Tema Haul Gus Dur ke-10 adalah “Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan”. Tema ini tidak hanya digunakan pada acara Haul Gus Dur yang diadakan di Ciganjur, tapi juga menjadi tema dari berbagai acara haul yang diadakan oleh ratusan komunitas GUSDURian di seluruh penjuru Indonesia. Haul Gus Dur yang diadakan oleh GERDU Suroboyo, komunitas GUSDURian Surabaya, juga mengambil tema ini.
Di acara yang dilaksanakan di Gedung Balai Pemuda Kota Surabaya, Jum’at, 17 Januari 2020, ini menghadirkan beberapa tokoh/ budayawan, antara lain: D. Zawawi Imron, M. Faizi, Kalis Mardiasih, Hakim Jayli, dan Ahmad Inung (itu adalah saya). Tentu saja nama terakhir itu bukan siapa-siapa. Karena bukan siapa-siapa, maka saya tidak akan menyampaikan orasi budaya, karena saya bukan budayawan. Saya hanya akan meroasting para budayawan, sebagaimana yang tersirat pada judul di atas.
Kalis Mardiasih
Kalis Mardiasih adalah penulis muda yang saat ini sedang naik daun. Dia baru saja melangsungkan pernikahan. Jadi, dia sekarang kategorinya adalah pengantin baru. Keberhasilan tertinggi dalam hidupnya ya menikah itu, karena dia bisa meng-NU-kan suaminya melalui pendekatan perkawinan.
Setelah menikah, status-status FB-nya dipenuhi dengan pamer kemiskinan sebagai pasangan baru. Salah satu statusnya adalah dia harus banyak menjual buku karena hasilnya mau dibuat untuk membeli karpet. Langsung banyak pembaca fb-nya yang jatuh iba.
Ada salah satu status “pamer-kemiskinan”-nya yang sangat menyentuh. Dia pamer apa yang dia makan hari itu dengan suaminya, yaitu nasi, sambal korek, dan krupuk beras. Saking melonya sampai KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) memberi komen dengan nada penuh empati. Bayangkan, kiai sekaliber Gus Mus memberi komen status Kalis yang sedang pamer kemiskinan.
Saya pernah sowan ke Gus Mus bersama almarhum Lora Miming Annuqayyah Sumenep. Di depan Gus Mus, kami duduk bersimpuh mematung. Tidak ada yang berani membuka suara kecuali sekedar menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gus Mus. Lha ini, gara-gara status Kalis, Gus Mus sampai harus memberi komen tentang sambel korek.
Saya lama-lama terpengaruh juga. Saya hubungi Heru Prasetia, koordinator tim media Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian. Bisa dikatakan, Heru Prasetia adalah “guru” tim Gembus (sebutan anak-anak muda yang aktif di Seknas GUSDURian), di mana salah satu anggotanya adalah Kalis. Saya bertanya ke Heru, apa benar Kalis sedang dalam himpitan ekonomi. Heru menjawab:
“Jangan percaya. Dia itu jadwal ngamenya 35 kali dalam sebulan. Tulisannya bertebaran di mana-mana. Dia sekarang sedang jualan buku melalui perusahannya bernama Akal Buku. Buku-buku yang dijualnya terjual laris manis di pasaran karena pendekatannya sangat agresif, bahkan cenderung intimidatif, kayak Danramil era Orde Baru. Menurut pengakuan Kalis sendiri, saking larisnya buku-buku yang dijual Akal Buku sampai kantor Akal Buku sekarang mirip pabrik teh celup.”
Intinya, Kalis sekarang sudah sukses. Kesuksesan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari didikan si Buya Heru, begitu panggilan akrab Heru Prasetia ini. Dalam mendidik tim Gembus, Heru memanfaatkan skala likert: jelek-lumayan-baik. Kalau salah seorang tim Gembus membuat tulisan, kemudian disodorokan ke Heru, respon pertamanya adalah: “Tulisan apa ini, jelek saja belum.” Setelah direvisi dan disodorkan kembali kepadanya, dan Heru merasa bahwa tulisan itu sudah layak terbit, Heru akan merespon dengan kalimat seperti ini: “Sudah jelek, jadi silahkan dimuat.”
