Ketika berada di Washington DC, penulis menghadiri Konvensi American Jewish Committee (AJC). Mengapakah hal itu penulis lakukan, padahal AJC adalah sebuah organisasi yang mungkin tidak disenangi jumlah sangat besar kaum muslimin? Jawabannya sederhana saja: bahwa kalau tidak kita terangkan pada mereka, mereka tetap tidak akan tahu selamannya tentang sisi-sisi lembut dari Islam. Mereka hanya tahu kelompok-kelompok teroris dan kelompok-kelompok keras lain dalam Islam. Karena itulah penulis menerima undangan mereka untuk berbicara dalam Konvensi/Konggres organisasi tersebut pada tanggal 8 dan 9 Mei tahun ini (2002-red).
Penulis diberi kesempatan berbicara dua kali, yang pertama untuk menjelaskan pandangan penulis mengenai teori “perbenturan budaya” (clash of civilizations) yang diajukan oleh Samuel Huntington beberapa tahun yang lalu. Di samping itu, penulis juga diminta berbicara pada acara penutupan konvensi itu bersama dengan Presiden Peru, Fernando Toledo dan penasehat Presiden Amerika Serikat (AS) bidang keamanan, Condaleeza Rice. Pidato penulis dan para pembicara tersebut masing-masing hanya berlangsung tujuh menit, namun dampaknya atas kebijakan luar negeri AS sangatlah besar, karena memang AJC adalah organisasi besar dan memiliki pengaruh luas yang diikuti oleh prosentase sangat besar dari pemilih AS yang ingin diraih Presiden George W. Bush dalam pemilihan Presiden AS tahun 2004 nanti.
Dalam pidato itu, penulis meminta agar pihak Barat turut menjaga agar identitas ke-Islaman tidak hilang dalam pertarungan politik yang sangat dahsyat antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah dewasa ini. Di samping itu, penulis juga mengemukakan perlunya dipelihara standar yang utuh dalam perlakuan Barat terhadap kaum muslimin. Apabila hal itu terwujud, yaitu terpeliharanya identitas Islam dan digunakannya standar tunggal, maka tentu wajah toleran, lembut dan damai yang dimiliki oleh Islam akan tampak di permukaan. Kalau itu terjadi, tindak kekerasan seperti terorisme dan sebagainya, akan menjadi sangat sulit muncul di kalangan kaum muslimin.
*****
Keesokan harinya, setelah penyampaian pidato dalam penutupan konvensi itu, penulis menerima telefon dari Louis Farakhan, pemimpin kulit hitam yang kini menjadi salah seorang pimpinan utama kaum muslimin di AS. Ia menelefon itu dalam keadaan sakit di kantornya yang terletak di kota Chicago, Illinois. Dalam percakapan akrab dengan beliau, penulis menyatakan berada di ibu kota AS untuk menyampaikan gagasan tentang wajah lembut dan damai dari Islam. Dan, beliau pun menjawab bahwa Islam adalah juga agama keadilan, yang kadangkala harus ditegakkan dengan kekerasan. Lalu, penulis menyatakan, bahwa kata “kekerasan” sebaiknya diganti dengan kata lain, yaitu “ketegasan”. Kalau kita bersikap tegas, belum tentu harus menggunakan kekerasan.
Dari uraian di atas tampak, bahwa ada dua pendapat dalam memberikan responsi Islam atas keadaan yang tidak menguntungkan. Di satu pihak, ada keinginan untuk menyajikan jawaban yang jelas dan gamblang, dan untuk kepentingan itu dapat dimengerti berlangsungnya tindak kekerasan yang terjadi selama ini, termasuk yang berakibat pada terorisme. Jawaban seperti ini, memang secara psikologis memberikan kepuasan , tetapi dalam jangka panjang dia justru merusak citra Islam sendiri di mata orang lain maupun mayoritas kaum muslimin, karena gambaran tentang Islam lalu langsung terkait dengan tindak kekerasan.
Pendekatan kedua, menggantikan kekerasan dengan ketegasan. Orang yang bertindak lemah lembut jelas tidak suka dengan kekuasaan. Tapi, bukan berarti dia tidak tegas menghadapi berbagai tantangan, karena menjadi keyakinan orang itu, bahwa kekerasan ditolak oleh Islam. Dalam ketentuan agama, satu-satunya alasan yang membenarkan tindak kekerasan adalah kalau orang-orang itu diusir dari rumah mereka (idza ukhriju min dziyaarihim). Ini adalah sesuatu yang bersifat prinsipil, karena itu haruslah dipegang kuat-kuat.
*****
Bagi penulis sendiri, penolakan terhadap kekerasan itu juga disebabkan oleh faktor lain. Mahatma Gandhi, yang beragama Hindu, mengajarkan prinsip Ahimsa (menolak kekerasan), yang telah dibuktikannya dalam memerdekakan India dari tangan kaum penjajah Inggris. Untuk itu, ia terkadang harus berani menempuh bahaya, termasuk bagi nyawanya sendiri.
Tetapi hal itu dijalaninya dengan dengan hati gembira, karena ia ingin menunjukkan dua hal: bahwa perjuangan tidak memerlukan kekerasan untuk berhasil, dan tidak ada perjuangan yang berhasil tanpa pengorbanan. Prinsip ini, dalam ungkapan bahasa Jawa disebutkan sebagai “Jer Basuki Mawa Bea”, yang merupakan salah satu pegangan hidup orang Jawa.
Tentunya, ada pertanyaan bagaimanakah seorang muslim yang baik dapat menjadi pengikut Mahatma Gandhi? Lagi-lagi, jawabannya sederhana saja, yaitu kebaikan merupakan nilai yang sama dari mana pun ia berasal. Dr. Martin Luther King Jr. adalah seorang pendeta Protestan yang diakui ke-Kristenannya, meskipun ia memperjuangkan hak-hak demokrasi (civil right) bagi orang berkulit hitam di AS dalam tahun-tahun 60-an dan 70-an. Sikap penulis menolak kekerasan itu, juga memperoleh landasan kokoh dari hadis Nabi saw. yang berbunyi “carilah ilmu hingga ke negeri Cina” (uthlubul ‘ilma walau bi al- Shiin).
Kalau diingat di Cina, waktu itu, belum tersebar adanya Islam –yang, tentunya hal itu berarti bahwa barang yang baik yang harus dicari orang, tidak berarti harus datang dari negeri muslim sendiri. Kiasan/analogi seperti itu diperlukan, untuk mengetahui sikap seperti yang diambil penulis dalam hal ini benar atau tidak, dengan konskuensi kalau benar harus dipertahankan. Karenanya, penulis berharap sikap tersebut dinilai secara terbuka dan kritis, dalam arti diikuti kalau memang benar, dan diganti kalau memang salah.
Sumber: santrigusdur.com