Israel ibarat pencuri yang berjalan mengendap-endap agar tidak ketahuan pemilik rumah. Itulah yang dilakukannya saat ini. Ketika masyarakat dunia tengah fokus, memusatkan perhatiannya pada masalah pandemi global Covid-19, Israel secara pelan-pelan tetapi meyakinkan akan menganeksasi atas wilayah pendudukan Tepi Barat, per 1 Juli 2020.
Istilah aneksasi, pencaplokan wilayah mengingatkan akan masa kolonial, tetapi yang ternyata hingga kini masih terjadi. Misalnya, Irak secara singkat mencaplok Kuwait (1990), Rusia menganeksasi Krimea (2014). Pada tahun 1980, Israel mencaplok sebagian besar wilayah Jerusalem Timur Palestina, dan setahun kemudian menganeksasi Dataran Tinggi Golan yang sudah diduduki sejak akhir Perang 1967, dari Suriah.
Pendek kata, aneksasi adalah terjadi ketika suatu negara menyatakan bahwa sebidang tanah di luar perbatasannya adalah bagian dari negara tersebut. Seringkali ini dilakukan setelah pendudukan militer dan apakah orang-orang yang tinggal di wilayah tersebut menginginkannya atau tidak, tak menjadi masalah. Hukum internasional cukup jelas tentang aneksasi: itu ilegal.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang tidak menyepakati berdirinya negara Palestina, sudah lama berpendapat bahwa aneksasi, pencaplokan atas sebagian wilayah pendudukan di Tepi Barat sebagai strategi untuk melindungi kontrol Israel atas wilayah itu. Karena itu, dalam kampanye lalu, ia berjanji akan memperluas wilayah Israel ke luar batas yang ada saat ini.
Hanya, sekurang-kurangnya, AS yang mendukung langkah Netanyahu tersebut. Meskipun pernyataan resmi belum keluar. Akan tetapi, paling tidak Dubes AS untuk Israel David Friedman menyatakan, AS siap mengakui aneksasi atas wilayah pendudukan di Tepi Barat (Middle East Monitor, 8/5/2020).
Langkah Israel tersebut tak jauh berbeda dengan konsep perdamaian yang disodorkan Presiden Donald Trump yang disebut “Peace to Prosperity”, juga disebut sebagai “Deal of the Century” yang antara lain menggariskan Israel akan mendapat 30 persen dari wilayah Tepi Barat yang sekarang diduduki. Meskipun Israel harus melepas sebagian kecil wilayah Negev dekat perbatasan Mesir-Gaza.
Negara-negara lain, termasuk Indonesia, sangat keras menentang rencana Israel tersebut. Bahkan juga PBB. Sebanyak 1.080 anggota parlemen dari 25 negara Eropa menentang rencana Israel tersebut. Dalam surat penentangannya yang ditandatangani tanggal 23 Juni lalu, mereka menyatakan sangat prihatin terhadap rencana perdamaian Israel-Palestina yang diajukan Trump. Aneksasi tersebut melanggar hukum internasional.
Negara-negara Arab, sangat jelas sikapnya. Mereka menyatakan aneksasi tersebut akan memicu pecahnya perang baru. Bukan tidak mungkin, hal tersebut akan terjadi. Meskipun, saat ini negara-negara di kawasan itu sudah kelelahan berperang. Karena itu, Indonesia mendesak PBB untuk menuntut pertanggungjawaban Israel atas pelanggaran hukum internasional itu.
Warisan Perang 1967
Akan tetapi, sebagaimana biasanya, Israel selalu tidak peduli terhadap segala macam putusan termasuk resolusi Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Dari tahun 1967 hingga 1989, misalnya, Dewan Keamanan PBB sudah menerbitkan 131 resolusi berkait dengan konflik Arab-Israel. Tetapi, nyaris tak mempedulikan resolusi-resolusi tersebut.
Wilayah yang akan dianeksasi terebut, direbut Israel pada Perang 1967. Akhir perang selama enam hari, 5-10 Juni 1967 itu, yang merupakan perang ketiga antara Israel dan Arab, Israel merebut dan menduduki Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza (sebelumnya dikuasai Mesir), Tepi Barat dan Kota Lama Jerusalem (Yordania), dan Dataran Tinggi Golan (Suriah).