Berkat didikan yang tidak pernah ada pujian itu, saat ini Kalis menjadi penulis hebat yang sangat diakui secara nasional. Buku terbarunya yang berjudul “Perempan, Mengapa Dipersoalkan?” akan diterbitkan oleh Qanita, grup penerbit Mizan. Kalau sudah terbit, alamat kita akan mendapatkan pesan-pesan intimidatif agar segera membeli bukunya.
Kalau tidak segera memesan bukunya, alamat kita akan dipermalukan di wall FB-nya di mana apapun status yang ditulisnya akan direspon riuh rendah oleh para pengagumnya. Janganan saya, pejabat Ombudsman RI (A. Suaedy) dan Komisioner Komnas HAM (Beka Ulung Hapsara) saja dipermalukan gara-gara tidak mengirim sumbangan saat resepsi pernikahannya.
Hakim Jayli
Hakim Jayli adalah direktur TV9 Nusantara. Dia saat ini berjibaku untuk membuktikan diri sebagai ayah yang baik di depan anaknya. Salah satu caranya adalah menjawab semua pertanyaan yang diajukan sang putra. Saat ini anaknya sudah kelas 2 SMP.
Ada cerita tentang Hakim dan anaknya. Dulu saat si anak masih TK, anaknya bertanya ke Hakim, “Yah, burung garuda itu laki apa perempuan?” Ini pertanyaan menggelitik. Anak yang bertanya seperti ini ada dua kemungkinan: kritis atau nggledis. Kenapa nggledis, karena yang ditanya kok tentang jenis kelamin.
Hakim yang sangat ingin menjaga citra dirinya sebagai ayah teladan berusaha keras untuk menjawab. Tapi, apa jawabannya? Tidak mungkin menjawab, “tidak tahu” karena itu pasti mengecewakan si anak, dan melunturkan kekaguman si anak kepada ayahnya yang kadung terbangun.
Setelah berpikir keras, akhirnya Hakim menjawab dengan penuh keyakinan, “Burung garuda itu perempuan nak.” Si anak langsung bertanya lagi, “Kok ayah tahu?”. Dengan penuh wibawa, Hakim menjelaskan, “Kamu lihat tulisan di pita yang terentang di kaki burung garuda? Itu adalah “Bhinneka Tunggal Ika”. Tulisan “Bhinneka” itu memakai BH, jadi itu menunjukkan perempuan. Kalau “Binneka” tidak pakai BH, itu berarti gurung garuda adalah laki-laki”.
Kekaguman si anak pada ayahnya membumbung sampai langit ke tujuh. Bayangkan apa yang terjadi besoknya di sekolah. Si anak pamer ilmu kepada gurunya. “Bu, menurut ayah, burung garuda itu itu laki-laki.” Dengan lembut Bu Guru bertanya, “Bagus, tapi dari mana ayahmu tahu?” Si anak kemudian menjelaskan persis penjelasan ayahnya, Intinya adalah soal memakai BH atau tidak.
Besoknya Hakim Jaily diundang Ibu guru ke sekolah dan dinasehati cara mendidik anak agar ber-akhlaqul karimah.
Tapi kisah yang paling tragis dari Hakim Jayli justru adalah posisinya sebagai direktur TV9. Suatu hari, si anak dengan suara memelas berkata kepada Hakim, “Yah, besok kalau besar aku tidak mau jadi direktur.” Tentu saja Hakim kaget. Dia bertanya ke anaknya mengapa tidak mau menjadi direktur. Si anak menjawab, “karena menjadi direktur itu jarang pulang dan tidak punya uang.”
Hakim mestinya mengambil pelajaran dari saya. Saya ketika menjadi direktur CMARs, ekonomi saya dedel duel. Akhirnya posisi direktur saya limpahkan ke M. Iqbal (salah seorang aktivis GUSDURian Surabaya). Dan terbukti, saat itu juga kondisi keuangan Iqbal morat-marit.
