Mohammad Sobary dalam prolog buku Demokrasi Indonesia: Antara Asa dan Realitas karya Prof. AS. Hikam, menilai bahwa demokrasi di Indonesia pasca-reformasi telah mengalami kemacetan. Hal ini disebabkan karena kegagalan dalam institusional politik pada aras politik elektoral. Selain itu, akhir-akhir ini marak terjadi politik identitas masyarakat yang masuk dalam panggung politik elektoral di Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara terbesar pengikut demokrasi setelah India dan Amerika Serikat. Pasca-reformasi dan di usia 75 tahun merdeka, Indonesia semakin mengalami kemerosotan demokrasi. Apa penyebabnya? Bukankah rezim yang kita kenal dengan totalitarian itu sudah mangkir dari negeri ini, ataukah new totalitarian ini kembali lahir? Bisa jadi demikian.
Reformasi menghantarkan bangsa ini menuju jalan demokrasi yang remang-remang. Jalan demokrasi yang semuanya kehilangan arah. Meskipun secara pelaksanaan agenda politik sudah berkembang dari pada saat rezim Soeharto.
Wajah politik Indonesia pasca reformasi benar-benar menjadi taruhan di rumah sendiri, bahkan di mata dunia. Semakin hari demokrasi di Indonesia menunjukkan wataknya yang kekanak-kanakan. Seperti yang kita ketahui dengan pertunjukan politik identitas, money politic, oligarki, dan berduyun-duyun pejabat publik melakukan praktik korupsi.
Politik identitas di era revolusi 4.0 ditandai dengan pilkada DKI dengan dipenjarakannya Ahok atas pasal penodaan agama. Belum lagi demonstrasi jalanan yang mengatasnamakan Tuhan mengutuk kelompok tertentu demi kepentingan politiknya. Agama ataupun ras menjadi komoditas politik demi kekuasaan.
Belum lagi soal money politic, yang sudah mengakar di masyarakat. Penggunaan kuasa uang dalam politik elektoral sudah tidak bisa dikendalikan. Banyak presepsi masyarakat yang menganggap bahwa politik itu soal transaksi. Kamu jual aku beli. Sehingga masyarakat tidak lagi asing dengan fenomena ini.
Dari sanalah kemudian banyak orang yang menganggap politik hanyalah persekongkolan para elit pengusaha dan penguasa. Sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja elit menurun. Selain itu, oligarki juga semakin kuat, terbukti dengan banyaknya rumusan perundang-undangan yang merugikan rakyat, seperti RUU Cilaka, Omnibus Law, dan Penghapusan Kekerasan Seksual.
Jika kita bercermin dari sosok guru bangsa, KH. Abdurrahman Wahid selama masa pemerintahannya, beliau dengan sukses membuat kebijakan yang pro terhadap rakyat. Beberapa di antaranya adalah menghapus dwifungsi ABRI, membubarkan departemen penerangan dan sosial, mengakui agama Kong Hu Cu, melawan IMF, mencabut larangan terhadap PKI dan memberikan akses kepada keluarga penyintas kekerasan ’65. Ada lagi yang tidak banyak orang ketahui, yakni kebijakan Gus Dur yang sensitif gender atau ramah gender.
Gus Dur juga sangat berperan dalam memperjuangkan keadilan gender. Di mana pada saat menjabat Gus Dur sempat membuat Inpres tentang Gender Mainstreaming, No 9 tahun 2000, yang mengatakan bahwa jalannya pemerintahan mulai dari perencanaan, implementasi, hingga evaluasi kebijakan itu harus melibatkan perempuan, perempuan menjadikan subjeknya. Karena pendapat perempuan dalam menyusun kebijakan itu sangat perlu.
Dari sanalah pemerintahan Gus Dur sangat pro terhadap rakyat, khususnya kaum perempuan. Perempuan juga dilibatkan dalam proses demokrasi. Sehingga, kebijakaan itu tidak hanya merepresentasikan suara laki-laki, tapi juga merepresentasikan suara perempuan yang diabaikan. Misalnya, soal kesehatan reproduksi ataupun bagaimana perempuan bekerja dengan membawa anak- agar bisa ramah anak, ataupun sesuatu yang membahas kekhasan perempuan.
Dari persoalan sebanyak itu, penting sekali bangsa ini untuk membenahi sistem demokrasinya. Sehingga politik tidak dipandang buruk dan kotor. Gus Dur telah memberikan banyak teladan kepada kita akan pentinya demokrasi dengan baik dan bersih. Sehingga, semua orang perlu untuk terlibat dalam demokrasi ini dan menjadikan politik sebagai agenda bersama mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Sebagaimana yang dikatakan Prof. AS. Hikam bahwa, “Politik itu terlalu penting dan terlalu berharga untuk hanya diserahkan kepada para politisi dan parpol doang!”. Setiap warga negara harusnya terpanggil dan memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan politik Indonesia yang bermartabat dan bermanfaat. Sebagaimana pula yang dikatakan Paus Fransiskus bahwa “Politik adalah kerja yang mulia.”