Social Media

Semua Bisa Kena!

Beberapa hari belakangan, media sosial ramai berseliweran terkait pengesahan RKUHP menjadi KUHP yang mengusung taglinesemua bisa kena”. Ada apa gerangan?

Dari beberapa cuitan, terutama di Twitter, para pengiat media ini mempermasalahkan kebebasan berpendapat dan lahirnya kekuasaan yang bersifat monarki, padahal negara ini adalah negara dengan sistem pemerintahan demokrasi yang menjunjung tinggi hak komunal (HAM).

Sedikit penjelasan bahwa KUHP ini adalah kristalisasi beberapa aturan materiil terkait perkara pidana yang mengatur pola dan tingkah laku kehidupan warga negara. Salah satu hal yang mengejutkan adalah pembahasan terkait RKUHP menjadi KUHP. Undang-undang ini terkesan tertutup dari publik sehingga menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, khususnya para pemerhati hukum.

Menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof. Dr. Edward Omar Sharif, ada sekitar empat belas materi yang diinventarisir yang menimbulkan kontroversi. Salah satu pasal yang kontroversial yakni Pasal 218 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan”.

Pasal tersebut menjadi pelik mengingat kebebasan kita dalam menyampaikan kritik ataupun pendapat terkait kebijakan pemerintah di muka umum menjadi terbatas. Kita tidak lagi bebas dalam menyuarakan pendapat dan keresahan, sebab puncaknya adalah pidana. Pasal tersebut juga berkelindan dengan pidana terkait IT, dalam hal ini berkaitan dengan penggunaan media sosial.

Hal tersebut termaktub dalam Pasal 219 dan Pasal 352 terkait penyebaran berita atau konten yang berbau penghinaan terhadap aparat negara atau kekuasaan umum yang akan dipidana penjara paling lama 2 tahun (352) dan pidana penjara 4 tahun 6 bulan (219) (Narasi, 2022). Juga ada beberapa pasal terkait penyebaran ajaran yang bertentangan dengan Pancasila. Padahal siapa yang berhak menentukan ajaran tersebut bertentangan atau tidak? Pancasila bersifat multitafsir, sehingga setiap warga negara berhak untuk menafsirkannya sesuai dengan apa yang mereka pahami.

Beberapa poin di atas tentu mengingatkan kita akan sistem pemerintahan Orde Baru. Bedanya dengan konteks hari ini yakni “otoritariansime berkedok demokrasi”. Lantas apa sikap kita? Apakah kita hanya ongkang-ongkang kaki meratapi nasib kita yang dikriminalisasi pemerintah melalui aturan yang ada?

Sekiranya cara dan sikap Gus Dur dalam merespons problem seperti ini harus kita adopsi untuk menjawab dan memberikan solusi terhadap polemik yang terjadi. Nilai-nilai kekesatriaan Gus Dur patut untuk kita pegang, melihat bagaimana Gus Dur dulu melawan tindakan kriminalisasi dengan tanpa pandang bulu.

Gus Dur melakukan hal tersebut tanpa tawar-menawar politik dan murni demi kepentingan rakyat. Hal ini dapat dilakukan dengan menyatukan visi dan gerakan yang memiliki orientasi yang sama dan harus dilakukan oleh kelompok sipil dengan berpegang teguh pada prinsip demokrasi, yakni kedaulatan negara ada di tangan rakyat.

Sering kali nilai demokrasi hilang akibat adanya “win-win solution” dengan menawarkan berbagai janji politik praktis sehingga masalah bisa terselesaikan dengan cepat. Penulis beranggapan bahwa polemik terkait KUHP ini harus menjadi perhatian publik agar kelak tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, sebab tentu tindakan preventif lebih baik ketimbang tindakan represif. Maka dari itu sekiranya masih dimungkinkan adanya judicial review atau pembahasan ulang naskah akademik berkaitan dengan KUHP yang beberapa isinya sangat kontroversial.

Mengkritik kebijakan publik (public policy) adalah hal yang wajar, sebab hak kita sebagai warga negara telah kita wakilkan kepada pemangku kebijakan yang dilegitimasi oleh undang-undang melalui pemilihan umum. Maka dari itu, jika ada kebijakan atau aturan yang mengkerdilkan masyarakat sipil maka sudah sepantasnya kita perbaiki bersama demi tercapainya harapan yang terkandung di dalam Pancasila.

Presiden adalah jabatan bukan manusia. Yang dituntut oleh publik adalah fungsi jabatan, bukan kepada siapa yang memangku jabatan. Kalau tidak mampu menjalankan amanah maka jangan ambil resiko, sebab jabatan dan manusia adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia ketatanegaraan. Semoga pemerintah masih ada i’tikad baik untuk memperbaiki polemik yang terjadi hari ini.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bone, Sulawesi Selatan.