Tom Segev (2007) menyebut inilah perang yang mengubah wajah Timur Tengah. Dalam rumusan lain Kardo Karim Rached Mohammad dan Ahmad Omar Bali, (2017) menyebut hasil perang enam hari ini merupakan titik balik bagi seluruh wilayah.
Perang ini telah memunculkan banyak perubahan di komunitas Arab dan Israel. Bagi orang Arab, perang itu bukan hanya kegagalan militer tetapi juga kerugian bagi nasionalisme Arab dan impian bangsa Arab yang besar. Seluruh komunitas dipengaruhi oleh perang ini dan para pemimpin intelektual dan agama terkejut dan tidak dapat menemukan jawaban atas kerugian tragis perang dan kegagalan pan-Arabisme yang cepat.
Orang-orang Arab berada di bawah banyak tekanan dan ingin membalas dendam dan kesempatan lebih lanjut untuk menyerang Israel. Akibatnya, orang-orang Arab mulai mempertimbangkan kembali nasionalisme Arab, dan kebencian mereka terhadap Yahudi dan Zionisme tumbuh.
Hasil penting lain dari perang ini adalah dua tren utama yang terjadi di antara para intelektual Arab; yaitu intelektual sekuler dan Islam. Jatuhnya nasionalisme Arab dan munculnya ideologi Islamis di komunitas Arab membuat orang melihat Islam sebagai alternatif.
Setelah perang, DK PBB pada tanggal 22 November 1967 menerbitkan Resolusi 242. Tiga poin penting dari resolusi itu adalah pertama, penarikan pasukan Israel dari wilayah pendudukan; kedua, menghormati dan mengakui kedaulatan masing-masing pihak; dan ketiga, penyelesaian masalah pengungsi Palestina. Akan tetapi, hingga saat ini Israel sama sekali tidak memperdulikan resolusi tersebut (kecuali Semanjung Sinai sudah dikembali kepada Mesir; dan Gaza juga sudah dilepas).
Bahkan, di bawah Netanyahu, Israel akan mencaplok 30 persen wilayah pendudukan, termasuk Lembah Yordan yang kaya akan air. Dalam rancangan perdamaian yang diajukan Trump juga dinyatakan bahwa Lembah Yordan yang “penting untuk keamanan nasional Israel”, akan di bawah kedaulatan Israel. Tentu ini langkah kontroversial yang ditentang Yordania, satu dari dua negara di Timur Tengah (satunya lagi Mesir) yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel.
Di wilayah yang akan dianeksasi tersebut tinggal 65.000 orang Palestina. Bila hal tersebut benar-benar dilakukan, maka Israel—tentu dengan melanggar hukum internasional—akan memperluas wilayah kedaulatannya di wilayah pendudukan yang kini sudah berdiri lebih dari 235 permukiman illegal.
Di seluruh wilayah Tepi Barat, tinggal dan hidup 2,7 juta orang Palestina, dan 450.000 pemukim Israel. Di Tepi Barat itulah pemerintahan PM Palestina Mahmud Abbas berada. Tetapi, Israel mengontrol dan menguasai akses ke wilayah tersebut.
Yang menarik adalah, menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Commanders for Israel’s Security (CIS) terhadap 1.000 responden, 40 persen responden menentang aneksasi tersebut. Mereka juga lebih mendukung pada solusi dua negara—Israel dan Palestina. Sementara 26 persen mendukung rencana aneksasi tersebut. Sebanyak 22 persen mendukung pelepasan sepihak dari orang-orang Palestina dan hanya 13 persen orang Israel Yahudi yang puas dengan situasi saat ini (The Jerusalem Post, 8/5).
“Creeping” Aneksasi
Omar M. Dajani (2017) menyatakan bahwa sejak pendudukan tahun 1967, Israel secara pelan tetapi “mantap” mempersiapkan langkah-langkah untuk menguasai sepenuhnya wilayah pendudukan itu. Setahap demi setahap dilakukan Israel untuk menguasai sepenuhnya wilayah pendudukan, antara lain dengan terus membangun permukiman baru. Bahkan, pada Mei lalu, Israel membangun 7.000 rumah di Blok Gush Etzion, Tepi Barat bagian selatan (The Jerusalem Post, 9/5).
