Persatuan Indonesia ala Alfred Riedl

Momen Hari Olahraga Nasional tahun ini harus kita rayakan dengan berita duka. Alfred Riedl, mantan pelatih timnas Indonesia, baru saja dikabarkan telah meninggal dunia di Austria. Kenangan paling melekat mengenai Coach Riedl bagi masyarakat Indonesia tentu saja kiprahnya di Piala AFF 2010. Timnas Indonesia di era tersebut disebut-sebut sebagai timnas terkuat di turnamen dan ramai diprediksi sebagai kandidat juara.

Namun saya tidak mengenang Coach Riedl dari hasil akhir turnamen. Saya ingat timnas Indonesia bermain hebat dalam kejuaaraan tersebut. Akan tetapi saya sudah tidak ingat skor tiap pertandingan dan sudah lupa siapa saja pencetak golnya. Toh akhirnya Indonesia juga gagal menjadi kampiun dalam kejuaraan sepak bola Asia Tenggara tersebut. Hal yang saya ingat betul justru semangat persatuan Indonesia yang dibawa oleh Coach Riedl.

Dalam persiapan Piala AFF 2010, Coach Riedl meminta supaya dia bisa membawa pemain terbaik Indonesia dalam skuadnya. Gayung bersambut, PSSI yang sebelumnya memiliki prinsip anti-naturalisasi, akhirnya menginisiasi kebijakan naturalisasi pemain jelang gelaran kejuaraan tersebut.

Cristian ‘El Loco’ Gonzáles, menjadi pemain naturalisasi pertama Indonesia. Pria asli Uruguay yang begitu mencintai Indonesia, bahkan telah menikah dengan perempuan Indonesia. Sosok striker haus gol di Liga Indonesia ini berhasil mewujudkan keinginannya membela timnas Indonesia. El Loco pun menjadi pemain kunci dalam skuad Coach Riedl.

Begitu pula kita mulai mengenal nama Irfan Bachdim. Sedikit berbeda kasus dengan El Loco, pemain muda ini merupakan diaspora berdarah campuran Indonesia-Belanda yang tinggal di Belanda. Talenta Bachdim membuat dia berhasil mendapatkan paspor Indonesianya jelang Piala AFF 2010. Bersama El Loco, mereka berdua merupakan duet maut di lini serang timnas Indonesia.

Dua sosok “asing” ini lantas bergabung dengan sejumlah nama “asli” Indonesia seperti Firman Utina, Bambang Pamungkas, Okto Maniani, Hamka Hamzah, Markus Haris Maulana, dan kawan-kawan. Mereka semua bersatu membela panji garuda dengan dibesut seorang coach berpaspor Austria.

Bersama mereka, kita semua merasa menjadi saudara. Kita terbakar gelora yang sama untuk membicarakan timnas di mana saja. Kita semua terbakar semangat yang sama saban lagu Dari Mata Sang Garuda milik Pee Wee Gaskins diputar di televisi.

Seluruh masyarakat Indonesia bersorak gembira saat timnas memetik kemenangan demi kemenangan demi lolos ke semifinal. Kita makin menggila saat skuad asuhan Coach Riedl tampil trengginas di laga semifinal dan melaju ke final. Kita semua larut dalam euforia yang sama.

Dalam momen tersebut kita mampu melupakan sekat-sekat identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Kita tidak mempersoalkan lagi apakah pemain yang mencetak gol kemenangan adalah pemain “asli” Indonesia, atau pemain yang cuma naturalisasi. Kita punya satu semangat yang sama. Selama para pemain timnas bermain dengan lambang garuda di dada, kita akan mendukung mereka semua sepenuh hati.

Gegap gempita ini makin memuncak saat partai final tiba. Semua aktivitas berhenti. Para suporter memadati stadion. Sedangkan orang-orang yang tak mampu datang langsung ke stadion, beramai-ramai menonton jalannya pertandingan di televisi.

Semua orang berharap-harap cemas. Mereka semua menunggu skuad Coach Riedl sukses membawa pulang Piala AFF. Mereka semua menantikan timnas Indonesia dapat merengkuh gelar juara untuk pertama kalinya. Akan tetapi, kita semua tahu hasil akhirnya seperti apa.

Sontak seluruh Indonesia disergap nuansa kemurungan yang pahit. Lantas pelan-pelan kita semua menangis karena kita tahu timnas kita tidak layak kalah di partai final. Sedu sedan ini terasa di seluruh penjuru negeri. Kita kecewa karena anak asuh Coach Riedl hanya mampu meraih gelar runner-up.

Ketika saya melihat kembali memori sedasawarsa lalu, saya sadar saya bukan mengenang hasil akhir sebuah turnamen sepakbola. Secara teknikal, saya menyadari betul Coach Riedl telah mempersembahkan susunan timnas terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Namun kenangan yang ditinggalkan Coach Riedl lebih besar dari itu.

Saya bisa berteriak ketika Irfan Bachdim mencetak gol dan tertawa girang saat peluit akhir berbunyi bersama orang asing yang sama-sama menonton bola di warteg. Saya dapat menyapa akrab seorang Bonek yang tak saya kenal ketika mereka berduyun-duyun melewati kota saya untuk menuju Jakarta. Saya merasakan kemurungan yang sama dengan setiap orang yang saya temui di jalanan setelah timnas kalah secara menyakitkan di partai final.

Bagi saya, memori kolektif untuk bisa berbangga menjadi Indonesia dan bersama-sama merasa sebagai sesama saudara sebangsa dengan orang-orang yang tak saya kenal, itulah legacy terbesar Coach Riedl. Jika selama ini politik telah mencerai-beraikan sesama anak bangsa, Coach Riedl melakukan hal sebaliknya. Dia bersama tim asuhannya justru memahat monumen persatuan Indonesia, di dalam sanubari kita semua.

Selamat jalan, Coach. Requiescat in pacem.

Penggerak GUSDURian Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.