“Jadi, apa yang membuat bapak ibu bangga menjadi orang Poso?” Pertanyaan itu saya lontarkan kepada belasan pemuka agama di pinggir Danau Poso di Tentena. Institute Mosintuwu menjadi tuan rumah untuk diskusi menggali nilai-nilai kearifan masyarakat Poso itu, bagian dari serial kegiatan senada yang dilakukan Jaringan GUSDURian di berbagai kota.
Para pemuka agama di Poso lalu berbagi cerita tentang tuwu-malinuwu (saling menghidupi), tuwu siwagi (saling menopang), sintuwu maroso (bekerja bersama agar menjadi kuat) sebagai tradisi To Poso (orang Poso).
Lain kali, saya bertandang ke sebuah desa di Sawangan, Muntilan. Keuskupan Agung Semarang sedang menyelenggarakan peringatan Pentakosta. Acara festival budaya diselenggarakan di halaman bersama dari gereja dan masjid yang bersebelahan, dimulai selepas ibadah tarawih. Warga desa berbaur. Wilayah Kedu memang cukup sering menyelenggarakan acara-acara budaya, cangkrukan bersama, bergembira sambil membicarakan berbagai hal penting.
Minggu lalu, gerakan Kerja Bhakti Demi Negeri menyelenggarakan buka puasa bersama di aula Katedral Jakarta. Kegiatan ini digagas seminggu sebelumnya, saat beberapa komunitas berkumpul membicarakan apa yang bisa dilakukan untuk kebaikan Indonesia. Ditargetkan, ada 100 orang yang hadir di Katedral. Ternyata hampir 300 orang hadir, sebagian besarnya Muslim.
Mereka antusias, karena sudah menunggu inisiatif terbuka semacam ini, dengan alasan yang sama: ingin sedikit mengobati luka hati akibat terorisme Surabaya. Welas asih, kerja bakti, dan solidaritas menjadi semangat yang menonjol dalam acara ini.
Banyak inisiatif semacam ini bermunculan sejak gejala intoleransi makin menguat. Semua inisiatif ini, diniatkan atau tidak, menggali kembali nilai-nilai keindonesiaan kita. Kerja bakti, gotong royong, solidaritas, kemanusiaan, dan berbagai nilai lainnya, muncul kembali walaupun masih berlangsung secara sporadis.
”Jadi, apakah nilai-nilai tuwu suwagi ini masih dominan dalam kehidupan sehari-hari?” pertanyaan berikutnya. Para pemuka agama agak gamang. Seperti juga kegamangan kita tentang pengalaman keseharian kita dengan nilai-nilai Pancasila.
Setiap komunitas, setiap sistem kehidupan pasti memiliki nilai-nilai yang melandasi sistem itu. Nilai-nilai ini bersifat dinamis mengikuti proses balancing dan reinforcing dalam sistem tersebut, demikian teori Peter Senge dari MIT. Perubahan ini dapat terjadi secara signifikan dalam waktu singkat, atau secara gradual dan dalam waktu panjang.
Semakin muda kelompok usia, semakin besar persentase sikap intoleran kepada kelompok yang berbeda. Ini adalah hasil riset INFID dan GUSDURian di enam kota Indonesia pada akhir 2016. Dibandingkan dengan riset pada 2006, persentase masyarakat yang membolehkan kekerasan untuk menangani kelompok sesat meningkat pada 2011, demikian riset Lingkaran Survei Indonesia pada 2011. CSIS (2012) menemukan 33,7 persen responden keberatan memiliki tetangga berbeda agama. Demikian beberapa nilai yang kita lihat bergeser dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Pergeseran nilai ini merupakan konsekuensi dari terbukanya ruang yang setara untuk bergerak bagi semua orang. Kelompok-kelompok yang siap dan terorganisasi, tentu memiliki pengaruh yang lebih besar dalam membentuk nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Saat ini, secara global maupun lokal Indonesia, kelompok-kelompok eksklusivisme telah berhasil menggeser nilai-nilai hidup bersama yang inklusif menjadi nilai superioritas kelompok, purifikasi kelompok, mayoritarianisme, intoleransi, dan seterusnya.
Perubahan nilai dari inklusif menjadi eksklusif alias menolak kehadiran semua di luar kelompoknya secara setara telah berlangsung lama. Karena sifatnya yang tidak violent, perubahan ini tidak dianggap sebagai ancaman, sampai saat perubahan itu menjadi dominan.
Pertanyaannya, apa yang akan kita lakukan? Bisakah kita melakukan restorasi nilai-nilai lama kita yang mengikat sebagai bangsa? Bisakah superioritas kita kembalikan kepada kesetaraan warga, menang-menangan menjadi kerja sama, kerja kelompok menjadi kerja bakti, sikap berjarak menjadi sikap merangkul, sikap intoleran menjadi sikap toleran?
Beberapa tahun lalu, serombongan umat gereja di Bekasi melakukan ibadah di tenda darurat, dan di seberang jalan, sekelompok orang memasang soundsystem keras dan memutar lagu-lagu agama lain. Atas nama mayoritarianisme, mereka menolak pendirian gereja tersebut. Akhirnya sekarang jemaat pun bubar, yang tersisa beribadah di seberang Istana dari waktu ke waktu.
Di Sawangan tiga minggu lalu, anak-anak gereja mempersiapkan takjil buka puasa, akan diserahkan kepada jemaah masjid di sebelah gereja. Tetapi, sampai hari gelap, tak kunjung ada suara azan. Usut punya usut, ternyata takmir memilih untuk tidak menggunakan soundsystem luar saat azan maghrib, karena mereka menghormati gereja yang sedang punya gawe. Saling respek, saling menjaga, tanpa sekat.
Mana yang ingin kita kuatkan? Pertanyaan bodoh. Pertanyaan yang sedikit lebih pintar: bagaimana kita menguatkan nilai-nilai luhur seperti ini? Di sinilah peran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kita harapkan. Tentu setelah mereka menyelesaikan soal hak keuangan.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 10 Juni 2018)
Sumber: kompas.id