Social Media

Rawat Keberagaman di Kota Gorontalo, Jaringan GUSDURian Inisasi Perjumpaan Lintas Agama dan Komunitas

Situasi keberagaman yang ada mengalami kelonggaran pada masa merebaknya Pandemi Covid-19 yang bermula 2020 lalu. Pasca berkurangnya penyebaran pandemi tersebut, kiranya kondisi keberagamaan perlu dijalin kembali. Dalam rangka merawat keberagaman tersebut, Jaringan GUSDURian melakukan kegiatan Silaturahmi Kebangsaan yang merupakan ruang perjumpaan antarumat beragama, yang dilaksanakan di Kantor Kementerian Agama Kota Gorontalo, Senin (7/11/2022).

Silaturahmi Kebangsaan mengangkat tema “Merawat Keberagaman dan Inklusi Sosial”. Turut hadir di antaranya unsur pemerintah, organisasi keagamaan, dan pegiat komunitas, yakni perwakilan Walikota Gorontalo, Polres Gorontalo Kota, Kodim 1304 Gorontalo, Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo, Kakankemenag Kota Gorontalo, PCNU Kota Gorontalo, Jemaat Ahmadiyah, Ketua FKUB Kota Gorontalo, Ahlul Bait Indonesia (ABI) Kota Gorontalo, Binthe Pelangi Gorontalo, GKI Kota Gorontalo, Yayasan Buddha Darma Indonesia Gorontalo, dan lainnya.

Mewakili Koordinator GUSDURian Sulawesi, Djemi Radji mengungkapkan situasi keberagaman perlu dilakukan dalam rangka memperkaya khazanah dan menimbulkan rasa saling menghargai serta toleransi di sekitar masyarakat.

“Kita tidak inginkan adanya situasi intoleransi di Kota Gorontalo yang disebabkan oleh oknum tak bertanggungjawab dalam memanfaatkan politik identitias. Sehingga melalui kegiatan ini kita perlu membahas hal tersebut,” ucap Djemi.

Di tempat yang sama, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian Jay Ahmad juga menginginkan adanya tukar pikiran dalam menciptakan situasi keberagamaan yang damai. Sebab ucapnya mengutip Gus Dur Indonesia ada karena keberagaman.

“Pertemuan seperti ini adalah salah satu cara Gus Dur dalam menjaga keberagaman di tengah masyarakat, dan ini menjadi inspirasi dari GUSDURian untuk terus membuat pertemuan dengan berbagai lintas agama,” imbuhnya.

Berbagi pengalaman keberagaman tersebut berjalan dengan cara diskusi bersama. Memandu diskusi, yakni salah satu Pembina GUSDURian Gorontalo, Samsi Pomalingo. Samsi mengatakan, secara bersama kita ingin mendengar pengalaman beragama berbagai lintas iman di Kota Gorontalo.

“Kita ingin cari tahu, apakah memang Gorontalo ini aman-aman saja dari segi keagamaan. Padahal, dalam hasil survey situasi keagamaan pada tahun 2017, Gorontalo menjadi urutan kedua dalam potensi intolerasi yang tinggi di Indonesia. Hal ini yang harus menjadi perhatian kita untuk mencari tahu, ada apa di Gorontalo,” terangnya.

Melalui pertemuan tersebut, sebutnya isu-isu keberagaman yang ada bisa terungkap berdasarkan pengalaman langsung dari berbagai umat beragama.

Pdt. Welly Reppy jemaat Gereja Advent Hari Ketujuh (GAMHK) Kota Gorontalo bercerita pengalaman keberagamaannya. Pernah ia sampaikan kepada pemerintah Kota Gorontalo bahwa, jika orang Kristen di Gorontalo meninggal harus melapor dahulu dan menyiapkan uang sekitar Rp. 20 juta.

“Kurangnya lokasi pemakaman untuk kami umat Kristen di Kota Gorontalo yang menjadi kendala. Kemudian di Indonesia Gereja Sinode telah berdiri 324, khususnya di Kota Gorontalo yang harus terbangun adalah 28 gereja, namun saat ini baru ada 14,” ucapnya.

Dengan kondisi jumlah rumah ibadah umat Kristen yang masih kurang tersebut, sambung Reppy sapaan akrabnya, pihaknya melaksanakan ibadah malam di perumahan. Kemudian tempat ibadah tersebut berdekatan dengan masjid yang sering kali mengeraskan suara toa yang secara tidak langsung mengganggu proses ibadah.

