Social Media

Pesantren Kaliopak Gelar Haul Gus Dur, Diskusikan Inspirasi dan Aspirasi Kebudayaan Anak Muda

Anak muda, bagaimanapun, punya peran penting untuk mewarnai dinamika kebudayaan yang hadir di tengah masyarakat kita. Apalagi di tengah kondisi Covid-19 yang hampir setahun ini mewarnai kehidupan kita semua. Dalam kondisi Covid-19 kita mau tidak mau dipaksa untuk berubah, beradaptasi dengan kondisi baru dan menemukan format-format baru, sehingga dihadapkan dengan pertanyaan bagaimana anak muda dengan kondisi budaya baru ini mempunyai aspirasi sekaligus inspirasi apa yang dapat menjadi kebudayaan kita saat ini dan ke depannya. Di tengah pembacaan seperti itulah acara Haul Gus Dur digelar berbarengan dengan Anniversary Limasan Kaliopak yang ke-11 di Aula Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Piyungan, Bantul Yogyakarta(29/12).

Acara yang dikemas dengan format sarasehan budaya ini mengumpulkan beberapa anak muda dari berbagai multidisiplin mulai dari seniman tradisi, musisi, ilmuan, kurator pertunjukan, dan penggiat komunitas anak muda. Mereka dikumpulkan sebagai wujud kolaborasi bersama untuk sharing pengalaman di ruangnya masing-masing, merespons dinamika kebudayaan anak muda hari ini. Tercatat ada tujuh anak muda pegiat komunitas sebagai pemantik dalam diskusi kali ini.

Acara ini diawali dengan tahlil dan doa khataman Quran, kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari pengasuh Pondok Kaliopak, Kiai Jadul Maula. Ia menyampaikan bahwa acara ini memang digunakan untuk mendengar berbagai inspirasi dan aspirasi dari anak muda yang bergelut di ruang kreatifnya masing-masing.

“Harapannya dari forum ini kami bisa sedikit mempunyai gambaran bagaimana seharusnya anak muda merespons dinamika kebudayaan kita hari ini, sehingga dari diskusi produktif yang dihasilkan kita bersama bisa dapat menetapkan langkah-langkah apa untuk membangun gerakan kebudayaan ke depannya,” tutur Kiai Jadul Maula di awal sambutannya.

Tidak hanya itu, ia juga menyatakan bahwa terselenggaranya acara ini bukan tanpa sebab. Karena berdirinya Pesantren Kaliopak juga dibangun dari semangat anak muda. Kebetulan pada tahun 2009 saat peresmian Limasan Kaliopak bertepatan juga dengan meninggalnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sehingga dari peristiwa tersebut kami jadikan hari ini sebagai titik untuk meneruskan perjuangan-perjuangan Gus Dur di bidang kebudayaan. Selain itu pada tahun yang sama saat itu juga mengawali berdirinya Pondok Kaliopak dengan diadakannya kongres kebudayaan pesantren yang semua diinisiasi oleh anak muda.

Anak Muda dan Kebudayaan Hari ini

Dalam diskusi banyak hal yang menarik muncul, misalnya yang diungkapkan oleh Madha Soentoro, salah satu anak muda yang selama ini bergelut di bidang pengembangan budaya dan seni tradisi. Ia mengungkapkan bahwa selama ini dalam prosesnya ia kerap mengalami kekosongan dalam memproduksi sebuah karya. Kekosongan itu diakibatkan oleh gemerlap panggung dunia seni selama ini tidak benar-benar menjadi milik masyarakat luas, bahkan hanya dimiliki oleh sebagian kecil dari elit seniman.

“Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai kota seni dan budaya, yang saya lihat dan rasakan gemerlapnya budaya Yogya itu tidak benar-benar mengakar dan mengakomodasi warga Yogyakarta sendiri, terutama anak mudanya,” tegas pemuda yang tumbuh besar di pusat kota Yogya ini.

Lebih jauh lagi, Madha juga menyampaikan bahwa keterputusan pengetahuan antara apa yang sebenarnya yang dimaksud tradisi di tengah masyarakat juga perlu mendapat perhatian. Ia sering menemukan banyak fenomena masayarakat yang gagal paham dengan tradisi yang ada, persinggungan dengan modernitas yang tidak seiring membuat masyarakat kehilangan pengetahuan terkait tradisi yang sebenarnya menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka.

Dari hal itulah akhirnya timbul gairah dan cara lain untuk mempelajari ulang apa sebenarnya esensi budaya dan seni itu sendiri. Langkah itu kemudian sejalan dengan yang Madha lakukan, dengan sering masuk kampung di pinggiran Bantul untuk melakukan pendampingan budaya dengan membuat pertunjukan seni yang mengeksplorasi dari kearifan yang ada di tengah masyarakat setempat.

