Mengukuhkan Spiritualitas di Era Kenormalan Baru

Seiring dengan  bergulirnya wacana normal baru atau new normal. Era ini tentunya memaksa transformasi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk juga dimensi teologis. Era normal baru ini juga merekonstruksi kehidupan sosial manusia.

Apalagi, mengingat wabah pandemi Covid-19 belum mereda. Interaksi sosial antar-manusia haruslah menerapkan social distancing secara lebih intens. Bahkan, diprediksi pola komunikasi akan beralih secara massif ke media sosial dan digital. Model pembelajaran berbasis media online juga akan mendapat porsi yang lebih. Berbagai fasilitas publik pun akan mengalami perombakan akses layanannya.

Meskipun demikian, sebagai bangsa yang mengimani asas Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan berarti dimensi teologis dan kepekaan sosial terkikis. Sudah seharusnya kondisi ini, malah justru semakin mengetuk hati umat manusia, untuk semakin meningkatkan spiritualitas dan jiwa sosialnya.Meski dengan cara yang berbeda. Karenanya, sangatlah tepat jika normal baru kita respon sebagai momentum yang strategis merealisasikan spirit itu dalam rangka beribadah baik ibadah hubungan kepada Allah  secara vertikal maupun dengan sesama makhluk secara horizontal.

Musa Asy’arie, seorang guru besar Filsafat Islam dalam bukunya Filsafat Islam Tentang Kebudayaan (1999), mengungkapkan bahwa pada hakikatnya aspek spiritualitas agama dan kemanusiaan universal bermula dari akar yang sama yaitu kesetiaan pada hati nurani sendiri sebagai penjelmaan dari pimpinan Tuhan yang ada dalam dirinya sendiri dan sebagai cerminan dari fitrah. Itu artinya, pondasi teologis kita harus kokoh untuk menguatkan sendi bangunan lainnya.

Dimensi teologis harus kita rawat agar dapat mengakar dengan kuat. Apalagi, saat ini nampak jamak realita bahwa gempuran kebudayaan modern telah mendistorsi dimensi teologis sehingga berimbas pada krisis spiritualitas.

Tak sedikit orang lebih mementingkan egoisitas di tengah wabah pandemi ini. Mereka bahkan nekat melanggar tatanan yang dicanangkan oleh pemerintah. Satu contoh saja, masih banyak orang yang berkerumun, mengabaikan social distancing, mudik di tengah pandemi, dan melanggar imbauan-imbauan pemerintah lainnya.

Joe Holland, penulis buku American and Catholic : The New Debate (1988) memberikan penjelasan menarik berkaitan dengan fenomena krisis spiritualitas. Esensi krisis spiritualitas dalam pandangan Holland adalah ketika energi-energi kreatif manusia sebagai anugerah Tuhan yang membuatnya menjadi “co-creator” dalam proses penciptaan dan pemeliharaan semesta sedang disesatkan menuju kehancuran. Dalam hal ini, krisis yang tengah terjadi dalam kebudayaan modern juga merupakan bentuk krisis spiritualitas. 

Oleh karenanya, sudah sepatutnya manusia modern menangkis berbagai krisis spiritualitas akibat pondasi teologis yang rapuh yang membelenggu di tengah pandemi ini. Apalagi, ada banyak fenomena yang muncul sebagai bentuk pencarian manusia modern terhadap aspek teologis. Diantaranya, munculnya the new religions atau gerakan quasi-religions

Fenomena kemunculan gerakan ini lebih dilatarbelakangi oleh upaya pelepasan diri dari kecemasan, yang oleh sosiolog J. Milton Yinger diistilahkan dengan religious countercultures. Gerakan quasi-religions tumbuh subur berkaitan dengan hippie counter-cultures, yaitu kekecewaan terhadap materialisme dan rasionalisme. Atau, ia lahir sebagai refleksi dari krisis struktural dan normatif secara lebih luas.

Spiritualitas ternyata tidak harus selalu berkaitan dengan Tuhan. Pada spiritualitas dengan model semacam ini, spiritualitas hanya berfungsi sebagai pelarian psikologis, obsesi, dan kebutuhan ruhaniah sesaat. Maka yang kemudian muncul adalah usaha untuk menjadikan spiritualitas bukan sebagai bagian integral dari kehidupan, tetapi sekedar sebagai pemuasan rasa ingin tahu, dan sebagai terapi atas beragam persoalan hidup yang kian rumit. Apalagi di kala wabah Covid-19 yang belum juga lenyap, aspek spiritualitas sangatlah mendesak untuk kita kukuhkan secara kolektif dalam memerangi Covid-19.

Oleh karena itu, kalau memang normal baru benar-benar diberlakukan di tengah kepungan Covid-19, sudah sepatutnya kita sadar bahwa peningkatan spiritualitas adalah dimensi teologis yang sangat penting. Menelusuri dan menjalani kehidupan spiritual dilakukan dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah. Usaha ini tidak mungkin ditempuh secara instan, tetapi harus terus menerus dilakukan sepanjang hidup baik berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan (hablu minallahi) maupun dengan sesama makhluk-Nya (hablu minannas). 

Selain itu, para penempuh jalan spiritual ini juga harus membersihkan jiwanya dari segenap orientasi keduniaan. Artinya, esensi sebenarnya normal baru sejatinya kesucian hati, kebangkitan jiwa, dan yang jelas peningkatan spiritualitas dalam rangka menghadapi gelombang pandemi Covid-19, sehingga kita bisa menjadi manusia yang paripurna menghadapi badai ujian Covid-19 ini.

Takmir Masjid Kagungan Dalem Lempuyangan, Yogyakarta.