Covid 19 di Pesantren: Wawancara Eksklusif dengan Alissa Wahid

Kerinduan santri dan kiai kian terasa di tengah pandemi. Selama tiga bulan (mungkin ada yang lebih) mereka berjarak. Santri harus dirumahkan. Belum pernah terbayang sebelumnya, santri belajar dari rumah dalam waktu yang sangat lama. Apalagi menggunakan media daring (online).

Namun, di bulan Juli ini, beberapa pesantren sudah mulai aktif kembali melakukan kegiatan belajar mengajar. Selaku Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Indonesia, yang selama ini aktif mengedukasi masyarakat akan bahaya virus Covid-19, Alissa Wahid mempunyai cara pandang yang visi khususnya bagi kalangan pesantren, baik oleh kiai, santri, maupun masyarakat di luar pesantren, untuk mencegah meluasnya penyebaran virus Covid-19. Seperti apa gagasannya?

Simak hasil wawancara yang dilakukan oleh Muhammad Autad An Nasher dari Alif.id bersama putri pertama Gus Dur ini.

Bagaimana menurut Mbak Alissa, ketika mendengar pesantren sudah mulai membuka kembali kegiatan belajar mengajarnya, padahal wabah belum usai?

Kalau saya merujuk kepada bagaimana sikap sikap RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) dan Gerakan Ayo Mondok. Bagi saya itu klir, yaitu harus menunda dulu kegiatan belajar mengajar seperti dulu. Kalaupun terpaksa santri harus kembali ke pondok, maka harus mengikuti protokol yang sangat ketat. Namun sayangnya banyak pesantren yang memilih untuk membuka kembali pondok pesantrennya, tidak menunda seperti sikap RMI Pusat.

Apa alasannya kok bisa begitu mbak? banyak yang menolak.

Karena banyak pengasuh pondok belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai aspek kesehatan dari pandemi ini. Tentu semua meyakini bahwa takdir adalah Ketentuan Allah. Bedanya, sebagian pengurus pondok menganggap berikhtiar mencegah wabah adalah lebih penting, karena itu perlu menunda pembukaan pondok pesantren atau setidaknya membuat protokol yang ketat. Sebagian lagi menganggap bahwa pandemi Covid-19 tidak terlalu berat sehingga tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah dan kegiatan belajar; cukup dengan protokol kesehatan standar saja.

Bahkan saya temukan juga pengasuh pondok yang menganggap problem pandemi ini dilebih-lebihkan, sehingga mereka kurang menjaga diri. Termasuk memperlakukan santri-santrinya, sehingga santri-santri pun ikut santai dan kurang menjaga diri menjaga jarak. Sudah banyak beredar video-video tentang hal ini, persis seperti video-video keramaian di tempat umum seperti pasar. Bedanya, di pasar dan di tempat umum, tidak ada pemimpin panutan. Itu kumpulan orang saja. Sedangkan di pesantren, para pengasuh pondok adalah panutan, tokoh masyarakat. Sehingga bila panutannya bersikap santai tentang pandemi, ya begitu pun seluruh penghuni pondok dan pengikutnya, termasuk yang di luar pondok pesantren seperti keluarga santri, pengikut kyai dan lain-lain.

Terus kira-kira apa Mbak yang bisa kita lakukan di situasi yang genting seperti sekarang? Mengingat jumlah pasien yang terus membludak dan kesadaran masyarakat yang minim. Terutama kepada para kiai dan kalangan pesantren?

Yang terpenting, sebetulnya para kiai ini perlu mengingat kebutuhan bangsa ini, agar tidak terfokus pada pesantrennya sendiri saja. Apa yang terjadi di pondok pesantren, akan berdampak pada kualitas masyarakat setidaknya di masyarakat sekitar pondok pesantren. Jadi perlu di balik, apa yang perlu diubah di masyarakat, pondok pesantren bisa menjadi uswah hasanah. Contohnya kalau masyarakat perlu belajar jaga jarak, maka pondok pesantren lebih dulu melakukannya dengan ketat.

Contoh lainnya, kan masyarakat perlu cepat melapor bila merasakan gejala infeksi virus Corona supaya bisa segera dilakukan test-trace-isolate untuk mencegah penularan. Nah, kalangan pesantren perlu mencontohkan sikap jujur terbuka saat ada kasus, supaya masyarakat bisa meneladani.

