Membaca Warisan Diplomasi Politik Gus Dur

Periode kepemimpinan sebagai presiden Republik Indonesia yang kurang dari dua tahun, tidak menjadikan Gus Dur kekurangan jejak pengaruh dalam diplomasi politik internasional. Justru, periode pendek kepemimpinan Gus Dur, mewariskan legacy yang strategis dalam lanskap diplomasi internasional pemerintah Indonesia.

Manuver Gus Dur sekaligus perombakan strategi diplomasi yang diimbangi dengan perubahan perspektif dari jajaran diplomat sekaligus Departemen Luar Negeri (kini Kementrian Luar Negeri) menjadikan wajah diplomasi Indonesia berubah drastis.

Ernest Z Bower, seorang senior adviser bidang South East Asia Program dari CSIS yang berbasis di Amerika Serikat, mengungkapkan betapa kontribusi Gus Dur dalam politik Indonesia serta dinamika politik internasional sangat penting.

Mengenang wafatnya Gus Dur, Ernest Z Bower mengungkap bahwa Gus Dur bakal dikenang sebagai tokoh penting yang membawa perubahan dalam lanskap politik Indonesia.

He also will be remembered as the embodiment of Indonesia’s modern and moderate  interpretation of Islam. While it could be argued that Wahid was a political opportunities, he was undeniably an expert strategist who perhaps uniquely understood how to navigate a path toward empowerement of the Indonesian people as the Soeharto regime crumbled amidst Reformasi, the political reform movement, and the disintegration of the Indonesian economy amidst the Asian financial crisis,” demikian ungkap Bower.

Dalam renungan Bower, Gus Dur dianggap sebagai seorang berpengaruh dalam jagad sejarah politik Indonesia. Menurutnya, warisan politik Gus Dur merupakan kunci dalam pergerakan reformasi. Meski demikian, bukan Gus Dur namanya jika tanpa kontroversi. Terjadi pro-kontra dalam setiap manuver-manuver maupun strategi politik Gus Dur.

Di satu sisi, Gus Dur dianggap sebagai sosok utama yang membawa perubahan strategis dalam agenda politik reformasi, dengan beberapa kebijakan penting yang merombak serta menata ulang tatanan politik kebangsaan. Di antara pengaruhnya, yakni pada perlindungan kelompok minoritas serta bagaimana Gus Dur membangun aliansi internasional.

Di sisi lain, Gus Dur juga dianggap sebagai sosok yang hanya bermain politik secara sensasional. Oleh musuk politik dan barisan pengkritik, pendiri Partai Kebangkitan Bangsa itu dianggap tidak punya jiwa kepemimpinan yang stabil.

Sekaligus, periode ketika Gus Dur sebagai presiden Indonesia dari Oktober 1999 hingga 2000, dianggap sebagai periode Indonesia yang tanpa kepemimpinan. Meski demikian, klaim terakhir ini mudah dibantah karena periode pendek Gus Dur dalam mengemban amanah sebagai presiden Indonesia, justru menghasilkan banyak warisan penting dalam sejarah politik Indonesia.

Mengenai kerja keras Gus Dur, Ernest W Bower menulis betapa sosok pemimpin berlatar belakang santri itu telah bekerja sangat keras. “..President Wahid worked tirelessly to undue many of the untouchable issues that undermined Indonesia society under Soeharto including initiating peace talks with rebel forces in Aceh, undoing prohibitons against Chinese language, script and culture, and seeking, unsuccesfully, to open ties with Israel.” Bower mengenang Gus Dur dalam sebuah esai yang dipublikasikan di website CSIS (Center for Strategic and International Studies), 30 Desember 2009.

Manuver-manuver politik internasional dan kebijakan diplomatik Gus Dur, mengubah perspektif pemimpin-pemimpin dunia tentang Indonesia, sekaligus mereformasi pendekatan para diplomat dan kultur birokasi yang melingkupi.

Jurnalis Kompas, Budiarto Shambazy, mengungkapkan bahwa manuver politik Gus Dur dalam diplomasi politik internasional telah mengubah pola strategi kementerian luar negeri Republik Indonesia. Gus Dur sangat berbeda dari beberapa presiden Indonesia sebelumnya dalam strategi politik internasional.

“Perhatian Gus Dur terhadap politik luar negeri tampaknya akan sangat intensif. Bobotnya sebagai pemimpin yang dapat diterima (acceptable) secara luas di Indonesia, kurang lebih juga akan menggambarkan besarnya dukungan internasional terhadap kepemimpinan nasional,” demikian tulis Shambazy (Kompas, 31 Oktober 1999).

Shambazy kala itu mencatat urgensi lembaga kontra diplomasi sebagai perimbangan untuk menyempurnakan manuver-manuver politik internasional. Hal ini penting, untuk mengimbangi tekanan dari negara-negara Barat yang ingin mencampuri politik domestik Indonesia.

