Pernyataan Sikap Jaringan GUSDURian Terkait Penyerangan Keluarga Assegaf di Solo

Kekerasan terhadap warga negara kembali terjadi di Indonesia. Di tengah upaya keras menanggulangi pandemi Covid-19 sebuah peristiwa memilukan terjadi di Solo, Jawa Tengah. Sekitar dua ratus orang menyerang acara Midodareni yang tengah berlangsung di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81 Kp. Mertodranan Rt 1/1 Kel/Kec. Pasar Kliwon Kota Surakarta. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 8 Agustus 2020 malam.

Midodareni merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan. Sebagaimana diberitakan 5news.co.id, ratusan orang tiba-tiba mendatangi lokasi dan memaksa tuan rumah membubarkan acara tersebut. Mereka juga merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga. Sembari meneriakkan takbir, penyerang meneriakkan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal. 

Syiah merupakan salah satu mazhab teologi dalam Islam yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, Syiah termasuk dalam kategori kelompok minoritas dan kerap menerima perlakuan diskriminatif. Tiga orang dilaporkan menjadi korban tindakan brutal kelompok tersebut, sehingga harus menjalani perawatan medis akibat luka-luka yang diderita.

Peristiwa ini menambah catatan buruk intoleransi di Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman. Apalagi beberapa waktu yang lalu, peristiwa intoleransi juga terjadi pada masyarakat adat di Kuningan, Jawa Barat. Hal ini sungguh ironis mengingat presiden Joko Widodo pernah menyerukan tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia.

Perlu langkah kongkrit dari berbagai pihak agar tidak ada lagi kasus intoleransi atas nama agama. Oleh karena itu, Jaringan GUSDURian sebagai perkumpulan yang berupaya meneruskan perjuangan KH. Abdurrahman Wahid, pejuang kemanusiaan, menyatakan sikap sebagai berikut.

Pertama, mengutuk peristiwa penyerangan tersebut karena mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun. 

Kedua, meminta kepolisian setempat untuk menuntaskan kasus ini melalui mekanisme konstitusi. Sebagai lembaga negara, kepolisian harus menegakkan hukum tanpa mempertimbangkan opsi harmoni sosial yang hanya akan melanggengkan praktik kekerasan di masa mendatang. Pelaku harus dihukum setimpal dengan undang-undang yang berlaku.

Ketiga, meminta kepada pemerintah daerah agar menjamin keamanan warga negara, khususnya yang berstatus sebagai kelompok rentan. Setiap jengkal wilayah Indonesia harus memberikan rasa aman kepada penduduknya. Negara memiliki tugas untuk mewujudkan keamanan bagi warga negara tersebut.

Keempat, meminta tokoh agama setempat untuk bahu membahu menebar gagasan agama yang penuh rahmah. Intoleransi terjadi salah satunya karena adanya ideologisasi nilai-nilai eksklusivisme yang dibalut dengan semangat keagamaan. Padahal sejatinya agama mengajarkan manusia untuk mensyukuri perbedaan sebagai karunia dari Allah SWT. 

Kelima, mengajak para Gusdurian dan masyarakat pada umumnya untuk terus merawat semangat “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai warisan para pendiri bangsa. Sejak didirikan, Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, adat istiadat, dan lain sebagainya. 

Keenam, menyerukan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk tidak menggunakan kekerasan dan ujaran kebencian pada mereka yang berbeda. Sebagaimana kata Gus Dur, kemajemukan harus bisa diterima tanpa adanya perbedaan.

Yogyakarta, 9 Agustus 2020

Alissa Wahid

Koordinator Jaringan GUSDURian