“Yang menjadi permasalahan juga yakni persyaratan membangun gereja. Di Kota Gorontalo ada yang sudah memenuhi syarat, tapi sampai dengan hari ini belum diberikan izinnya. Akhirnya gereja tidak jadi dibangun, hanya gedung pertemuan saja, karena masalah izin tadi,” ungkapnya.

Sementara, Pandita Waluyo Dwi Asmoro selaku umat Buddha dan pengurus Yayasan Buddha Darma Indonesia Gorontalo (YBDI) bercerita tentang pengalamannya delapan tahun silam, tentang musafir dari kalangan umat muslim yang datang pada malam hari di Wihara saat sedang beribadah.

“Saat itu kita dipaksa untuk bersyahadat oleh beberapa oknum tersebut. Tapi kejadian tersebut sudah sangat lama, dan sekarang sudah tidak ada masalah yang serupa terjadi atau tindakan-tindakan yang menekan umat Buddha di Kota Gorontalo,” tutur Waluyo.

Selain itu, pihaknya juga sering bersosialisasi di masyarakat sekitar dan pihaknya juga sudah dikenal. Saat ini, menurutnya kondisi umat Buddha di Kota Gorontalo telah terjaga dengan baik dan tidak ada masalah yang berarti terjadi.

Juga dari pegiat komunitas berbagi bersama pada silaturahmi tersebut. Jenny perwakilan Binthe Pelangi Gorontalo menuturkan, beberapa individu yang ada perlu mengetahui tentang orientasi seksual itu dalam beragama. Seperti dirinya yang memiliki orientasi seksual yang berbeda namun hal tersebut tidak mempengaruhi kualitas pekerjaannya.

“Keberagaman gender yang ada ini adalah satu satu hal yang sudah ada sejak lahir, dan ini yang perlu diketahui oleh semua orang. Saya rasa ini yang perlu dipahami, dan jika kita sudah memahami itu, pasti keberagaman yang ada bisa kita jaga bersama,” imbuhnya.

Selain dari umat beragama dan pegiat komunitas, para perwakilan dari ormas Islam juga ikut berbagi pengalaman keberagamaan di Kota Gorontalo. Salah satunya Nanang dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Menurutnya, warga Gorontalo masih bisa menyambutnya dengan baik. Meski demikian tidak menutup kemungkinan ada beberapa pihak yang menerima, dalam hal ini belum mengetahui keberadaan pihaknya di tengah masyarakat Kota Gorontalo.

“Hanya saja, memang masih ada kelompok-kelompok yang intoleran dengan melihat agama dalam dimensi ritual. Padahal, soal ritual itu merupakan hubungan manusia dan Tuhan. Hubungan manusia dan manusia itu hanya dalam segi dimensi, sehingga kita harus saling menjaga satu salam lain. Memang banyak pemberitaan yang kerap menyudutkan kaum Ahmadiyah, dan itu sangat disayangkan,” ucapnya.

Nanang menambahkan agama harusnya memberikan kedamaian, bukan malah sebaliknya. Jadi harapannya dengan adanya pertemuan tersebut, secara bersama segenap unsur yang hadir dapat memahami bersama setiap agama mengajarkan kebaikan.

Di tempat yang sama perwakilan dari Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia, Muhtar Dama menyampaikan keadaan pihaknya di Kota Gorontalo dalam kondisi baik dan aman. Meski ada beberapa rekannya yang mengalami tindakan intoleransi, tapi menurutnya hal tersebut merupakan bagian dari perjuangan pihaknya dalam beragama.

“Menurut saya, semakin hari umat kita juga semakin cerdas, walaupun masih ada yang juga terus melakukan provokasi. Sebenarnya, orang-orang yang memprovokasi kita adalah orang yang sesungguhnya tidak mengetahui kita, karena selama ini banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang berulang yang sebenarnya sudah jelas informasi itu ada di berbagai platform informasi. Orang-orang yang memprovokasi kita hanya melihat dari segi ritual saja,” tuturnya.

Sementara, Ketua FKUB Kota Gorontalo KH. Burhanudin Umar berpendapat bahwa di Kota Gorontalo kondisi keberagamaan masih dalam tahap aman. Survei yang disebutkan pada 2017 silam haru dilihat dari segi keadaan.

Survei yang dilakukan menurutnya harus memahami situasi politik yang ada. Biasanya, ketika di tahun politik maka indikasi politik identitas akan meningkat.

