Social Media

Seknas Jaringan GUSDURian Adakan Temu Kebangsaan bersama Tokoh Lintas Agama dan Tokoh Masyarakat di Banjarmasin

Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian hadir di Banjarmasin dalam rangka Temu Kebangsaan – Kolaborasi Lintas Agama untuk Merawat Keberagaman dan Inklusi Sosial. Kegiatan yang berlangsung pada Senin (21/11/2022) siang hingga sore hari ini bertempat di aula Vihara Dhammasoka, Banjarmasin.

Dalam sambutannya, Arief Budiman selaku Koordinator Komunitas GUSDURian Banjarmasin menyampaikan bahwa kegiatan ini dilakukan bukan hanya untuk bersilaturahmi, tetapi juga untuk melihat Banjarmasin yang sekarang.

“Di sini kami mencoba untuk menerapkan nilai-nilai keberagaman. Sebagaimana semboyan kami, beda dan setara,” ujar Arief.

Pandhita Sarwadharma Pangkusatya, selaku tuan rumah memberikan sambutan hangatnya dan menyampaikan bahwa Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian sebelumnya pernah bersilaturahmi ke tempatnya.

“Kami dengan senang hati menerima tamu di sini. Pertama (dulu) ada mbak Alissa, dan sekarang mas Mukhib. Semoga pertemuan ini mempererat pertemuan kita, mempererat NKRI,” ungkapnya.

Dalam pertemuan tersebut, Seknas Jaringan GUSDURian sendiri diwakili oleh Mukhibullah Ahmad yang mengungkapkan bahwa dirinya sudah sangat familiar dengan Banjarmasin.

“Saya dulu cukup lama di Banjarmasin. Sekitar dua minggu. Jadi saya tidak asing lagi dengan Banjarmasin”, ujar pria yang akrab disapa Mukhib tersebut.

Selain itu, ia juga menyampaikan tujuan dan maksud dari temu kebangsaan ini diadakan bersama para tokoh agama yang telah hadir dan berkumpul.

“Pertama, kami ingin mendiskusikan terkait situasi keagamaan di Banjarmasin, yang notabene memiliki banyak suku dan agama. Selanjutnya, melalui pertemuan ini, mungkin akan muncul inisiatif baru dan strategi baru. Dan yang terakhir, strategi baru itulah yang nantinya dapat membuat kita bergerak bersama-sama,” lanjutnya.

Berlangsungnya temu kebangsaan ini difasilitatori Yunizar Ramadhani, penggerak GUSDURian Banjarmasin, yang juga pengajar di Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri Martapura. Ia menyampaikan pola berlangsungnya kegiatan.

“Pertama kita akan mendiskusikan atau meng-update fenomena dan fakta apa saja yang dirasakan tentang keberagaman di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kemudian dilanjutkan untuk penerapan strategi apa yang bisa bersama-sama dilakukan untuk menanggulangi masalah. Terakhir, bersama-sama memunculkan rekomendasi-rekomendasi untuk/kepada kita sendiri dan pemerintah daerah,” ungkap Yunizar.

Kegiatan yang dihadiri sekitar 25 peserta yang terdiri dari berbagai tokoh lintas agama dan tokoh masyarakat ini mendiskusikan beragam fakta dan fenomena keberagaman di Banjarmasin. Beberapa menyinggung soal konflik yang pernah terjadi di Banjarmasin seperti Konflik Mei 1997, serta Konflik Sampit yang merupakan konflik limpahan dari daerah luar. Selain itu juga pengalaman personal tentang perbedaan di keluarga, pekerjaan, ataupun yang dibawa dari ruang maya.

Wahyudin, selaku perwakilan dari FKUB Kalimantan Selatan bidang pengkajian dan mediasi, yang juga Dosen di UIN Antasari, banyak menyampaikan paparan data soal keberagaman di Kalimantan Selatan yang selama ini masuk dalam riset penelitian di FKUB Kalimantan Selatan.