Tindakan tersebut jelas ilegal; melanggar hukum internasional. Karena wilayah tersebut adalah wilayah pendudukan. Pada 23 Desember 2016, misalnya, DK PBB menerbitkan Resolusi 2334, yang mengecam pembangunan permukiman baru di wilayah penduduk termasuk di Jerusalem Timur. Tindakan Israel tersebut disebut sebagai “pelanggaran mencolok” dari hukum internasional. Karena itu, tidak sah.
Pembangunan permukiman baru itu yang antara lain menghalangi solusi dua negara. Israel memang nekad. Dalam memuaskan nafsu kolonialismenya. Sejak beberapa tahun lalu, Knesset (Parlemen), mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang akan menjadi dasar hukum bagi orang Israel tinggal di Tepi Barat. Pada tanggal 12 Februari 2018, misalnya, Kementerian Kehakiman mengajukan RUU yang akan memperluas yurisdiksi pengadilan Israel atas Area C (kesepakatan Oslo), yang terdiri dari 60 persen dari Tepi Barat (Aljazeera, 6/3/2018).
Bahkan, pada tahun 1980, Knesset mengesahkan UU yang diebut “Maale Adumim Annexation Law.” UU ini mengatur penerapan penuh hukum Israel di permukiman Tepi Barat terbesar di Israel, serta di daerah dua belas kilometer persegi yang berdekatan yang disebut “Zona E1,” (kesepakatan Oslo) salah satu dari sedikit tanah yang tersisa.
Pada 6 Februari 2017, Knesset menerbitkan UU untuk pengaturan tanah di Yudea dan Samaria (Tepi Barat). Di tanah tersebut dikatakan dibangun permukiman “dengan itikad baik” atau “dengan persetujuan negara.” Undang-undang mengatur pendaftaran kepemilikan tanah atas nama pejabat pemerintah yang bertanggung jawab di mana kepemilikan belum ditetapkan. Selain itu, UU tersebut memberikan peluang pengambilalihan hak penggunaan dan kepemilikan tanah milik pribadi di wilayah tersebut.
Kesalahan Sejarah
Bila pada 1 Juli mendatang, Israel benar-benar menganeksasi 30 persen wilayah Tepi Barat, maka ini menjadi pertanda yang sangat buruk bagi masa depan perdamaian Timur Tengah yang sekarang ibarat kata “hidup enggan, mati tak mau.” Hal itu terjadi karena semakin hilangnya rasa saling percaya antara kedua belah pihak.
Selain itu, juga tidak adanya kepercayaan pihak Palestina terhadap AS yang selama ini menjadi mediator. Pihak Palestina merasakan bahwa rancangan perdamaian Trump, sangat menguntungkan Israel, dan mereka menganggap AS benar-benar tidak netral. Padahal perundingan perdamaian baru bisa dilakukan bila ada saling percaya antar-pihak yang bersengketa.
Pencaplokan wilayah tersebut juga akan berdampak dramatik pada kehidupan keseharian orang-orang Palestina di wilayah yang dicaplok. Mereka akan harus hidup di bawah aturan dan hukum Israel, yang selama ini memperlakukan orang-orang Palestina secara tidak manusiawi.
Bila pencaplokan benar-benar terjadi dan tidak bisa dicegah negara-negara pencinta damai seperti Indonesia, termasuk PBB, maka ini akan menjadi kesalahan sejarah. Karena aneksasi tersebut akan semakin menipiskan kemungkinan tercapainya solusi dua negara, yang berarti menipiskan penyelesaian konflik. Sebab, wilayah yang akan dianeksasi Israel, seluas 60 persen dari seluruh wilayah Tepi Barat.
Dengan begitu, Timur Tengah akan tetap menjadi pusaran konflik yang imbasnya akan dirasakan negara-negara di seluruh dunia. Solusi abadi terhadap suatu konflik harus memenuhi aspirasi yang sah dan kebutuhan keamanan dan menjamin persamaan hak antara warga Israel dan Palestina. Itu yang tidak terjadi ketika aneksasi dilakukan.
Sumber: triaskun.id