Beberapa hari setelah Gus Dur wafat muncul usulan agar Gus Dur diberi gelar pahlawan nasional. Entah siapa yang pertama kali melontarkan gagasan itu tetapi dalam waktu singkat banyak yang mendukungnya.
Ada yang mengusulkan supaya gelar itu segera diberikan. Bahkan, Amien Rais menyatakan bahwa tidak perlu ada pertimbangan atau seminar membahas usulan itu, langsung saja Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan nasional. Putri-putri Gus Dur mengatakan bahwa Gus Dur tidak ingin menjadi pahlawan nasional dan tanpa gelar itu pun telah menjadi pahlawan di hati masyarakat. Hal itu betul, tidak ada pahlawan yang punya ambisi menjadi pahlawan nasional. Tetapi, hal itu tidak menjadi halangan bagi negara untuk memberi mereka gelar pahlawan.
Kita sebagai bangsa perlu memberi gelar pahlawan nasional kepada mereka yang betul-betul layak menerimanya. Itu sejalan dengan pendapat bahwa bangsa yang besar adalah yang mampu menghargai para pahlawannya. Saat saya ditanya wartawan tentang masalah itu, saya menyampaikan dua hal. Pertama, jangan tanya pendapat saya karena jawabannya pasti subjektif, tanyalah pihak lain. Kedua, saya tidak setuju usul Amien Rais yang tidak mendidik. Kita harus mengikuti ketentuan UU yang mengatur bahwa harus diadakan usulan dari DPRD kabupaten dan DPRD provinsi kepada Departemen Sosial, lalu diadakan diskusi atau seminar mengenai sumbangsih Gus Dur terhadap bangsa.
Syukur, itulah proses yang kini sedang berjalan. Takkan lari gunung dikejar. Waktu masih cukup untuk mengikuti proses itu yang sekaligus bisa kita manfaatkan untuk belajar dan mencari ilham dari kisah perjuangan Gus Dur. Kalau Gus Dur diangkat sebagai pahlawan nasional, maka kakek (KH. Hasyim Asy’ari), putra (KH. Wahid Hasyim), dan cucu (KH. Abdurrahman Wahid) akan menjadi pahlawan nasional. Besar kemungkinan, tidak ada prestasi lain semacam itu di dunia.
Pak Harto Juga Layak?
Lalu muncullah gagasan untuk juga memberikan gelar pahlawan nasional kepada Pak Harto. Selain tokoh dari Partai Golkar, usulan serupa datang dari salah satu tokoh PPP yaitu Lukman Hakim Saifuddin. Gagasan itu terutama didasarkan pada argumentasi bahwa Pak Harto telah banyak berjasa bagi bangsa dan negara.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, Gus Dur yang mempunyai cacat yuridis (karena pernah diberhentikan dari jabatan presiden berdasar TAP MPR No II/MPR/2001) saja layak menjadi pahlawan nasional, tentu Pak Harto yang bebas dari segala cacat hukum tidak punya halangan apa pun untuk menjadi pahlawan nasional. Tidak bisa dihindari timbullah pro-kontra menanggapi usul itu. Otto Gusti, seorang doktor filsafat, menulis di salah satu harian nasional (18/1) bahwa kesalahan Pak Harto itu bukanlah kesalahan biasa atau dosa pribadi, tetapi sebuah kejahatan sistematis terhadap warganya.
Mochtar Pakpahan saat ziarah ke Tebuireng juga mengatakan pendapat yang sama, langsung kepada saya. Pendapat dua tokoh di atas mewakili aspirasi para korban akibat politik kekerasan dari Pemerintahan Orde Baru seperti para tapol yang terkait PKI dan tapol lainnya. Upaya untuk mengungkap kejahatan kemanusiaan Orba itu sampai kini belum berhasil dilakukan. Otto Gusti menulis bahwa usulan gelar pahlawan nasional bagi Pak Harto harus diuji validitasnya di hadapan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pada dialog tentang kepahlawanan oleh Depsos (2000) muncul pertanyaan dari peserta dialog, apakah Pak Harto akan menjadi pahlawan nasional?
Karena Dr. Ruslan Abdul Gani tidak bersedia menjawab, saya terpaksa menjawab. Jawaban saya terhadap pertanyaan itu, suatu saat Pak Harto akan diberi gelar pahlawan nasional tetapi tidak dalam waktu dekat. Bung Karno lengser pada 1967 dan wafat pada 1970. Beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 1983 bersama Bung Hatta, 16 tahun setelah lengser, dan 13 tahun setelah wafat. Dengan patokan itu, maka Pak Harto mungkin akan mendapat gelar pahlawan nasional sekitar 2014 sampai 2021. Ternyata, 13 tahun setelah lengser dan 2 tahun setelah wafat, penolakan terhadap gelar pahlawan nasional bagi Pak Harto masih amat kuat.
Jajak Pendapat
Akankah Pak Harto mendapat gelar pahlawan nasional? Saya masih tetap pada pendapat di atas bahwa perlu waktu panjang bagi Pak Harto untuk bisa diterima sebagai pahlawan nasional. Makin lama jasa Pak Harto akan makin diingat dan kesalahannya akan makin dilupakan. Lepas dari kekuatan dan kebenaran dari argumentasi para pendukung dan penolaknya, itulah realitas politik yang kita hadapi.
Salah satu cara untuk mengetahui seberapa besar dukungan dan penolakan masyarakat terhadap penganugerahan gelar bagi Pak Harto adalah melalui jajak pendapat terhadap seluruh rakyat Indonesia. Tahun 2007 jajak pendapat LAKSNU menampilkan hasil bahwa Pak Harto adalah presiden terbaik (di atas 30%), Bung Karno kedua terbaik (hampir 30%), Gus Dur paling akhir (di bawah 10%). Kalau jajak pendapat tentang presiden terbaik dilakukan saat ini, hasilnya bisa saja berbeda.
Kalau kita lihat sikap bangsa lain terhadap para pemimpinnya, kita akan melihat bahwa para pemimpin yang semula dikecam dan dianggap sebagai monster, ternyata akhirnya banyak yang mendapat penghargaan yang menurut bangsa itu layak. Presidenlah yang akan memutuskan apakah Pak Harto akan dianugerahi gelar pahlawan nasional. Keputusan presiden itu tentu akan berdampak pada citra dan popularitas presiden.
Karena Presiden SBY tidak akan maju lagi dalam pilpres 2014, keputusan tentang pemberian gelar pahlawan nasional bagi Pak Harto tidak akan berdampak apa-apa. Diperlukan keberanian dan kearifan seorang presiden untuk bisa menetapkan Pak Harto sebagai pahlawan nasional.
Sumber: santrigusdur.com