“Banjarmasin termasuk kota yang memiliki masyarakat plural, sehingga setiap masyarakat yang majemuk seperti ini mengandung risiko konflik,” ujarnya.

Ketua Magabudhi Kalimantan Selatan, Pandhita Tonny Winata, menyinggung pengalamannya sebagai saksi langsung Konflik Mei 1997.

“Konflik di Kalimantan Selatan ini kecil peluangnya. Kekerabatan di daerah ini lumayan bagus. Konflik cenderung terjadi kalau orang luar datang ke Kalsel membawa masalah. Contohnya Konflik Mei 1997. Posisi kami umat Buddha menjadi rawan ketika ada orang luar membawa konflik ke dalam. Beberapa tahun lalu ada yang membawa konflik Rohingya Myanmar. Sebetulnya itu bukan konflik agama, tetapi konflik suku,” ujarnya.

Pastor Vikjen Albertus Jamlean juga menyinggung soal Konflik Mei 1997. Ia mewakili keuskupan Banjarmasin dan tinggal di Banjarmasin sekitar 5 tahun. Menurutnya konflik yang terjadi pada tahun 1997 itu merupakan pengalaman yang menyedihkan, karena Gereja Kelayan menjadi sasaran.

“Saat itu, suster parokinya harus lari diselamatkan. Warga di sekitar gereja justru maju untuk menghadang para perusuh. Kalau dengar cerita itu, kita baru merasakan, maka yang dari akar rumput itu saling melindungi, bersaudara,” tuturnya.

Selain Konflik Mei 1997, soal Konflik Sampit juga mendapat respons dari Robby Ngaki yang merupakan perwakilan Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Selatan. Dia menjelaskan bahwa DAD dibentuk setelah adanya konflik Sampit tersebut. Pembentukan ini diharapkan agar tidak ada lagi konflik seperti di tahun 2001 silam.

“Setiap kegiatan yang diadakan oleh majelis DAD selalu melakukan doa lintas agama, dan memupuk agenda yang bisa mewujudkan keadilan kepada sesama, serta bertakwa,” terang Robby.

Latifah, salah seorang guru di Madrasah Aliyah Negeri 1 Banjarmasin, menyampaikan pengalamannya bersama para siswanya. Ia memaparkan adanya ketidaksesuaian antara teori (pemahaman) dan fakta (penerimaan) di kalangan siswanya.

“Para siswa paham dan mengerti apa yang diajarkan tentang toleransi dan moderasi, tetapi tetap belum sepenuhnya bisa menerima ketika melihat perayaan besar agama lain,” ujarnya.

Masih soal pendidikan yang juga disinggung Ismalia, perwakilan dari Komunitas Pelangi, Jaringan Perempuan Interfaith untuk Kesetaraan, Keadilan, dan Perdamaian. Menurutnya strategi memulai pembiasaan soal kesadaran keberagaman dimulai dari pendidikan keluarga. Dia menceritakan pengalamannya yang selalu menekankan ke anaknya bahwa perbedaan itu boleh. Ia melarang membicarakan masalah keyakinan yang berbeda dengan kawannya, karena takut terjadi konflik.

Anak Ismalia memiliki sepupu-sepupu yang beda agama. Si anak pernah mengatakan “Aku gak mau ah minum bekas kamu, beda agama, najis”.

“Anak kecil bisa dapat pengetahuan semacam itu, kok bisa? Maka madrasah pertama adalah ibu. Kita harus mendoktrin anak kita untuk menerima perbedaan, yang nanti akan dibawa ke pergaulannya. Dari yang kecil, nanti dibawa ke yang besar,” katanya menyudahi penyampaian.

Pastor Albert juga menjelaskan kondisi di masa sekarang yang setiap hari Selasa ada dakwah di samping halaman gereja. Ada ustaz-ustaz, tetapi tidak ada yang merasa terancam, dan mereka menghormati.

“Di SD Don Bosco, ada gadis muslim mengatakan sangat bersyukur sekolah di sana, sangat dihormati. Sesungguhnya Kalsel ini dalam hal kerukunan termasuk baik. Masalah datang dari luar. Maka dari itu penguatan internal perlu sekali,” katanya lagi menambahkan.