Dari pengalaman masuk-masuk desa, kemudian memberdayakan masyarakat melalui kesenian, meskipun berat, intervensi sosial yang dilakukan melalui seni tradisi mampu memberikan cara pandang baru kepada masyarakat. Ia menjelaskan, seperti bagaimana mitos, folklore, adat istiadat, dan seni tradisi yang tersebar di setiap penjuru desa di Nusantara adalah modal kultural yang sekarang jarang disentuh, dan justru ditinggalkan. Padahal di situlah sebenarnya budaya baru bisa diciptakan dengan tetap tersambung dengan kultur yang sudah ada, dan tentunya karena berangkat dengan pembacaan saat ini, budaya-budaya tersebut bisa direlevansikan.

Lain cerita dengan yang diungkapkan oleh Rifqi Fairuz yang selama ini berada di balik layar sebuah portal media Islam yaitu Islami.co. Ia menceritakan bahwa media digital bisa dikatakan menjadi fakta baru dari realitas kebudayaan kita hari ini. Ia merangsek terus menerus setiap hari mewarnai kehidupan kita semua melalui informasi yang sulit untuk kita kendalikan. Di samping itu maraknya web-web baru yang mengkampanyekan narasi kebencian dan perpecahan di antara kita sebagai bangsa terutama umat muslim di Indonesia, secara sadar membuat gelisah sehingga Islami.co muncul merespons kondisi itu.

“Dalam hal ini adanya media Islami.co itu sendiri diciptakan hasil dari kegelisahan bagaimana melihat wajah Muslim Indonesia ke depannya. Sehingga ia hadir sebagai counter hegemony dari menguatnya narasi kekerasan dan kebencian yang sekarang ini bertebaran di banyak web dan media sosial,” tutur Rifqi Fairuz.

Sementara itu pegiat literasi dari komunitas Bawa Buku, Ainun Mutmainah, juga menarik perhatian peserta diskusi pada malam itu. Ia menceritakan prosesnya selama ini yang diawali dari rasa cintanya terhadap buku. Awalnya ia membuka rental buku di Makassar. Ide berkomunitas itu mulanya karena ia berpikiran dapat memberi insight bagi orang lainnya dari buku yang ia pinjamkan dengan bayaran yang cukup murah pada saat itu. Namun setelah kepindahanya ke Yogya niat itu bersambut dengan berkolaborasi dengan salah seorang teman hingga ia dan temannya mendirikan toko buku dengan nama Bawa Buku.

Menariknya, melalui Bawa Buku tidak digunakan sekedar hanya berjualan, namun lebih dari itu ia gunakan sebagai ruang bertemu, betukar gagasan, ide dan perhatian pada isu-isu sosial, lingkungan, dan kebudayaan. Hingga dari persinggungan dari teman-temannya itu ia dapat melakukan kegiatan-kegiatan sosial sampai masuk ke pedesaan. Bagi Ainun, anak muda hari ini mestinya lebih memperkuat kolaborasi dari berbagai lini bidang, agar saling bisa mengerti dan mengapresiasi hingga menemukan apa yang mesti dikerjakan untuk kepetingan generasi kita bersama.

Tidak kalah menariknya seperti yang diceritakan oleh Wahid kordinator program Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Soedirman Yogyakarta (MJS) yang memiliki ribuan pengikut baik di offline maupun online. Bahwa apa yang dicapai oleh MJS selama ini adalah buah dari konsistensi yang mesti dilakukan oleh anak muda hari ini. Hal ini seperti yang dilakukanya dengan program Ngaji Filsafat yang dilakukan sejak 2013.

Membawa konten diskusi filsafat ke dalam masjid pada saat itu bisa dikatakan adalah hal baru. Ngaji Filsafat asuhan Dr. Fahrudin Faiz awalnya hanya diikuti lima sampai sepuluh orang. Akan tetapi berkat konsistensi sampai hari ini, jamaah Nagji Filsafat selalu memenuhi ruangan masjid yang besar. Bahkan melalui akun YouTube hasil dari diskusi Ngaji Filsafat, sekarang Wahid dan teman-temannya di MJS dapat menghidupi kegiatan yang ada di masjid. Hingga sekarang mereka merambah dalam berbagai progam salah satunya literasi masjid dan lain-lain.

Menurut Wahid sendiri pencapaian itu semua diraih ”bukan dari proses yang sebentar. Ada konsistensi dan kerja kreatif dari teman-teman muda yang ada di dalamnya. Dan alhamdullah bertahan sampai sekarang ini,” tutur Wahid.

Sementara Shohifur Ridhoillahi, seorang seniman muda yang bergulat di dunia teater dan seni pertunjukan, memberi pandangan yang lebih esensial terkait anak muda. Karena ia tidak berangkat dari komunitas, ia berbicara dari pengalaman sebagai orang yang selama ini mendalami dunia teater. Ia menyampaikan bahwa modal kreativitasnya hanya tubuh. Olah tubuh inilah menurutnya sebagai basis produksi dari seorang seniman teater.

