Perjalanan Merengkuh Sang Liyan: Kisah Seorang Muslim Belajar Teologi di Kampus Kristen

Sayangilah yang ada di bumi. Niscaya yang ada di langit akan menyayangimu” (Nabi Muhammad SAW).

Selepas menyelesaikan kuliah tingkat sarjana di UIN Sunan Kalijaga, saya memutuskan untuk melanjutkan studi Pascasarjana di fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta—meski saya juga sempat bertemu dengan pihak fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Saya diliputi rasa penasaran untuk belajar teologi Kristen langsung di salah satu dari kampus tersebut. 

Alasannya sederhana, selain belajar langsung pada sumber primer—saya teringat kelakar seorang guru saya yang saat ini menjadi Guru Besar (pertama yang beragama Islam) di fakultas Teologi Universitas Notre Dame, Amerika Serikat. Waktu itu beliau menjadi pembicara pada diskusi di salah satu agenda “School of Interfaith Dialogue” yang diadakan oleh Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia beberapa tahun lalu. 

Waktu itu beliau seolah menantang kami (mahasiswa muslim) untuk belajar atau bersekolah langsung di kampus Kristen dan menjadi ahli tentang kekristenan, karena saat ini— menurut pengamatan beliau, ada banyak orang Kristen yang menempuh sekolah di kampus Islam dan menjadi ahli di bidang Islamologi, sedangkan sebaliknya tidak.

Menurut beliau, belum ada seorang sarjana muslim yang bisa menjadi bahan rujukan ketika berbicara tentang kekristenan secara akademik—bukan secara serampangan seperti orang-orang yang mendaku ahli Kristen yang entah belajar darimana.

Dari sana, saya tertantang untuk mencoba melamar untuk bersekolah di fakultas Teologi di kampus UKDW atau USD. Selain itu, saya ingin benar-benar ingin belajar pada sumber yang otoritatif—penganutnya langsung, tentu dengan suasana akademik. 

Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh dalam keluarga muslim, keputusan saya untuk bersekolah di kampus Kristen yang bermula dari kampus Islam menuai banyak penolakan, dari keluarga besar bapak dan ibu, hingga ibu sendiri (berhubungan bapak sudah menghadap-Nya sejak 2001 lalu). Handphone saya dihujani banyak pertanyaan dari keluarga, meski saya hanya perlu meyakinkan ibu bahwa tidak masalah bersekolah di kampus Kristen.

Setelah saya runut dari seluruh keberatan anggota keluarga, ketakutan terbesar mereka mengerucut pada kekhawatiran saya berpindah keyakinan—termasuk ibu. Saya merasa itu hal wajar ketika saya dibesarkan setengah mati dengan tradisi Islam lalu saya berpindah, itu mungkin akan menyakiti hati seluruh keluarga besar, termasuk hati ibuku.

Saat ini, saya hanya fokus pada ibuku seorang dan tidak terlalu memperdulikan keluarga besar lainnya—termasuk keluarga dari almarhum bapak yang notabene sebagai pengurus Muhammadiyah di Makassar yang hingga saat ini saya dengar masih belum menerima keputusanku. Tapi biarlah, saat ini yang terpenting adalah meyakinan ibuku bahwa saya bisa menjaga kepercayaannya.

Beberapa keheranan atau mungkin nada penolakan datang dari beberapa rekan kuliah di UIN, kekhawatiran mereka juga tak jauh berbeda dengan kekhawatiran dari keluarga besarku—hanya perihal “pindah agama”. Bagi saya, sekolah di kampus Kristen dan pindah agama menjadi Kristen adalah dua hal yang sama sekali berbeda, alasan ini juga yang saya gunakan sebagai senjata pamungkas untuk meyakinakan ibuku. Jika seseorang ingin pindah agama, tidak perlu kuliah di kampus Kristen seperti saya. Urusan belajar dan pindah agama adalah dua hal yang jelas berbeda. Orang bisa berpindah agama di manapun dan kapanpun.

Setelah beroleh restu ibu, saya juga memohon restu kyai saya di UIN—dan “Alhamdulillah”, beliau tidak berkeberatan, malah sangat mendukung saya untuk melanjutkan studi di UKDW. Berbekal restu tersebut, saya merasa dukungan itu cukup untuk meyakinkanku untuk melanjutkan studi di fakultas Teologi UKDW—meski harus melalui masa matrikulasi.