Kesigapan pondok pesantren Guluk-guluk tempo hari, sangat perlu diacungi jempol. Kasus santri positif itu cepat sekali tertangani, karena pengasuh pondok ketat menjalankan skrining. Ketika santri yang bersangkutan datang, oleh pengasuh langsung masuk karantina karena dia datang dari Surabaya, padahal kondisinya masih biasa. Di karantina, mulai flu, langsung dipanggilkan puskesmas. Begitu rapid test-nya reaktif, langsung PCR. Begitu konfirmasi positif, langsung dipindah ke RSUD. Santri itu belum sempat masuk pondok, karena mekanisme skrining taat diikuti pengasuh pondok pesantren. Dan pihak pondok tidak menutup-nutupi, segera membuat pernyataan publik, sehingga tidak ada kesimpangsiuran informasi.

Sayangnya, saya masih banyak menemui sikap pengasuh pondok pesantren yang kurang proaktif-responsif dalam hal pandemi ini. Ya mungkin karena belum terlalu memahami sifat dan risiko pandemi ini. Ada yang menyatakan bahwa toh nyatanya sampai saat ini semua baik-baik saja. Padahal kalau dilihat akhir-akhir ini kita kehilangan banyak pengasuh pondok pesantren, sebagiannya karena Covid-19. Juga banyak kehilangan kader NU di luar pondok pesantren, juga akibat Covid-19. Tapi kita sebagai jamaa’ah dan jam’iyah saya rasakan seperti masih menjalankan kehidupan seperti business as usual.

Inilah yang saya sedih. Semestinya, dengan situasi seperti ini, NU dan para kyai dan nyai serta masyarakat pesantren, semakin mengakselerasi langkah-langkah responsif. Bukan hanya untuk menyelamatkan kyai dan nyai, serta santri dan asatidz di pondok pesantren. Tetapi karena tanggungjawab sebagai tulang punggung bangsa.

Kita sudah diberi teladan yang sangat jelas. Ulama-ulama zaman dahulu selalu mengambil posisi sentral di kalangan masyarakat yang lebih luas, bukan hanya di pondok pesantren yang diasuhnya saja. Segalanya dipikirkan dengan sudut pandang kemaslahatan umat dan kemaslahatan bangsa. Para ulama sadar, sikap yang diambilnya nanti, terutama di NU, itu akan berdampak kepada bangsa.

Pertanyaannya adalah bagaimana caranya NU sekarang ini kembali menjadi tulang punggung bangsa dalam menyelesaikan problem pandemi saat ini. Hemat saya, hal itu bisa dimulai dari pesantren.

Terakhir Mbak, apa pesan dan harapan Mbak Alissa untuk kalangan pesantren di situasi yang tak menentu ini?

Pertama, para kiai atau ulama perlu memahami pandemi ini secara lebih komprehensif, dari para pakar. Dokter-dokter di NU banyak sekali, dan mereka pastinya akan memberikan informasi yang terbaik dan tanpa agenda negatif untuk pondok pesantren. Artinya, informasi mereka adalah yang terbaik bagi para ulama dan pesantren. Pemahaman ini penting, agar kita tidak kena tsunami informasi yang tidak jelas. Dengan informasi yang tepat, langkah-langkah yang diambil akan sesuai dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Tidak menganggap enteng.

Kedua, mengambil teladan dari ulama zaman dahulu, yang selalu memikirkan kemaslahatan umat dan bangsa, bukan hanya lingkungan sekitarnya saja. Untuk itu, para masyayikh dahulu juga terus bekerja sama dengan umaro’ (pemerintah) untuk keselamatan bangsa walau tetap menjaga jarak yang cukup dengan penguasa. Dalam hal pandemi COVID, teladan para guru kita, dapat kita terapkan dengan kesiapan membantu Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi ini.

Harapan saya, pesantren dan kiai saat ini menjadi yang terdepan dalam mengedukasi masyarakat. Datang ke masyarakat, memberikan pemahaman bagaimana jaga diri, jaga jarak, saling jaga. Menyempatkan diri ke pasar, ke masjid, ke kampung-kampung, untuk memberikan edukasi terkait wabah ini. Itu bayangan saya tentang ulama sejati dalam kondisi saat ini.

Sumber: alif.id

Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktivis Jaringan GUSDURian Indonesia