Keterhentakan masyarakat dunia terhadap pandemi Covid-19 melahirkan banyak diskursus. Dunia kesehatan yang tiada henti meneliti dan berdiskusi mencari formulasi vaksin dan sederet upaya preventif dan kuratif.
Penyebaran yang cepat dan masif memaksa para pemimpin membuat kebijakan politik antara lock down, physical distancing atau social distancing. Semua pilihan kebijakan tersebut membawa dampak yang luar biasa di berbagai sektor kehidupan. Dunia ekonomi mengalami resesi, berkibat pada tutupnya banyak perusahaan dan lumpuhnya berbagai sektor usaha. Dunia pendidikan yang terpaksa tutup dan harus mengubah model pembelajaran tatap muka ke moda daring juga memunculkan banyak kegelisahan.
Relasi sosial kemasyarakatan dan ritual keagamaan juga mengalami “realitas baru”. Senyum pada saudara yang merupakan sedekah mulai tidak terlihat karena mulut tertutup masker. Bersalaman dengan saudara seiman yang dapat menggugurkan dosa pun juga dilarang karena ada kebijakan physical distancing. Mudik yang merupakan local wisdom dalam mengimplementasikan ajaran silaturahim secara resmi dilarang pemerintah. Salat berjamaah dan aktivitas ibadah yang mengundang banyak orang di masjid juga dilarang. Majelis taklim, majelis zikir, dan selawat yang selama ini banyak mewarnai negeri juga harus dihentikan.
Fenomena keberagamaan baru inilah yang banyak menimbulkan perdebatan, baik debat yang bersifat “utopis” maupun yang “logis”. Bahkan kesemrawutan situasi yang ditimbulkan oleh pandemi ini digiring ke wacana eskatologis. Mereka menilai bahwa pandemi ini merupakan tanda-tanda datangnya hari kiamat. Perseteruan argumentatif bukan hanya terjadi antara para “pakar sains” dan “pakar agama”, bahkan sesama pakar sains dan sesama pakar agama saling berebut kebenaran dalam memahami dan menyikapi pandemi Covid-19.
Kelompok yang pro-sains menilai masyarakat yang kurang mengindahkan himbauan pihak kesehatan karena tetap melaksanakan peribadatan di masjid sebagai bentuk “kesombongan beragama”, “kekonyolan beragama”, kelompok fatalistik dan tuduhan yang lain. Sebaliknya kelompok yang lain, menuduh masyarakat yang tetap di rumah saja dan tidak mau melaksanakan kegiatan di masjid sebagai bentuk lemah iman dan dinilai lebih takut pada virus Corona daripada takut pada Allah.
Di sisi lain, sesama pakar sains juga masih berdebat. Satu pihak mengatakan bahwa Covid-19 ini sangat berbahaya. Pihak yang yang lain mengatakan Covid-19 ini virus biasa sebagaimana virus influenza dan tidak perlu berlebihan menyikapinya. Begitu pula sesama pakar agama saling “adu dalil” untuk mendukung pilihan-pilihan sikapnya terhadap Covid-19.
Oleh karena itu, tulisan ini akan mendudukkan sains dalam konstruksi pengetahuan Islam dan berusaha untuk melakukan pembacaan yang komprehensif dan solutif terhadap fenomena pandemi Covid-19 perspektif spritualitas Islam. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi arogansi saling menunjukkan kesinisan antara para scientist dan kaum spritualist.
Posisi Sains dalam Konstruksi Pengetahuan Islam
Dalam pandangan Islam, semua ilmu berasal dari Allah. Sebagaimana firmanNya: “Mereka menjawab, Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami…”. (QS Al-Baqarah: 32). Bentuknya ada yang berupa ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an dan al-Hadits), dan ayat-ayat kauniyah (fenomena alam yang terbentang di langit dan di bumi). Karena sama-sama bersumber dari Dzat yang satu, maka keduanya tidak mungkin kontradiktif (dikotomik) melainkan integratif-interkonektif.