Setahun lebih menjalani matrikulasi di fakultas Teologi, saya sama sekali tidak pernah merasakan diperlaukan berbeda di sana. Saya benar-benar merasa seperti di rumah sendiri alias feels like home ketika setahun belakangan ini lalu-lalang belajar di sana dan menjadi muslim satu-satunya di kelas.

Bahkan pada waktu masuk waktu shalat pun, ada banyak yang menjadi pengingat di sana serta tempat untuk menunaikan shalat yang bisa saya lakukan dengan leluasa. Dari perlakuan yang saya terima selama ini, mengajarkan banyak hal—tentang penghargaan, tentang keramah-tamahan hingga rasa kekeluargaan yang begitu hangat saya rasakan.

Merengkuh Sang Liyan: Menemukan Diri Sendiri

Sebagai seorang yang berangkat dari tradisi muslim, saya dulu agak anti dengan sesuatu yang berbau tidak senada dengan agama saya, seperti melihat salib atau acara pelayanan doa yang tayang setiap hari minggu siang pada waktu itu di kanal RCTI. Saya masih mengingat kondisi saya waktu itu. Pokoknya semua yang tidak berbau Islam, NO!

Saya juga hidup dengan stereotip tentang Kristen yang menyembah tiga Tuhan, kitab sucinya dipalsukan, semua orang Kristen pemakan babi, Kristen tidak menyukai orang Islam hingga ditarik ke Yahudi sebagai biang kerok segala persoalan yang ada di muka bumi dan masih banyak lagi pikiran buruk atau prasangka yang saya miliki pada waktu itu—sebelum saya hijrah ke Yogyakarta.

Yogyakarta menjadi tempat kelahiran kedua bagi saya. Bagi perantau yang menemukan banyak hal di Yogyakarta serta mengubah paradigma berpikir tentang banyak hal, khususnya memandang yang lain atau berbeda dengan saya. Semua prasangka saya tentang banyak hal mulai luruh satu per satu seiring pengalaman saya menjalin hubungan dengan banyak orang di Yogyakarta.

Saya teringat apa yang pernah dikatakan oleh Sri Krishna –“kamu adalah aku dalam tubuh yang lain”. Selama ini, apa yang saya prasangkakan ke orang lain—dalam hal ini adalah keyakinan yang berbeda dari yang saya anut ternyata tidak sekadar melukai orang lain itu, namun juga melukai diri saya sendiri. 

Hingga pada suatu saat, saya teringat dawuh kanjeng Nabi Muhammad SAW,“tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencitai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri”. Pada riwayat ini, Nabi Muhammad SAW meletakkan fondasi beriman adalah bagaimana memperlakukan orang lain—ciptaan Tuhan yang lain yang berbeda dengan kita.

Selain itu, saya juga selalu terngiang apa yang dikatakan Gus Dur, “menyakiti manusia—yang notabene ciptaan Tuhan, sama artinya menyakiti Tuhan—Sang Pencipta. Memuliakan manusia, sama halnya memuliakan Sang Pencipta”. Hingga detik ini, saya tidak punya alasan untuk memandang manusia lainnya dengan prasangka buruk.

Justru ketika semakin banyak belajar dari banyak tradisi agama dan spiritual di luar Islam, saya justru semakin diperkaya dengan semua tradisi itu. Iman atau akidah saya tidak rusak—sebagaimana yang selama ini saya dikhawatirkan. Sebaliknya, iman saya semakin bertumbuh. Semakin hari, saya semakin merefleksikan bahwa beribadah kepada-Nya adalah dengan cara memuliakan ciptaan-ciptaan-Nya. “Di hidup yang singkat ini”, kata Jalaluddin Rumi, “jangan tanam apapun kecuali cinta”.

Catatan: Redaksi GUSDURian.net mempersembahkan lima esai terbaik dengan tema “Damai Itu Indah” untuk memperingati Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada tanggal 21 September 2020. Lima esai terbaik edisi khusus Hari Perdamaian ini mengulas seputar pengalaman personal lintas iman dan pemikiran tokoh yang mendorong hubungan lintas agama secara positif.

Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta dan aktivis YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community).