“Selain itu, konflik internal yang terjadi di berbagai agama itu sering juga terjadi di islam, dan ini menjadi introspeksi diri kita dalam mencari solusi di intenal setiap agama yang ada,” ungkapnya.

Menurutnya, umat beragama yang hadir bersama perlu membentuk hidangan masakan bersama. Karena dalam masalah agama yang sering dipertentangkan yakni mengenai ritual, dan hal tersebut terjadi sejak dulu.

“Menurut saya, pendekatan dalam melihat agama harus melihat dari segi dimensi sosial. Semua manusia yang beragama, adalah anak-anak Tuhan, sehingga tidak ada bapak yang ingin anak-anaknya berkelahi,” Burhanudin menerangkan kepada para peserta.

Ketua MUI Kota Gorontalo, KH. Muin Mooduto mengatakan dari berbagai pengalaman yang dialami oleh umat lintas iman, bisa diketahui bahwa Kota Gorontalo masih dalam kondisi aman.

“Hanya saja, yang menjadi masalah yang kita hadapi sekarang adalah paham-paham baru yang bisa memicu konflik. Ini yang harusnya perlu kita perhatikan,” tandasnya.

Adapun Qodhi Kota Gorontalo, KH. Rasyid Kamaru mengingatkan falsafah kehidupan masyarakat Gorontalo yakni ‘Adat bersendikan sarah, sarah bersendikan kitabullah’. Salah satu hal yang perlu diingat, menurutnya dengan tetap berpegang pada ideologi Pancasila, karena Pancasila bisa mengakomodir semua agama yang ada di Indonesia.

“Inilah keistimewaan Indonesia. Apalagi, setiap agama, ada tatak ramah-nya, dan itu semua mengajarkan kita kebaikan,” ucapnya.

“Selain itu, kearifal lokal yang ada di Indonesia yang harus terus dijaga karena hal tersebut menjadi salah satu indikator kita masih menjaga satu sama lain. Fanatisme agama harus dibuang jauh-jauh, karena itu menjadi salah satu pemicu intoleransi. Saya berharap, Gorontalo tidak masuk dalam wilayah agama yang fanatik,” harapnya.

Adapun unsur pemerintah yang turut hadir yakni Kepala Kantor Kementerian Agama (Kakankemenag) Kota Gorontalo, Misnawaty S. Nuna mengapresiasi pertemuan yang diinisiasi oleh Jaringan GUSDURian, sebab hampir semua lembaga lintas iman bisa bertemu dan melakukan kolaborasi untuk menciptakan keberagaman dan inklusi sosial.

Semua dari pemeluk agama, ucapnya memiliki pengalam spiritual masing-masing dan menurutnya, itu bisa menjadi modal kita untuk memberikan contoh yang teladan dalam bertolerasi.

Di tempat yang sama, Kabag Kesra Pemerintah Kota Gorontalo Matris M. Lukum turut mengapresiasi kegiatan inisiasi Jaringan GUSDURian tersebut. Menurutnya, setiap persoalan yang ada harus dikaitkan dengan payung hukum yang ada. Dan terkait kerukunan agama di Kota Gorontalo masih terjaga dengan baik.

“Kami menggap forum ini adalah forum yang luar biasa, karena semua lembaga bisa hadir untuk membicarakan kondisi keagamaan yang ada. Kami tetap akan memberikan ruang yang sama kepada semua keberagamaan yang ada, karena kita memiliki visi untuk membangun daerah secara bersama-sama, tidak hanya satu golongan yang ada. Ini adalah Komitmen Pemerintah Kota Gorontalo,” jelas Matris.

Di akhir pertemuan tersebut, Pembina GUSDURian Gorontalo Jufrihard mengungkapkan bahwa di Gorontalo memiliki potensi konflik laten yang berbasis suku dan agama yang cukup tinggi, tapi dengan adanya kekuatan tradisi dan kearifan lokal sehingga hal tersebut bisa dibentengi.

Ada berbagai kasus keberagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Namun yang terungkap di publik masih sedikit. Inilah sebutnya Inklusi sosial yang terjadi di masyarakat, yakni sesuatu yang tidak muncul di permukaan.

“Perjumpaan-perjumpaan ini menjadi cara kami dalam merawat keberagamaan dan inklusi sosial. Karena, pengalaman beragama itu hanya bisa dipahami dengan cara berjumpa. Perjumpaan kita sesama manusia merupakan hal yang sangat berharga, karena dengan itu kita bisa saling memahami bersama,” tutup Jufri.

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.