Perwakilan dari PGIW Kalimantan Selatan, Pendeta Akela dalam penyampaiannya melihat bagaimana media sosial yang begitu benar-benar luar biasa dampaknya. Tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Menurutnya, kebanyakan kita perlu membenahi lagi terkait kecerdasan literasi.

“Saya kuliah di FH alumnus tahun 1983. Setiap acara halal bi halal di FH, kami berdua yang Kristen main musik, kawan-kawan muslim nyanyi. Tidak ada yang mempermasalahkan agama. Tetapi akhir-akhir ini gara-gara situasi politik terjadi perpecahan. Pernah tersirat dalam pikiran saya untuk mengadakan penelitian pengaruh politik terhadap kerukunan beragama. Gara-gara pilihan politik, suami istri bisa jadi berpisah. Media sosial ini bisa sampai ke ruang tidur kita, ke dapur kita. Bagaimana kita menghentikan ini agar kita semua bisa memberikan solusi, khususnya kepada jamaah, agar di dalam setiap masalah apa pun kita selalu berhati-hati,” imbuhnya.

Khairul Anwar yang mewakili Jemaat Ahmadiyah Banjarmasin, menceritakan bagaimana mereka selalu mendapatkan undangan dari GUSDURian termasuk dari LK3 Banjarmasin.

“Di sini kami muslim Ahmadiyah sangat berkecimpung dengan adanya undangan-undangan seperti ini, sehingga kami terus mendapatkan kebaikan-kebaikan yang ada di bapak-bapak dan ibu-ibu semuanya. Ini pun merupakan landasan untuk kita bagaimana dapat menciptakan perdamaian dengan adanya perkumpulan ini,” ujarnya.

Ketua FPK Kota Banjarmasin, Gusti Kadarusman, menyampaikan saran untuk mendiskusikan fenomena keberagaman agar berfokus berdasarkan hasil riset saja yang dipresentasikan. Meskipun menurut Abdani Solihin, Direktur LK3, jejak pengalaman dari para peserta masing-masing juga sangat penting untuk menjadi rekomendasi menyikapi persoalan di Banjarmasin.

“Tidak mesti juga hanya berdasarkan riset. Kita ingin menggali hasil dari pikiran kita untuk membuat rekomendasi, karena pengalaman-pengalaman kita masing-masing saya pikir juga luar biasa,” ungkap Dani.

Paparan dari diskusi yang berlangsung sekitar tiga jam lamanya ini, menghasilkan beberapa strategi dan rekomendasi untuk bisa sama-sama menjadi tugas masing-masing. Adapun strategi dan rekomendasi dari hasil temu kebangsaan tersebut, di antaranya:

  1. Dengan dialog seperti ini, bisa dilakukan secara rutin dalam dua atau tiga bulan, agar isu-isu yang berkembang di masyarakat bisa kita angkat dan mencari solusi dengan dialog.
  2. Memperbanyak ruang perjumpaan antar yang berbeda, agama, suku dan yang lainnya. Situasi dalam pergelaran kebudayaan atau situasi-situasi lainnya.
  3. Dialog kehidupan terkait keberagaman dapat dimulai di akar rumput. Pembiasaan perjumpaan antar yang berbeda di masyarakat secara langsung.
  4. Mengadakan penyuluhan-penyuluhan atau pendidikan soal keberagaman di keluarga, di masing-masing tingkat sekolah-sekolah. Membiasakan mengadakan kegiatan, akan memberikan dampak penekanan atau pembiasaan.
  5. Memanfaatkan media sosial untuk menjadi wadah sosialisasi dari hasil-hasil dialog, perjumpaan, dan kegiatan yang dipenuhi nilai keberagaman.
  6. Tidak terhenti pada dialog keberagaman, tetapi berlanjut dengan kegiatan-kegiatan dan aksi-aksi nyata di keseharian.



Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan.