumahan sebelah, pikirnya.

Perempuan tersebut mudah dikenali. Selalu berpakaian gamis putih dengan hijab hitam. Berparas manis. Selain itu, ia pintar. Di tiap akhir sesi pengajian, ia pasti mengacungkan jari untuk bertanya kepada Ustaz Taufik. Pertanyaannya terdengar sederhana, namun sering kali membutuhkan kehati-hatian dalam menjawab.

“Ustaz, apa hukumnya menangis saat berpuasa atau sedang salat?”

“Apabila ada orang yang tak berpuasa bertamu, apa benar kita berdosa jika menyuguhkan makan-minum kepada mereka sedangkan kita sendiri sedang puasa?”

“Apakah ada hadis yang menjelaskan orang bertato sah ibadahnya di hadapan Tuhan?”

Dan serangkaian persoalan lain yang ditanyakan dengan lugu sekaligus kritis oleh perempuan itu.

Ustaz Taufik memperkirakan, sepertinya dia masih berusia 25-an. Kalau tidak salah bernama Manda. Diam-diam perempuan manis tersebut mencuri perhatian si Ustaz.

***

“Kang, saya nanti mau ke rumah simbok. Kasihan simbok kesepian semenjak ditinggal bibi pulang kampung,” Tika meminta izin ke suaminya saat berbuka puasa.

“Lho buk, kok sering sekali pulang? Simbok saja yang diajak tinggal di sini. Biar bisa main dengan Elia,” Ustaz Taufik keberatan kalau istrinya harus ke Jogja lagi. Sedangkan dia sendiri sibuk menghadiri berbagai dakwah di Semarang ini.

Rasa-rasanya kok hampir tiap minggu Tika pulang ke Jogja, Ustaz Taufik membatin.

“Simbok ndak mau saya ajak tinggal sementara waktu di rumah kita. Katanya Semarang terlalu panas. Simbok ndak betah,” istrinya menuangkan semangkuk kolak pisang untuk si suami.

“Ya mangga, akang tidak larang. Tapi Elia jangan ditinggal lagi. Saya kan tidak bisa nemani dia terus karena Ramadan ini padat sekali jadwal dakwah,” ujar Ustaz Taufik sambil melirik Elia yang sibuk main gim di ponsel.

“Iya nanti ibuk ajak. Ndak apa-apa ya kang kalau seminggu? Toh, Elia juga sedang libur. Baru selesai ujian sekolah.”

Ustaz Taufik tidak menjawab. Dia menyendok kolak pisang ke mulutnya dengan pikiran yang telah mengembara.

***

Selepas makan sahur, Ustaz Taufik dengan gairah berapi-api meluncur ke tempat pengajian. Sebagian jama’ah fanatik sudah menantinya di sana, merebut deretan tempat pertama demi mendengarkan tausiyah dari Ustaz Taufik.

Ia menebar senyum pada mereka, harap-harap cemas menantikan lebih banyak lagi jama’ah yang akan datang. Di samping harapan lain pun menggeliat tumbuh, ingin melihat lagi Manda. Perempuan muda kritis dengan senyum yang dapat meruntuhkan gunung bersalju.

Di lapisan tersembunyi batinnya, sosok itu telah menyelipkan kekaguman bagi Ustaz taufik.

Beberapa hari lalu, saat sedang diantar pulang oleh beberapa jama’ah santri, Ustaz Taufik mencuri dengar kasak-kusuk mereka tentang Manda. Diduga mereka sedang mengincar gadis tersebut. Dia mengetahui dari obrolan mereka bahwa Manda ternyata anak seorang kiai di Pati. Saat ini sedang melanjutkan studi pascasarjana di Kota Semarang.

Perasaan kagum Ustaz Taufik makin berbinar-binar. Rasa penasarannya pada Manda terus meningkat.

Seorang ning, cerdas, tekun mencari ilmu, dan terlebih dia sangat manis!

Namun demikian, Ustaz Taufik gelisah. Ceramah telah berlangsung setengah jalan, tapi Manda belum terlihat seujung gaun pun. Dia biasanya duduk paling depan di area masjid yang dikhususkan bagi wanita.

Saat Ustaz Taufik nyaris patah semangat, seorang perempuan di deretan shaf belakang mengangkat tangan bertanya.

“Ustaz, apa dalil yang menguatkan perempuan untuk menolak perjodohan?”

Itu dia gadis yang kutunggu-tunggu. Tanpa sadar, Ustaz Taufik tersenyum lega sambil tetap menjaga wibawa.

***

Seusai sibuk menjawab pertanyaan dan komentar para jama’ah online di media sosial pribadinya, Ustaz Taufik mengambil kitab dan berniat membaca. Akan tetapi, pikirannya melanglang kehilangan fokus. Sesekali wajah Manda tersirat. Mengherankan. Berulang-ulang ia istighfar, berulang-ulang pula raut wajah perempuan itu muncul.

Entah mengapa Manda begitu kuat daya tariknya. Ustaz Taufik tidak pernah membayangkan bahwa di tengah 10 tahun usia rumah tangganya, ia akan menyukai perempuan lain selain istrinya. Aneh memang. Tetapi, sosok Manda sungguh wujud perempuan ideal yang dahulu pernah ia idam-idamkan.