Kalau diperinci, pengetahuan yang dimiliki manusia menurut Prof. Ahmad Tafsir ada tiga kategori. Pertama, pengetahuan filosofis yang bersifat abstrak logis. Kedua, pengetahuan saintifik atau sains yang bersifat empirik logis. Ketiga, pengetahuan mistis yang bersifat abstrak supra-logis.
Lalu di mana posisi pengetahuan Islam dalam ketiga kategori pengetahuan tersebut? Kita lihat ternyata dalam ayat-ayat qauliyah terdapat dimensi filosofis, dimensi sains, dan dimensi mistik. Begitu pula dalam ayat-ayat kauniyah juga mengandung unsur filosofis, saintifik dan mistik. Sehingga pengetahuan Islam mencakup ketiga kategori tersebut. Kalau mau dipetakan lebih sederhana lagi, pengetahuan Islam meliputi dua dimensi, pertama yaitu dimensi nalar empirik-filosofis atau bisa juga dikategorikan sebagai “sains” dan yang kedua, adalah dimensi mistik yang supra-logis atau bisa disebut dengan “spritualitas”.
Implementasinya dalam kehidupan manusia tergambar pada pribadi muslim paripurna yang oleh Allah diistilahkan dengan “ulul albaab”. Karakter mereka diantaranya seperti yang difirmankan Allah SWT:
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari siksa neraka” (QS Ali ‘Imran: 191).
Seorang ulul albaab dalam menemukan kebenaran akan senantiasa menggunakan potensi spritualitasnya dengan media dzikir. Pada saat yang sama, dia juga menggunakan potensi saintifiknya dengan memikirkan fenomena alam semesta. Kedua potensi tersebut apabila dipadukan akan mengantarkan pada kesadaran transendental “…Rabbanâ mâ khalaqta hâdzâ bâthila subhânaka faqina ‘adzâbannâr” (Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari siksa neraka).
Dengan demikian untuk menyikapi fenonema pandemi Covid-19, sains harus terlibat dengan cara terus berihtiar untuk menemukan vaksin virus ini dan berbagai upaya logis yang bersifat preventif maupun kuratif. Upaya ini sesuai dengan prinsip sains, mengungkap materi yang masih tersembunyi. Tapi yang tidak boleh kita lupa, bahwa sains hanya bisa menjangkau sesuatu yang empirik (indrawi) dan sesuatu yang bisa dinalar (logis). Padahal dalam kehidupan banyak sekali sesuatu yang abstrak dan tidak bisa dinalar karena memang obyeknya supra-logis. Selain itu juga kebenaran sains bersifat probabilitas (mungkin benar-mungkin salah) alias tidak mutlak benarnya.
Makanya sains tidak boleh arogan, karena ia bukan satu-satunya perangkat untuk mengatasi seluruh problem termasuk pandemi Covid-19. Bahkan bisa jadi, pandemi yang tidak kunjung mereda ini merupakan “peringatan” pada manusia modern yang terlalu bangga dengan kekuatan sains, melupakan dimensi spritualitas.
Oleh karena itu, kita perlu menilik perspektif lain yakni spritualitas Islam di samping upaya sains yang sudah berjalan. Biarkan sains terus bekerja mengungkap fakta-fakta, sedangkan spritualitas akan bekerja menemukan makna-makna yang tidak terjangkau oleh sains.
Perspektif Spritualitas Islam
Islam mengajarkan konsep ikhtiar, misalnya firman Allah SWT: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS Al-Baqarah: 195).
Ayat tersebut mengandung pesan agar kita tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dan sebaliknya kita dianjurkan berbuat untuk sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Pesan ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW riwayat Imam Bukhori: “firra minal majdzumi kama tafirru minal asadi” (Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam (kusta), sebagaimana engkau lari dari singa).
Islam juga mengajarkan tawakkal, misalnya firman Allah SWT: “Katakanlah: ‘sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal” (QS At-Taubah: 51). Jadi musibah apa pun yang menimpa kita, itu sudah ditakdirkan Allah, oleh karenanya harus tawakkal.
