Mei 1971, Gus Dur Pulang Studi dari Timur Tengah dan Eropa

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pulang ke Tanah Air pada 4 Mei 1971 setelah menimba ilmu di Timur Tengah dan Eropa. Di Timur Tengah ia pernah belajar di Al-Azhar, Kairo, Mesir, kemudian Baghdad, Irak. Kemudian ia berusaha melanjutkan studinya ke Eropa.

Pada saat studi di Al-Azhar, Gus Dur berusia 25 tahunan. Ia berangkat dari Tanah Air pada bulan November 1963 atas beasiswa Departemen Agama RI. Namun, berdasarkan buku-buku yang meriwayatkan studinya, ia kecewa karena harus memulai dari pelajaran bahasa Arab yang telah ia kuasai di pesantren-pesantren Tanah Air.

“Gus Dur sebenarnya telah mempunya sertifikat yang menunjukkan bahwa ia telah lulus lulus yurisprudensi Islam, teologi, dan pokok-pokok pelajaran lain yang terkait, yang kesemuanya itu memerlukan pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik, namun sayangnya ia tak mempunya ijazah yang menunjukkan bahwa ia telah lulus kelas dasar bahasa Arab. Sebagai akibatnya ia dimasukkan ke kelas yang benar-benar pemula,” tulis Greg Barton dalam biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid.

Karena itulah, lanjut Greg, Gus Dur tak mengikuti kelas itu, malah menghabiskan waktu untuk menonton pertandingan sepak bola, membaca di perpustakaan-besar, dan menonton film-film Prancis, dan mengikuti diskusi informal di kedai-kedai kopi. Di Kairo ia tinggal dari tahun 1964-1966. Ia kemudian pindah ke Baghdad dari tahun 1966 sampai 1970.

Pada tahun 1970, Gus Dur pergi ke Eropa dengan harapan melanjutkan ke program pascasarjana di bidang perbandingan agama. Mula-mula ia tinggal di Belanda untuk mewujudkan harapannya itu ke Universitas Leiden. Namun, studinya di selama di Baghdad tak memperoleh pengakuan untuk melanjutkan ke pascasarjana. Bahkan, harapannya itu tak terpenuhi untuk kampus-kampus di seluruh Eropa. Ia harus mengulang ke S1. Kemudian ia berkelana di kota-kota Eropa seperti Jerman dan Prancis, selama setahun. Kemudian pulang  tanpa memperoleh kualifikasi formal dari Eropa.

Saat itu Indonesia telah memasuki masa Orde Baru setelah beberapa tahun sebelumnya ada pemberontakan yang dikenal G30S PKI. NU pada masa itu masih berstatus partai politik yang dipimpin Rais Aam PBNU KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Ketua Umum KH. Idham Chalid. Tahun itu NU akan memasuki pemilu pertama masa Orde Baru yang semula akan dilaksanakan pada tahun 1968

“Gus Dur pulang kembali ke Jawa pada tanggal 4 Mei 1971. Diakuinya bahwa ketika itu dilanda kekecewaan karena usahanya untuk melanjutkan studi di Eropa gagal total. Namun, ia menghibur diri sambil berpikir bahwa ia mempunyai kesempatan baik untuk dapat diterima di program studi Islam yang terhormat di Universitas McGill, Montreal, Kanada,” tulis Greg.

Beberapa bulan di Tanah Air, ia berada di kediaman orang tuanya, di Matraman, Jakarta. Ia kemudian mendapat undangan dari Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES). Melalui lembaga ini, Gus Dur berkenalan dengan cendekiawan dari kalangan Islam progresif dan kaum sosial demokrat.

Pada akhir tahun itu, Gus Dur mengadakan pesta pernikahan dengan Sinta Nuriyah yang dinikahinya secara jarak jauh ketika ia masih berada di Mesir. Kemudian pada tahun 1972, mulai berkeliling ke pesantren-pesantren di Jawa untuk mmenyampaikan ceramah serta menulis kolom di sejumlah koran terkemuka. Untuk aktivitasnya itu, Gus Dur terus mengembangkan kemampuannya untuk lebih baik lagi.

“Kolom-kolom Gus Dur di Tempo dan Kompas mendapat sambutan baik dan dengan cepat ia dianggap sebagai pengamat sosial yang sedang naik daun. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ia juga menulis di jurnal Prisma (LP3ES), yang diterbitkan pada dasawarsa awal 1970-an untuk memajukan pemikiran sosial kritis di Indonesia,” ungkap Greg lagi.

Kemudian Gus Dur, memperkenalkan pesantren ke dalam wacana-wacana intelektual melalui tulisan-tulisannya. Di sisi lain, ia juga menyampaikan pemikiran-pemikirannya melalui ceramah ke pesantren-pesantren NU.

Moeslim Abdurrahman pada buku Gus Dur, Santri Par Excellence: Teladan Sang Guru Bangsa menyebut Gus Dur sebagai jendela NU kepada dunia. Sebab pada waktu itu Gus Dur berbicara demokrasi, hak asasi manusia sebab ia tidak pulang dari Amerika Serikat. Ia dinilai unik karena dari pesantren. Karena dari pesantren itulah ia kemudian memperkenal pesantren menjadi wacana. Bagi Msulim Abdurrahman hal itu yang menakjubkan

Kemudian Gus Dur menjadi inspirasi anak-anak muda NU dan kalangan pesantren karena kecerdesan intelektualitasnya di samping kharisma yang mengalir di dalam darahnya, yakni sebagai cucu dari Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dan putra KH. Abdul Wahid Hasyim, serta cucu dari Rais Aam PBNU pada masa itu, KH. Bisri Syansuri. Melalui kakeknya yang disebut terakhir ini, Gus Dur terlibat dalam kepengurusan NU di tingkat pusat, yakni di bagian syuriyah.

Di Kemudian hari, Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU didampingi Rais Aam KH. Achmad Shiddiq. Gus Dur mengemban amanah itu hingga tiga periode sampai ia menjadi Presiden Republik Indonesia keempat.

Sumber: nu.or.id