Social Media

Soal Toleransi ‘Jangan Ajari Ikan Berenang di Air’

Sejarah mencatat bahwa masyarakat kita terbentuk dari hasil perjumpaan dari beragam latar belakang etnis, warna kulit, budaya, ideologi, dan keyakinan. Fondasi ini menjadi karakter dasar yang membentuk identitas kolektif kebangsaan.

Perjumpaan dan peralihan dengan beragam peradaban pun pernah terjadi, dalam konteks keragaman itu tak perlu ada yang diragukan. Jadi, secara historis sekali lagi DNA kultural kita sudah terbiasa dengan berbagai keragaman.

Pondasi keragaman ada pada kata yang hari ini dikenal dengan istilah ‘toleransi’ dengan segala macam pemaknaan yang muncul dalam konteks ruang dan waktu. Pemaknaan yang bisa jadi bersumber dari beragam gagasan seperti agama, budaya, ideologi, dan pengalaman hidup sebuah masyarakat.

Persoalan memberi makna dan mengekspresikan apa yang kita sebut dengan toleransi hari ini, menurut hemat saya menjadi salah satu sumber dari banyak ketidaktepatan dalam membaca dan menganalisis apa yang terjadi di tengah masyarakat terkait praktik kehidupan dalam konteks keragaman.

Praktik toleransi memiliki perjalanannya sendiri dalam kehidupan masyarakat, tak selamanya bisa diseragamkan karena ia berkaitan dengan kondisi sosio-kultural. Oleh karena itu, agaknya, tak arif dan tak bijaksana kalau melihat praktik toleransi dalam satu wilayah atau daerah menggunakan kacamata luar yang tidak memahami bagaimana toleransi itu hidup dan tumbuh dalam masyarakat itu sendiri.

Seorang teman pegiat kerukunan di Aceh pernah suatu kali bercerita, “Siapa bilang di Aceh tidak toleran dengan umat agama lain? Yang bicara itu tidak paham Aceh, gak ngerti Aceh. Mereka hanya tahu Aceh dari media yang sudah bias.” Pernyataan tersebut bisa saja kita perdebatan dari sudut pandang yang lain soal toleransi, misalnya pakai standar toleransi yang dimaksud oleh negara, oleh ormas, oleh NGO dan begitu seterusnya. Artinya ada pemahaman tentang toleransi lain di luar standar itu, yaitu pemahaman toleransi yang hidup di tengah masyarakat.

Ada banyak wilayah di Indonesia yang masyarakatnya hidup dalam suasana keragaman, apa yang disebut dengan kearifan lokal sebagai pondasi dari keragaman tersebut adalah nilai yang diekstraksi dari pengalaman panjang masyarakat terkait perbedaan. Jadi, toleransi itu sudah menjadi DNA masyarakat Indonesia. Coba sebutkan satu wilayah saja yang tidak pernah bersentuhan dengan keragaman? Kalau boleh dibilang tidak ada. Lantas di mana masalahnya? Kenapa sepertinya bangsa ini darurat toleransi? Di sini pangkal soalnya.

Benturan Pembentukan Nilai Publik 

Salah satu argumentasi yang ingin saya uraikan untuk menjawab pangkal soal toleransi adalah tentang consensus nilai-nilai publik yang masih terjadi benturan. Saya ingin memulainya dengan ilustrasi begini. Misalnya teman saya, sebut saja namanya RT, ia santri tulen, berasal dari Jawa, ketika merantau ke Medan, ia memilih tinggal di kawasan perumahan orang Jawa, bukan di kawasan perumahan orang Batak, Cina, atau kelompok masyarakat lainnya yang berbeda. Alasannya bukan soal anti ini itu, tapi soal budaya yang tidak sama. Jika ia tinggal di kawasan perumahan orang Batak ia tidak bisa beradaptasi dengan tradisi orang Batak yang, sebut saja misalnya, kalau bicara dengan suara lantang, belum lagi soal peliharaan hewan yang bagi seorang santri mungkin najis dan begitu seterusnya. Dalam konteks ini apakah sahabat saya itu bisa kita sebut eksklusif?