M. Faizi
Kalau ingin mengetahui sosok sastrawan-pesantren sekaligus seorang kiai, maka M. Faizi adalah orang yang tepat. Dia seorang putra kiai dari pesantren terbesar di Sumenep, Annuqayyah, Guluk-guluk. Semenjak ayahnya wafat, dia menggantikan posisi ayahnya sebagai kiai yang mengajar ngaji santri-santrinya.
Sebagai sastrawan, dia menerbitkan puisinya kali pertama saat usianya 19 tahun di sebuah harian nasional. Sejak saat itu, puisi-puisinya lahir mengiringi pengembaraan jiwanya. Di tahun 2008, dia diundang panitia festival sastra internasional yang sangat bergengsi, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) untuk membacakan puisi-puisinya. Di 2011, dia juga diundang panitia Jakarta Berlin Arts Festival, di Berlin, Jerman. Sebuah capaian yang sangat membanggakan.
Memang dia tidak sepiawai Tohpati dalam memetik gitar, tapi jemarinya sangat lincah memainkan dawai alat musik yang biasa dimainkan salah satu dewa gitar dunia, Joe Satriani. Selera musiknya adalah metal. Betul-betul cadas. Beberapa lagu bahkan pernah digubahnya.
Sekalipun demikian, pakaiannya sama sekali tidak menunjukkan anak metal. Kemana-mana selalau memaki sarung yang bagian bawahnya terus terangkat karena bergaya spiral.
Itu adalah sisi hidupnya yang sungguh mengesankan. Tapi ada bagian hidupnya yang lebih mengesankan, terutama menyangkut mobil. Sehari-harinya, dia menggunakan sepeda mini. Kalau bepergian agak jauh, tapi masih di dalam kota, dia akan menggunakan mobil kebanggaannya, yaitu colt T tahun 70-an. Yang unik dari colt ini terletak pada klaksonnya. Klaksonnya berupa toa kecil yang dipasang di atas mobil. Kalau mau melewati orang atau sekelompok orang atau mendahului, toa itu berbunyi, “”Assalamualaikum… numpang lewat,” yang berasal dari suara pemiliknya sendiri. Kalau sudah diberi jalan, toa itu berbunyi “mator sakalangkong.”
Zawawi Imron
Saya sebetulnya agak ragu-ragu me-roasting tokoh yang satu ini. Takut kuwalat. Tapi karena ini adalah sesi roasting, maka skenario harus tetap kita lanjutkan.
Semua orang sudah tahu siapa D. Zawawi Imron. Di adalah seorang kiai sekaligus salah satu sastrawan besar Indonesia saat ini. Puisinya bertebaran di mana-mana. Sastrawan yang dijuluki “si Celurit Emas” ini memiliki suara lantang saat membacakan puisi-puisinya.
Pada 2012 dia menerima penghargaan “The S.E.A Write Award” di Bangkok Thailand, The S.E.A. Write Award adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan Thailand untuk para penulis di kawasan ASEAN. Pada 2018 menerima penghargaan sebagai tokoh yang berjasa di bidang kebudayaan dalam acara Kongres Kebudayaan Indonesia, Kemendikbud. Penghargaan ini diserahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Setelah menamatkan Sekolah Rakyat (setingkat SD), dia melanjutkan pendidikannya di pesantren. Nah di sinilah sebetulnya rahasianya. Mengapa dia hanya lulus SR, itu karena selalu gagal dalam menjawab soal ujian terutama terkait dengan nama pahlawan. Di salah satu puisinya yang sangat terkenal, “Ibu” dia menulis, “Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan, namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu.”
Jadi bayangkan, ketika di lembar ujian ada pertanyaan, “siapa nama pahlawan kemerdekaan”, dia menjawab: Ibu, Ir, soekarno, Jenderal Soedirman, dll.”. Ketika ada soal, “sebutkan nama pahlawan revolusi”, dia menulis di lembar jawaban: Ibu, Jenderal A. Yani, Letjend S. Parman, dll.”
Karena itulah dia selalu tidak lulus ujian. Soal-soal ujian seperti itulah yang selalu muncul di masa Orde Baru.
Sumber: Alif.Id