Dalam hal ini ingatan manusia sebagi entitas non-materi dari manusia kini sudah dapat diringkus dalam sebuah folder internal, tidak lagi di kepala. Sehingga ingatan kini sudah dapat dibaca sebagai bentuk kerapuhan atau ketidakberdayaan manusia di satu sisi. Di sisi lain, ingatan menawarkan kemudahan transmisi data atau perpindahan informasi. Misalnya berbagai fasilitas internet seperti Google Map Wikipedia, data percakapan lainnya.

Hanya saja untuk mengakses itu semua manusia membutuhkan “kata kunci” yang tepat. Selama kata kunci tidak tepat, maka ingatan itu tidak dapat diakses. Demikianlah menurutnya manusia di era digital seperti sekarang ini berada dalam “rezim kata kunci”.

Dalam hal lain kondisi pandemi seperti sekarang ini sangat memukul dunia pertunjukan. Dunia panggung yang biasanya di topang dari kerja-kerja kolaborasi dari berbagai elemen dipaksa berhenti seketika. Semuanya dipaksa untuk tidak berkegiatan. Walaupun demikian ia berusaha keras untuk memanfaatkan waktunya untuk memperhatikan sesuatu yang selama sebelum pandemi tidak ia perhatikan seperti misalnya, membersihkan rumah, mencabut rumput yang terlewat untuk diperhatikan. Dalam kondisi tersebut di tengah kerapuhan sistem yang ada kita dipacu untuk menemukan format-format baru agar roda kehidupan tetap berjalan.

Sedangkan pemantik lain, Argawi Kandito, menyatakan bahwa selama ini sains tidak pernah menawarkan keresahan. Menurutnya, seharusnya antara sains, agama dan budaya tidak boleh dibentur-benturkan. Ilmu pengetahuan atau sains sendiri menawarkan aspek rasional dan logika. Sedangkan budaya sendiri menawarkan nilai estetika dan kerukunan sosial. Sementara agama menawarkan aspek moral, relegius dan spiritual. Ketiga unsur tersebut merupakan unsur-unsur kesatuan dalam kehidupan manusia tidak bisa dipandang terpisah atau parsial apalagi di hadap-hadapkan.

Namun dalam realitas kehidupan dewasa ini di negara kita sering kali ketiga hal tersebut di hadap-hadapkan bahkan dibenturkan. Sementara itu di banyak negara maju, teknologi sudah berkembang begitu pesat juga liar. Hal ini bisa menjadi ancaman jika di negara kita terutama anak muda tidak cakap menanggapi itu semua. Ia mencontohkan seperti perkembangan editing genome dan bio sintetik. Tentu saja perkembangan teknologi yang masif tersebut, mau tidak mau jadi tantangan kita ke depan. Jika kita tidak menyiapkan itu semua pasti akan terjadi benturan-benturan yang keras di tengah masyarakat kita.

Lutfi Firdaus sebagai pemantik terakhir dan juga sebagai lurah Pondok Kaliopak dalam penuturanya seperti merajut dari kegelisahan tujuh anak muda yang datang malam itu. Ia mengambil contoh Gus Dur yang harusnya menjadi inspirasi bagaimana gerakan kebudayaan itu bisa dirajut hingga menjadi gerakan bersama. Di lain sisi ia juga mengilustrasikan bahwa dalam sebuah bangunan hal yang terpenting itu adalah tarikan benang dan water pass. Karena tarikan benang itu sendiri yang akan menentukan ke sikuan. Sedangkan water pass untuk mengukur panjang dari sebuah bangunan.

Jika kita coba implementasikan hal tersebut dalam kehidupan bahwa sebenarnya hidup itu sudah digariskan pada sebuah bangunan yang belum wujud oleh Tuhan. Dari hal tersebutlah mestinya ketika melakukan itu semua dalam sebuah tarikan benang dan water pass-nya harus jelas. Apalagi dalam sebuah gerakan kebudayaan dari yang disampaikan temen-temen pemantik sebelumnya kita mestinya mampu menarik menjadi formasi yang agar bisa berdiri seimbang seperti bangunan. Menjalankannya dengan mengambil inspirasi dari kajeng Nabi Muhammad dan contoh jelasnya dari apa yang di lakukan oleh Gus Dur sebagai seorang pejuang kemanusiaan.

Di akhir acara, seperti disampaikan oleh moderator pada acara malam itu, diskusi diantara anak muda terkait kebudayaan yang dilakukan ini pada dasarnya bukanlah akhir tapi menjadi titik awal bagaimana anak muda inilah yang akan mewarnai kebudayaan kita kedepan. Dengan semangat kolaborasi untuk saling mengisi dan menginspirasi anak muda lain agar lebih siap menghadapi tantangan zamannya yang tentu semakin rumit dan pelik.

Sumber: islami.co

Santri Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Piyungan, Bantul. Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.