Intoleransi dan Kelas Sosial

Tadi malam saya posting “pertanyaan dalam hati”. Mungkin karena ilustrasinya kurang pas, beberapa orang bertanya: loh apa hubungannya tinggal di perumahan mewah dan intoleransi?

Tetapi karena pertanyaan ini pula saya justru menemukan inti permasalahannya: bagi banyak orang, intoleransi tidak ada hubungannya dengan kelas sosial.

Selama ini wacana mengenai intoleransi selalu dipahami dalam kerangka hak asasi. Semua orang, apalagi kalau dia jelas adalah warga negara, berhak mendapatkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Apapun kelasnya, mau kaya atau miskin, harus mendapat perlindungan.

Pemahaman di atas tidak salah, tetapi baru separuh cerita. Kenapa?

Jawabnya jelas, karena kenyataannya manusia adalah bagian dari kelas sosial tertentu. Posisi ini sangat memengaruhi cara mereka memahami intoleransi.

Mengikutsertakan analisis kelas sosial dalam memahami intoleransi sangat dibutuhkan. Hanya dengan ini kita bisa mengerti mengapa bagi sekelompok orang wacana mengenai intoleransi terasa sangat elitis. Wacana ini tidak menyentuh kebutuhan hidup kongkret mereka sehari-hari yang masih harus berjuang demi sesuap nasi atau bagaimana caranya mendapatkan uang lebih untuk mengganti sepatu anaknya yang susah jebol.

Tentu saja harus tetap ditekankan bahwa intoleransi juga bukan sekadar masalah kelas sosial. Sejak melakukan penelitian mengenai komunitas Ahmadiyah di pedesaan Cianjur pada tahun 2007, saya telah berpendapat bahwa intoleransi terjadi karena adanya pelembagaan nilai-nilai yang salah. Saya menunjukkan bahwa baik anggota Ahmadiyah maupun para penyerangnya berasal dari kelas sosial yang sama. Lalu mengapa mereka bermusuhan?

Salah satu jawabannya adalah karena ada persepsi bahwa komunitas Ahmadiyah hidup lebih makmur daripada penduduk lainnya. Persepsi yang keliru ini berkembang pesat di tengah masyarakat yang timpang secara ekonomi. Kecemburuan membuat mereka kehilangan nalar.

Meski demikian, di tempat lain, kita juga tidak bisa tidak untuk mengakui bahwa ketimpangan ekonomi pararel dengan identitas etnis dan agama. Tidak jarang kita menjumpai gereja besar berdiri di antara pemukiman muslim yang miskin. Sebaliknya, di wilayah Timur kita juga tidak perlu heran jika menemukan masjid besar terletak di tengah perumahan Kristen yang miskin. Dan bukankah di dalam tradisi Islam ada etika bahwa masjid tidak boleh dibangun megah di tengan masyarak Islam yang miskin?

Sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah masalah intoleransi menyangkut dua aspek sekaligus: identitas dan kelas sosial. Jadi memahami masalah ini hanya melalui kerangka hak asasi, menurut saya, tidak produktif. Kita harus memahami secara normatif dan historis sekaligus.

Jangan lupa sejumlah elit kita cukup pintar dalam memahami, lalu memanfaatkan, masalah ini. Mereka justru mempermainkannya, seolah-olah mendukung gerakan toleransi, supaya publik lupa ancaman yang sesungguhnya: penjarahan sumber daya yang gila-gilaan sejak dulu hingga sekarang. Mereka menyerukan umat beragama saling berpegangan tangan, tetapi saat yang sama tangan mereka sendiri sibuk menjaga hartanya yang tidak akan habis tujuh turunan.

Sumber: Alif.Id

Peneliti di LIPI. Gelar sarjana didapat di UGM, jurusan sejarah. Masternya di bidang filsafat, STF Driyarkara, Jakarta.