Konon eksklusivitas adalah bibit awal dari praktik intoleransi. Kasus lain mungkin menarik tentang kos-kosan khusus muslim, perumahan khusus muslim dan sejenisnya, apakah ini gejala eksklusivitas? Padahal ini bisa jadi soal benturan kebiasaan hidup saja, seperti halnya analogi kasus teman saya tadi. Apakah Anda cocok tinggal di perumahan yang mayoritas Tionghoa dengan segala macam ekspresi kebudayaannya? Beberapa kasus bisa jadi cocok, tapi secara umum menurut saya akan terjadi benturan karena persoalan nilai-nilai publik bersama yang belum ada formulasinya.

Konon kata teman saya yang tinggal di Eropa, kalau Anda masak sesuatu yang baunya terhirup sampai ke rumah tetangga Anda dan itu tidak disukai, atau dari rumah Anda mengeluarkan suara bunyian atau musik yang keras sampai tetangga Anda terganggu, maka akan sangat mungkin kediaman Anda diketuk oleh petugas keamanan. Dari cerita itu, saya menangkap ada nilai publik bersama yang disepakati tentang hal-hal bersama di ruang publik, suatu nilai yang di masyarakat kita masih belum ketemu formulasinya. Kalau mau disebut contoh kasus lain yang menarik adalah soal pengeras suara di rumah ibadah. Apakah ketidaksetujuan soal gangguan suara itu bisa kita sebut intoleran? Siapa toleran ke siapa dan seperti apa bentuknya ini jelas tidak mudah untuk ditentukan.

Soal toleransi erat kaitannya dengan logika mayoritas versus minoritas. Posisi ini menentukan bentuk dan praktik toleransi. Pembentukan nilai-nilai publik bersama sangat dipengaruhi oleh sudut pandang ini bahkan tradisi dan konstruksi masyarakat selalu bergerak atas dorongan mayoritas versus minoritas. Oleh sebab itu, nilai-nilai publik yang dapat mengakomodir semua nilai yang berbeda kemudian terbentuk nilai bersama bukan hal yang instan, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan masyarakat yang cepat, perjumpaan dan benturan nilai yang terjadi secara terus menerus dan tenggelamnya DNA kultural tentang historitas keragaman maka akan semakin menajamkan praktik intoleransi dari berbagai versi. Kenapa dari berbagai versi? Untuk hal ini saja kita masih belum banyak sepakat, bukan? Menurut pemerintah toleransi itu begini, menurut ormas A begini, menurut ormas B begitu, dan seterusnya.

Toleransi Buttom Up, bukan Top Down

Nalar toleransi kita sudah sedemikian ruwet akibat dari benturan berbagai nilai yang dianut dan diekspresikan oleh masyarakat. Hemat saya, saat ini yang terjadi adalah toleransi yang sifatnya top down, yakni konsepsi dan pemahaman yang dibangun oleh pemerintah dengan segala macam indikatornya. Sesuatu yang di Jakarta dianggap itu adalah nilai toleransi, tapi di wilayah lain bisa jadi itu tidak dianggap toleransi. Artinya, toleransi itu bergantung pada bagaimana masyarakat tersebut memahami dan mempraktikkannya terkait ekspresi keragamannya.

Bagi saya, kesadaran tentang toleransi di masyarakat kita sejatinya selalu ada karena ia senantiasa berkaitan dengan nafas kultural baik secara historis maupun relasi sosial hari ini. Hanya saja ketika ia bersentuhan dengan aspek lain, apakah itu politik, ekonomi, dan ideologi menjadi agak berbeda, tapi sekali lagi varian ini sejatinya tidak banyak, jadi tidak perlu dibesar-besarkan, persentase yang toleran lebih dominan daripada yang intoleran, kan?

Saya menganggap bahwa praktik dan pemahaman tentang toleransi yang ada di masyarakat akan terus berkembang seiring tingginya persentuhan dan pengalaman masyarakat itu sendiri tanpa harus didikte oleh kekuasaan dalam hal memahami apa itu toleransi dan intoleran. Hanya dengan memahami keragaman pemahaman dan praktik toleransi  yang ada di tengah masyarakat, kita tidak salah mendiagnosis masalah dan memahami realitas yang terjadi. Secara substansi pemaknaan toleransi bisa ditemukan benang merah kesamaannya, tapi secara praktik bisa jadi berbeda. Jadi sekali lagi dalam hal toleransi sejatinya negara tak perlu mengajari ikan berenang di air lagi.

_____________

Artikel ini adalah hasil kerja sama arrahim.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Dosen Universitas Pembangunan Pancabudi Medan dan Founder WeRead.