Gerakan kontra diplomasi ini bias menyuplai data, analisa, dan menyiapkan strategi jika Gus Dur ingin membantu gerakan-gerakan kemerdekaan di pelbagai kawasan internasional. Di antaranya, dengan melobi tokoh Aborigin di Australia, etnis Irlandia Utara di Inggris Raya, suku Basque di Spanyol, hingga rakyat Hawai dan Puerto Rico yang ingin segera membebaskan diri dari cengkeraman Amerika Serikat.

Bung Karno sangat kokoh dalam merancang diplomasi Indonesia yang berusaha membangun blok tersendiri, tanpa ikut manuver negara-negara Barat maupun negara komunis Cina dan Soviet. Presiden pertama Indonesia ini, berperan penting dalam merancang Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok, dan Conference of New Emerging Forces (Conefo). Selain itu, Bung Karno juga memerintahkan Perwakilan Tetap Republik Indonesia di New York untuk keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sementara itu, di kawasan regional, Soekarno membentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang punya kecenderungan berkiblat ke Blok Timur. Bung Karno juga berkonfontrasi dengan Malaysia, karena beberapa masalah mendasar terkait kedaulatan negara. Ungkapan-ungkapan keras semisal ‘Ganyang Malaysia’ menjadi rekaman suasana betapa interaksi antara Indonesia dan Malaysia berlangsung panas.

Ketika Soeharto berkuasa, lanskap diplomasi internasional Indonesia berubah drastis. Rezim Orde Baru cenderung menggantungkan bantuan ke negara-negara Barat. Bantuan dan pinjaman untuk berbagai program pembangunan nasional mengalir deras. Rezim ekonomi Orde Baru berorientasi pada investasi. Pak Harto juga memutuskan hubungan diplomatik dengan China.

Periode Presiden Habibie yang sangat pendek tidak mewariskan catatan politik yang panjang. Diplomasi internasional Indonesia dihiasi oleh perdebatan tentang wacana kemerdekaan Timor Timur sekaligus pro-kontra dengan negara-negara tetangga, terutama Australia.

Gus Dur merombak pola diplomasi, dengan membangun aliansi politik dan kerjasama internasional dengan pelbagai pemimpin dunia.

Manuver Gus Dur yang paling mencengangkan, yakni upayanya membangun relasi diplomatik dengan Israel. Di sisi lain, Gus Dur juga berupaya membuka poros Jakarta-Beijing-New Delhi, untuk membangun aliansi antara Indonesia dengan Cina dan India.

Mengapa Gus Dur berupaya membangun relasi diplomatik resmi dengan Israel? Budiarto Shambazy menganalisa bahwa upaya Gus Dur ini muncul dengan dua alasan utama: (1) menggairahkan hubungan dengan lobi Yahudi; (2) meningkatkan posisi tawar Indonesia menghadapi Timur Tengah yang tidak kunjung membantu Indonesia dalam mengatasi krisis moneter (Damai Bersama Gus Dur, hal. 86-88).

Dalam konteks strategi diplomasi, Gus Dur berupaya menggalang opini internasional untuk memperkuat strategi politik domestik. Ben Perkasa Drajat menganalisa bahwa kepemimpinan Gus Dur dalam pola diplomasi internasionalnya sangat berbeda dengan strategi pemimpin Indonesia lainnya.

Dalam strateginya, Gus Dur menjaring opini internasional melalui lawatan diplomatik dan dialog dengan beberapa pemimpin dunia. “Setelah itu, baru dirumuskan platform politik luar negerinya. Legitimasi, kapabilitas dan talenta personal berdiplomasinya menyokong langgam baru ini.”

Dalam analisa Perkasa Drajat, visi diplomasi politik Gus Dur mengharuskan pejabat dan birokrasi di Departemen Luar Negeri (kini Kementrian Luar Negeri) untuk mengubah strategi dalam langgam kerja. Kultur feodalisme dan patrimonialisme yang membatasi kreativitas dan profesionalisme diplomasi menjadi tantangan utama yang harus dibabat (Ben Perkasa Drajat, dalam Perjalanan Politik Gus Dur, hlm. 105-7).

Pada masa Gus Dur, visi untuk ‘menawarkan Indonesia baru’ serta merayu pengusaha dan investor untuk menanamkan modal membutuhkan pola diplomasi yang profesional dan progresif.

Dalam diplomasi internasional, pemerintahan Gus Dur terlibat sangat aktif dalam the South Summit—G77 di Havana, juga the Millennium Summit di New York. Di sisi lain, Gus Dur juga berjasa besar dalam inisiasi Southwest Pacific Dialogue, yang sampai sekarang relevan dalam konteks diplomasi Indonesia di negara-negara Southwest Pacific.

Gus Dur mewariskan sebuah legacy dalam strategi diplomasi internasional. Beliau ingin negara kita berdaulat dalam politik internasional, sekaligus menjadikan Indonesia punya pengaruh dalam relasi diplomatik lintas negara.

Sumber: alif.id