Meski pernah mengenyam pendidikan pesantren, Ustaz Taufik bukanlah berasal dari tradisi keluarga NU. Sebelum menikah ia bercita-cita memiliki istri dari keluarga kiai NU agar memperoleh legitimasi sebagai Ustaz NU. Namun, mimpi itu segera ia kubur setelah bertemu dengan Tika, istrinya yang seorang mualaf Katolik. Sehingga dimaklumi jika ia belum berjilbab secara konsisten.

Jika terpaksa diperbandingkan, Manda tetap lebih menarik dari Tika. Dan lebih cerdas pastinya, apalagi ia berasal dari dzurriyah yang baik. Walaupun keluarganya mungkin tidak seberkuasa dan sekaya keluarga Tika, Ustaz Taufik bicara sendiri.

“Perempuan itu membuatku penasaran. Bagaimana caraku mendekatinya?”

“Ingin sekali aku bersanding dengan perempuan seperti itu. Dia sangat tepat menjadi istriku. Kelihatannya lebih lembut dan perhatian dibandingkan istriku yang makin gemuk dan sekarang sering tak mengacuhkanku. Tapi bagaimana?”

“Di Islam diperbolehkan memiliki lebih dari satu istri, tapi dengan posisiku di kalangan aktivis, niat tersebut akan meruntuhkan karirku. Apalagi aku sadar diri sebagai seorang dai yang sedang naik daun.”

“Jika aku mengorbankan karirku, bagaimana dengan anak dan istriku? Apakah mereka mau menerima kondisi tersebut? Kalaupun Tika memilih mau bercerai, aku masih kuat. Tapi Elia, aku tidak ingin berpisah dari anak itu.”

“Aaaarrgh… Kenapa Manda tidak bisa lepas dari dalam kepalaku?!” Ustaz Taufik semakin frustasi.

***

Lelah karena hantaman pikiran dan keinginan menggila yang merusak konsentrasi harinya, Ustaz Taufik tidak tahan lagi. Ia merasa harus segera bertindak.

Selepas pengajian Shubuh, dirinya menyelinap dari keramaian jama’ah untuk segera mengikuti Manda. Obsesinya pada perempuan tersebut membuatnya tak lagi mampu menghitung resiko. Dari parkiran masjid, dilihatnya Manda pulang berjalan kaki. Setelah agak jauh dari gerbang, ia baru berani mendekati.

“Mbak, sepertinya kita searah. Mau sekalian bareng saya?” Ustaz Taufik menyapa Manda dengan hati-hati. Dadanya berdebar keras, takut kepergok oleh jama’ah lainnya.

Manda yang tengah berjalan, menoleh kaget mengetahui orang yang menawarinya tumpangan mobil ialah Ustaz Taufik. Wajahnya ragu-ragu, segan menolak, tapi juga tidak berani menerima. Dia terpaku, hening.

“Bagaimana mbak? Tidak apa saya antar sekalian,” Ustaz Taufik memecah kebungkaman Manda.

“Terima kasih, Ustaz. Saya jalan kaki saja sekalian olahraga pagi,” Manda menolak halus.

Antara malu karena ditolak dan tetap penasaran, Ustaz Taufik berusaha mengajukan penawaran lain.

“Ohh, ya sudah. Mbak, besok malam saya ada acara tausiyah akbar di Yogyakarta. Kalau mau ikut, nanti bareng rombongan jama’ah masjid sini saja,” ucapnya berharap penuh.

“Baik Ustaz, saya tertarik. Insya Allah datang,” perempuan itu tersenyum. Seketika luluh dan lumpuh Ustaz Taufik menerima senyum tersebut.

***

Dikawal oleh dua orang santri panitia acara, Ustaz Taufik tiba di Yogyakarta selepas Ashar. Sudah lama sekali ia tidak mengunjungi kota penuh kenangan ini. Dulu dia pernah nyantri dan berkuliah di sini, bahkan bertemu dengan jodohnya pun di kota ini.

Ya, Ustaz Taufik dan Tika merupakan teman seperkuliahan. Hampir semua sudut Kota Jogja pernah menjadi tempat kencan mereka.

“Mas, saya ada acara buka bersama dulu di Royal Ambarrukmo. Tolong antar saya ke sana ya,” Ustaz Taufik minta diturunkan di hotel itu.

Sesampai di lobby, Ustaz Taufik duduk santai di sofa sudut menunggu rekan-rekannya datang.

Dari arah lift, matanya tidak sengaja menangkap, terkesiap melihat sosok yang berjalan berangkulan. Seorang lelaki necis khas politisi melingkarkan tangannya ke pundak perempuan yang sangat ia kenal, tapi saat itu sedang tidak mengenakan jilbabnya.

Mereka terlihat mesra dan tertawa-tawa. Melangkah pasti ke arah pintu keluar.

Ustaz Taufik melongo, terguncang menyaksikan pemandangan di depan matanya karena perempuan tersebut adalah istrinya.

Penulis dan penggiat seni. Anggota Lesbumi PBNU.