Ayat yang lain juga menjelaskan: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh…” (QS An-Nisa’: 78). Kalau kita mau lari dari kematian dan pembunuhan, maka larinya kita tidak ada gunanya apabila sudah ditakdirkan mati.
Implementasi dua ajaran Islam tersebut yakni ikhtiar dan tawakkal, dipengaruhi oleh pandangan teologis seseorang. Orang yang menganut “Qodariyah” akan lebih mengutamakan ikhtiar daripada tawakkal, sebaliknya orang yang menganut “Jabariyah” (fatalisme) cenderung bertawakkal mengabaikan ikhtiar. Tapi bagi seseorang yang berakidah “Ahlussunnah Waljama’ah” akan menganut prinsip “at-Tawaazun” (keseimbangan) antara ikhtiar dan tawakkal. Keduanya harus berjalan beriringan.
Dalam ikhtiar, ada yang sifatnya dlohir dalam hal ini pendekatan saintifik, seperti vaksin (kalau sudah ada), mencuci tangan dengan anti septik atau sabun, memakai masker, social and physical distancing. Tapi ada juga ikhtiar yang bersifat batin dalam hal ini pendekatannya spritualitas, seperti berdoa (istighotsah) baik sendiri maupun bersama dan melakukan upaya-upaya penolak bala’ (bencana) sebagaimana banyak diterangkan oleh Nabi Muhammad SAW, di antaranya hadis riwayat Ibnu Asakir dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi, maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid”. Hadis ini menurut al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi, dalam al-Jami’ as-Shaghir, juz satu, derajatnya hasan (bagus).
Ketika dua bentuk ikhtiar (sains dan spritual) terlihat berseberangan, maka tidak boleh dibiarkan saling meniadakan. Misalnya, dengan pertimbangan sains para dokter menganjurkan untuk jaga jarak fisik dan menghindari kerumunan jangan lantas melarang orang beribadah ke masjid apalagi menuduh mereka yang nekat ke masjid sebagai orang yang “sombong dalam beragama”.
Yang seharusnya dilakukan adalah, biarkan orang-orang tetap ke masjid dan berdoa semoga pandemi cepat berlalu dengan tetap memenuhi standar kesehatan. Misalnya, memakai masker, cuci tangan terlebih dahulu, jaga jarak shaf dan untuk sementara tidak berjabat tangan.
Kalau ada yang masih menyoal, bukankah tidak ke masjid di masa pandemi seperti sekarang ini dibenarkan oleh dalil-dalil keagamaan? Maka perdebatannya menjadi panjang untuk diurai dalam tulisan ini. Karena mereka yang tetap meramaikan masjid karena merasa daerahnya masih aman (zona hijau di tingkat desa apalagi di tingkat kabupaten) juga memiliki sederet argumentasi fiqhiyah yang tidak kalah kuatnya.
Empat formula yang disampaikan KH. Ma’ruf Amin, wakil presiden RI dalam menghadapi pandemi Covid-19 sangat relevan untuk dijadikan penutup tulisan ini, karena dapat menggambarkan hubungan kolaboratif sains dan spritualitas Islam. Formula yang dimaksud adalah Iman, Imun, Aman, dan Amin. Dua formula, yakni imun dan aman mewakili dimensi sains. Dua formula berikutnya adalah iman dan amin merepresentasi dimensi spritualitas Islam.
Dengan iman, hendaknya kita bisa ikhlas dan bersabar serta tidak putus asa menghadapi musibah dari Allah. Dengan imun, kita bisa mencegah dan mengatasi virus yang menginfeksi, bisa dengan berolah raga, berjemur dan mengonsumsi makanan sehat. Aman, maksudnya mengikuti anjuran pemerintah untuk menjaga jarak dan menjaga kebersihan agar tidak tertular dan menularkan. Amin, maksudnya berdoa agar pandemi ini segera berlalu. Wallahu a’lam.
Sumber: nu.or.id